Berkali-kali, Ketua BPK, Harry Azhar Azis (HAA) tampil pada dua stasiun TV yang berbeda, (yang kedua-duanya merepresentasikan berseberangan dengan Ahok), mencoba “mensugesti” pemirsa agar tidak meragukan LHP BPK tersebut. Berulang-ulang dengan intonasi yang sengaja ditekankan pada frase dan ungkapan tertentu untuk “menggiring” publik bahwa memang telah terjadi pelanggaran yang berpotensi menimbulkan kerugian keuangan negara.
Merasa seperti sengaja dijadikan sasaran tembak, Ahok pun melawan. Dengan berbekal daftar nama yang tertera dalam dokumen Panama Papers, Ahok pun menyerang Ketua BPK. Bahkan tidak hanya menyerang, Ahok juga menantang kepada Ketua BPK, HAA dan anggota-anggotanya untuk melakukan pembuktian terbalik atas kepemilikan harta mereka. Termasuk pula laporan harta kekayaan pejabat negara (LHKPN).
Bagi Ahok, bila ada pejabat negara yang tidak melaporkan dan tidak mencantumkan kekayaannya secara jujur (hanya sebagian yang dilaporkan sebagian yang lain disembunyikan) dalam LHKPN maka perlu dipertanyakan motifnya. Apalagi harus menyembunyikan di luar negeri yang menerapkan tax heaven dengan membentuk perusahaan changkang dengan maksud menghindar membayar pajak kepada negara. Jelas pejabat tersebut ketika mendapatkan kekayaan itu tidak melalui jalan yang hak. Lagi pula perilaku menghindari pajak adalah sebuah laku yang tidak bertanggug jawab, tak layak jadi pejabat publik.
***
Tidak ingin polemik pembelian lahan RSSW menjadi bola liar dan menghantam ke sana ke mari, maka Komisi III DPR pun turun gunung. Mereka dengan mantap maju ke gelanggang. Dan rupanya, keinginan mereka untuk turun ke arena laga, juga tidak bebas kepentingan.
Selain untuk mencari kebenaran dan mengurai benang kusut pembelian lahan RSSW, ternyata di balik itu ada sesuatu yang ingin diraih. Niat baik Komisi III DPR untuk menjernihkan persoalan merupakan sebuah itikad baik yang perlu diapresiasi. Bahwa mereka memang benar-benar ingin memperjuangkan aspirasi rakyat.
Sebagaimana alasan yang dikemukakan bahwa keikutsertaan mereka dalam menyelidiki dan memperjelas kasus pembelian lahan RSSW ini karena ada pengaduan dari sekelompok masyarakat. Entahlah, yang dimaksud dengan sekelompok masyarakat itu siapa? Akan tetapi menjadi hal yang berbeda bila di balik itu tersebunyi target politik jangka pendek.
Kita berharap tidak ada hidden agenda dari Komisi III DPR untuk turut serta dalam polemik pembelian lahan RSSW, selain unutk memperjelas persoalan dan menempatkan kembali pada posisi sebenarnya. Jika tidak, maka hal itu turut pula menggerus kepercayaan publik terhadap kinerja DPR. Alih-alih ingin memperjuangkan aspirasi publik (rakyat) malah hal itu menjadi pembenaran untuk menghentikan seseorang dalam sebuah ajang politik.
Hidden agenda tersebut semakin terbuka ketika Komisi III ingin memperjelas persoalan pembelian lahan RSSW ini dengan merencakan memanggil mantan Komisioner dan Ketua KPK, Taufiqurrahman Ruki dan Zulkarnaen (sumber). Mereka beralasan bahwa permintaan untuk melakukan audit investigasi itu ketika periode kepemimpinan mereka. Jadi untuk menjelaskan masalah tersebut harus dimintai keterangan keduanya.
Sementara pihak yang diaudit (auditee) bagi Komisi III tidak perlu dimintai keterangan (sumber). Padahal prinsip pemeriksaan menekankan pada kesejajaran dan keseimbangan. Sehingga perlu mendengarkan keterangan terperiksa (auditee) untuk klarifikasi dan mendapatkan konfirmasi lebih lanjut. Dengan demikian pengumpulan data lebih komprehesif. Sayangnya prinsip kesetaraan ini sepertinya sengaja diabaikan.
Dalam sebuah pemeriksaan seharusnya kedua belah pihak ditempatkan pada posisi yang sejajar dan sebanding dalam suatu masalah yang melibatkan keduanya. Jika salah satu pihak diutamakan sementara pihak lain diabaikan, maka sejak awal harus ditegaskan bahwa hasil yang akan dicapai akan timpang, minimal tidak maksimal. Seakan-akan satu pihak disubordinasi pihak lain, padahal dalam sebuah pemeriksaan, baik auditor maupun aditee harus berada dalam posisi setara dan seimbang, memiliki hak dan kewajiban yang sama.