Tidak hanya menerima pandangan yang seragam dari berbagai kemungkinan pandangan yang berbeda. "Masing-masing dijelaskan sehingga kemudian umat tercerahkan, arif dan tahu ada beragam pandangan di Islam terkait sebuah persoalan" (sumber). Sementara dakwa menghasut atau provokasi adalah dakwah yang menyatakan pandangan-pandangannya saja yang paling benar, sambil pada saat yang bersamaan menjelek-jelekkan kelompok atau pihak lainnya.
Dengan dakwah yang menyejukkan dan mencerahkan (dakwah mengajak) maka dakwah harus memberikan pemahaman yang tepat kepada umat. Bagaimana implementasi dakwah yang mencerahkan itu, sehingga tidak muncul paham fanatik buta, maka dakwah yang disampaikan jangan bersifat meghasut dan provokatif.
Menurut K. H. Solahuddin Wahid (Gus Solah), bahwa dakwah yang mencerahkan, adalah dakwah yang tidak mengandung unsur-unsur membuat umat terdorong untuk melakukan kekerasan. Bagi Gus Solah, dakwah mengajak atau mencerahkan itu, “Jangan menyerang, jangan bermain politik, dan jangan menghasut. Yang penting mendidik,” (sumber).
"Kegenitan" Orang Pintar Baru
Fenomena dakwah menghasut ini demikian membuat kita khawatir, sebagaimana keresahan Gus Mus. Karena perkembangan dakwah menghasut ini semakin hari semakin menemukan bentuknya.
Dakwah menghasut ini dengan mudah berkembang dan menjangkiti para pemula yang sedang mencari “kebenaran”, hal itu antara lain menurut Gus Mus disebabkan kehadiran dan "kegenitan" orang pintar baru (OPB). Mereka yang baru mengetahui sepotong ayat dan hadist, tapi sudah merasa seperti menguasai Quran 30 juz serta hadist serta berbagai tafsirnya.
Melalui khutbah-khutbah, tausiyah-tausiyah, ceramah-ceramah, tabligh-tabligh, mereka menyebarkan paham sekaligus virus kebencian.
Maka dengan mudah kita temukan kebencian yang ditebar melalui sarana dakwah dengan bahasa yang syarat dengan kebencian dan rasa geram. OPB mengambil peran dalam menfasilitasi kebencian membuncah jadi membara, karena memiliki nuansa nafsu dan keangkuhan sebagai OPB.
Ciri OPB ini dalam istilah Imam Al-Ghazali disebut sebagai orang yang ghurur, yang merasa dirinya paling hebat, padahal sebenarnya dia sedang menipu dirinya sendiri. Celakanya orang-orang seperti ini sangat sulit untuk “diingatkan”, bahkan sangat kekeh mempertahankan pendapatnya meski telah disanggah dengan argumentasi yang sangat kuat dan valid.
Karena itu menjadi tugas ulama dan kaum cerdik pandai untuk bisa mengajak berdialog dan memberikan pemahaman yang benar agar lebih mengembangkan dakwah mengajak, ketimbang dakwah yang membuat kehidupan kemanusiaan menjadi tersia-siakan. Termasuk menempatkan isu kepemimpinan dalam koridor yang semestinya, tidak diperdebatkan secara diametral pemimpin muslim dan nonmuslim. Sebagaimana misi Nabi Muhammad SAW yang dalam menyebarkan Islam dengan kelembutan bukan dengan kekerasan dan menghina paham orang lain atau kelompok lain yang berbeda pendapat. Sesungguhnya kebenaran itu bersifat tunggal dan hanya Allah SWT pemilik kebenaran sejati.
Wallahu a’lam bish-shawabi