Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Fahri Hamzah Menang Kalau Maju di Pilkada DKI

8 April 2016   21:30 Diperbarui: 9 April 2016   10:39 2192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber : news.liputan6.com"][/caption]Oleh : eN-Te

Ketika pertama kali mendengar bahwa DPP PKS memecat Fahri Hamzah (FH) karena “ulahnya” selama ini, saya sempat berpikir untuk menulis artikel tentang Jonru Ginting (selanjutnya disebut Jonru saja). Jonru yang oleh sebagian warga dan kader PKS hampir saja dinobatkan jadi “nabi” dalam hal plintir memelintir berita dan informasi. Bahkan dalam batas-batas tertentu Jonru tak segan-segan “merekayasa” berita dan informasi hanya untuk memenuhi kehausdahagaan kader PKS untuk membalaskan sakit hati dan kebencian mereka terhadap Presiden Jokowi.

Jonru dikenal merupakan salah seorang kader PKS yang sangat militan dan gigih “menyerang” Jokowi, sejak dari masa pencalonannya sebagai calon presiden (capres) sampai setelah terpilih menjadi Presiden RI. Hanya saja, setelah DPP PKS pimpinan Sohibul Iman “menyambangi” Presiden di Istana, sikap “kritis” Jonru sedikit mereda. Atmofsir politik Indonesia kembali sedikit menampilkan wajah yang lebih ramah, setelah Jonru “menarik” diri kegaduhan dunia pergosipan dan perfitnahan.

Itu gambaran singkat tentang inspirasi yang muncul ketika mendengar FH dipecat, dari keanggotaannya sebagai kader PKS. Tiba-tiba berkelebat dalam pikiran saya, kalau FH dipecat hanya karena “ulahnya” yang kurang mengikuti kebijakan partai, bagaimana dengan si Jonru? Seseorang yang selama ini membuat PKS dicap sebagai partai pendukung ghibah, gosip, dan fitnah?

Ulah Jonru diakui atau tidak telah banyak membawa mudharat terhadap PKS ketimbang manfaatnya. Jonru memberikan kontribusi yang tidak sedikit terhadap keterpurukan citra PKS. Tapi rupanya Jonru seakan mempunyai “kekuatan” lebih untuk bisa bertahan dari penegakkan disiplin partai sebagaimana alasan yang digunakan untuk memecat FH. Meski demikian, menimbang sepak terjang Jonru selama ini yang sungguh membuat PKS sedikit “kelimpungan”, saya jadi bertanya, setelah FH, kapan giliran Jonru?

***

FH ternyata tidak cukup cerdas sebagaimana Jonru. FH kurang dapat memahami trik-trik yang digunakan Jonru untuk menghindar dari kemungkinan dipecat sebagai kader partai PKS. Padahal bila dibandingkan dengan kesalahan FH, “dosa” Jonru lebih besar terhadap PKS. Harus diakui bahwa karena ulahnya yang kebablasan, sehingga suara PKS mengalami kemerosotan yang cukup tajam pada Pemilu Legislatif 2014. Tapi hal itu bagi DPP PKS bukan merupakan masalah yang serius, mengingat Jonru bukan merupakan pejabat partai, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki akses dalam hal mempengaruhi kebijakan pemerintah (publik).

Sementara FH memiliki posisi dan predikat yang sangat prestisius meski tidak memiliki jabatan struktural di DPP PKS. Dalam pandangan DPP PKS, seharusnya dalam posisi demikian FH lebih sedikit wise. Mampu menempatkan posisi politiknya secara cerdas dan “lihai” dalam konstatasi politik yang sangat dinamis saat ini. Juga dalam atmosfir politik yang penuh intrik dan persaingan.

Sayang sekali FH lalai dalam membaca perubahan sikap politik pimpinan PKS sejak pergantian pucuk pimpinan di DPP PKS. FH merasa tak akan tersentuh meski menunjukkan sikap yang “tak ramah” terhadap rezim yang memerintah saat ini. FH seakan menunjukkan bahwa meski ia bersikap “mbalelo” tidak mungkin pimpinan PKS mengambil tindakan  mendisiplinkannya secara ekstrim. Memecatnya dari keanggotaan pada semua level dan sekaligus menggantikan posisinya dari Wakil Ketua DPR RI.

***

Akibat lebih lanjut dari kehilangan keanggotaan partai maka beresonansi berkonsekuensi pada  kedudukannya sebagai Wakil Ketua DPR RI. Artinya ketika keanggotaan partai sudah tidak melekat pada dirinya maka pada waktu bersamaan (seharusnya) gugur pula status dan posisinya sebagai Wakil Ketua DPR.  FH tidak pernah menyangka dan membayangkan bahwa sikap vokalnya selama ini akan berbuah pemecatan.

FH sepertinya merasa masih berada di bawah perlindungan Koalisi Merah Putih (KMP). Tapi estimasinya sangat jauh dari ekspektasinya. Ketika saat ini FH merasa didholimi oleh Partainya, tak seorang pun, meski kawan karibnya di pimpinan DPR, seperti Fadli Zon mengulurkan tangan membantunya. Maka satu-satunya jalan yang dapat FH tempuh untuk memperjuangkan hak-haknya, harus menempuh jalur hukum, baik secara perdata maupun pidana.

FH  berusaha memulihkan nama baiknya dengan memohonkan pembatalan SK pemecatannya dengan menempuh jalur perdata melalui Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN). Sedangkan untuk kepentingan pemulihan hak-hak hukum (pidana) FH mengajukan gugatan pidana melalui pengadilan negeri (PN) tingkat pertama.

FH pun memberikan perlawanan. Adalah wajar FH menunjukkan dan memberikan perlawanan terhadap sikap DPP PKS yang telah bersikap semena-mena terhadap dirinya. Bagaimana hasil dari perlawanan FH ini masih kita tunggu. Episode tentang perlawanan FH terhadap DPP PKS akan semakin seru ketika FH secara resmi mengajukan gugatan, baik perdata maupun pidana. Muara dari semua itu pasti akan berpengaruh pada atmosfir politik dalam tubuh PKS sendiri.

***

Baiklah kita tinggalkan sementara episode perlawanan FH ini. Sekarang kita mencoba melihat kemungkinan dan peluang FH bila didorong untuk maju bertaruh di Pilkada DKI 2017.

Di tengah-tengah gonjang-ganjing kasus penyuapan terhadap salah seorang anggota DPRD DKI dalam pembahasan Rencana Peraturan Daerah (Raperda) Zonasi dan Reklamasi Pulau, tidak ada salahnya kalau kita mencoba mengutak-atik kemungkinan peluang FH maju di Pilkada DKI. Dengan sedikit memainkan sentimen dan mengeksploitasi dirinya yang sedang didholimi, saya yakin dan percaya FH akan mendapat simpati dan empati publik. Dalam waktu bersamaan elektabilitasnya akan melonjak tajam, yang sangat boleh jadi dapat menyaingi, bahkan bisa mengalahkan elektabilitas Ahok (yang saat ini sedang dirundung masalah reklamasi).

Publik Indonesia pasti masih ingat ketika SBY yang merasa “dikucilkan” dalam kabinet Pemerintahan Megawati, yang kemudian memaksanya mengundurkan diri sebagai anggota kabinet (menteri). Dengan memanfaatkan dan sedikit mengekploitasi perasaan publik yang cepat merasa iba terhadap perlakuan yang tidak semestinya, SBY berusaha menyiapkan “kekuatan” untuk maju melawan mantan bosnya, Megawati pada pemilihan presiden tahun 2004. Dan ternyata feeling SBY sangat jitu, ia mampu meraih simpati publik (rakyat) Indonesia. Tak tanggung-tanggung SBY mampu mempecundangi Megawati dalam dua kali pertarungan, Pilpres 2004 dan Pilpres 2009.

***

Belajar pada SBY, FH dapat mengadopsi ilmu raih simpati a la SBY. FH harus dapat melakukan hal yang sama. FH dapat mempelajari sikap sentimentil a la SBY untuk menarik simpati dan empati warga ibukota. Ketika hal itu sudah dapat diraih, jalan lempang untuk menuju DKI 1 dapat terbuka lebar. Dan hal ini bukan merupakan sesuatu yang mustahal bin mustahil. Hanya satu syaratnya, FH harus dapat merubah sikapnya yang frontal selama ini menjadi lebih santun a la SBY. Apalagi saat ini warga ibukota sangat ingin mendambakan seorang pemimpin, yang tidak saja tegas tapi juga santun. Lebih jauh, Muslim.

Isu pemimpin muslim, santun, bersih, dan tegas saat ini menjasdi komoditas kampanye ketika menjelang pesta demokrasi seperti Pilkada. Jualan tentang keagamaan seorang pemimpin masih sangat menarik dan menjadi hal yang masih sangat gandrungi di kalangan mayoritas warga muslim. Khususnya di kalangan mereka yang sangat mudah dikooptasi kemandirian sikap dan pikirannya.

FH harus dapat memanfaatkan kesempatan mempolitisasi kondisinya saat ini untuk kepentingan meraih simpati dan meningkatkan elektabilitasnya. Karena saya juga percaya FH sudah memiliki modal sosial dan politik yang cukup untuk bertarung. FH tidak saja sebagai (mantan) Wakil Ketua DPR, tapi juga memiliki akses yang sangat luas untuk masuk pada wilayah-wilayah privat kaum urban yang terpinggirkan.    

Apalagi di kalangan warga muslim pinggiran dan dipinggirkan. Jualan sentimen keagamaan adalah sebuah mantra ajaib. Di tambah pula dengan memainkan perasaan publik terhadap tindakan semena-mena yang dialaminya saat ini. Masyarakat Indonesia memang mudah iba dan kasihan. Dengan sedikit “mempermainkan” perasaan mereka, kursi DKI 1 dapat diraih dalam dekapan. FH, belajarlah pada SBY!

Juga FH dapat memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan ketika Ahok limbung dalam kasus suap pembahasan Raperda Zonasi dan Reklamasi pulau Jakarta.

Wallahu a’lam bish-shawabi

Ya sudah, selamat membaca, …

Bogor, 08  April  2016

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun