FH sepertinya merasa masih berada di bawah perlindungan Koalisi Merah Putih (KMP). Tapi estimasinya sangat jauh dari ekspektasinya. Ketika saat ini FH merasa didholimi oleh Partainya, tak seorang pun, meski kawan karibnya di pimpinan DPR, seperti Fadli Zon mengulurkan tangan membantunya. Maka satu-satunya jalan yang dapat FH tempuh untuk memperjuangkan hak-haknya, harus menempuh jalur hukum, baik secara perdata maupun pidana.
FH berusaha memulihkan nama baiknya dengan memohonkan pembatalan SK pemecatannya dengan menempuh jalur perdata melalui Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN). Sedangkan untuk kepentingan pemulihan hak-hak hukum (pidana) FH mengajukan gugatan pidana melalui pengadilan negeri (PN) tingkat pertama.
FH pun memberikan perlawanan. Adalah wajar FH menunjukkan dan memberikan perlawanan terhadap sikap DPP PKS yang telah bersikap semena-mena terhadap dirinya. Bagaimana hasil dari perlawanan FH ini masih kita tunggu. Episode tentang perlawanan FH terhadap DPP PKS akan semakin seru ketika FH secara resmi mengajukan gugatan, baik perdata maupun pidana. Muara dari semua itu pasti akan berpengaruh pada atmosfir politik dalam tubuh PKS sendiri.
***
Baiklah kita tinggalkan sementara episode perlawanan FH ini. Sekarang kita mencoba melihat kemungkinan dan peluang FH bila didorong untuk maju bertaruh di Pilkada DKI 2017.
Di tengah-tengah gonjang-ganjing kasus penyuapan terhadap salah seorang anggota DPRD DKI dalam pembahasan Rencana Peraturan Daerah (Raperda) Zonasi dan Reklamasi Pulau, tidak ada salahnya kalau kita mencoba mengutak-atik kemungkinan peluang FH maju di Pilkada DKI. Dengan sedikit memainkan sentimen dan mengeksploitasi dirinya yang sedang didholimi, saya yakin dan percaya FH akan mendapat simpati dan empati publik. Dalam waktu bersamaan elektabilitasnya akan melonjak tajam, yang sangat boleh jadi dapat menyaingi, bahkan bisa mengalahkan elektabilitas Ahok (yang saat ini sedang dirundung masalah reklamasi).
Publik Indonesia pasti masih ingat ketika SBY yang merasa “dikucilkan” dalam kabinet Pemerintahan Megawati, yang kemudian memaksanya mengundurkan diri sebagai anggota kabinet (menteri). Dengan memanfaatkan dan sedikit mengekploitasi perasaan publik yang cepat merasa iba terhadap perlakuan yang tidak semestinya, SBY berusaha menyiapkan “kekuatan” untuk maju melawan mantan bosnya, Megawati pada pemilihan presiden tahun 2004. Dan ternyata feeling SBY sangat jitu, ia mampu meraih simpati publik (rakyat) Indonesia. Tak tanggung-tanggung SBY mampu mempecundangi Megawati dalam dua kali pertarungan, Pilpres 2004 dan Pilpres 2009.
***
Belajar pada SBY, FH dapat mengadopsi ilmu raih simpati a la SBY. FH harus dapat melakukan hal yang sama. FH dapat mempelajari sikap sentimentil a la SBY untuk menarik simpati dan empati warga ibukota. Ketika hal itu sudah dapat diraih, jalan lempang untuk menuju DKI 1 dapat terbuka lebar. Dan hal ini bukan merupakan sesuatu yang mustahal bin mustahil. Hanya satu syaratnya, FH harus dapat merubah sikapnya yang frontal selama ini menjadi lebih santun a la SBY. Apalagi saat ini warga ibukota sangat ingin mendambakan seorang pemimpin, yang tidak saja tegas tapi juga santun. Lebih jauh, Muslim.
Isu pemimpin muslim, santun, bersih, dan tegas saat ini menjasdi komoditas kampanye ketika menjelang pesta demokrasi seperti Pilkada. Jualan tentang keagamaan seorang pemimpin masih sangat menarik dan menjadi hal yang masih sangat gandrungi di kalangan mayoritas warga muslim. Khususnya di kalangan mereka yang sangat mudah dikooptasi kemandirian sikap dan pikirannya.
FH harus dapat memanfaatkan kesempatan mempolitisasi kondisinya saat ini untuk kepentingan meraih simpati dan meningkatkan elektabilitasnya. Karena saya juga percaya FH sudah memiliki modal sosial dan politik yang cukup untuk bertarung. FH tidak saja sebagai (mantan) Wakil Ketua DPR, tapi juga memiliki akses yang sangat luas untuk masuk pada wilayah-wilayah privat kaum urban yang terpinggirkan.