Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ahok Berada di Persimpangan Jalan

8 April 2016   11:44 Diperbarui: 8 April 2016   12:09 2320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber : www.teropongsenayan.com/31686-pdip-dan-temanahok-beda-keinginan-ahok-bingung"][/caption]

Oleh : eN-Te

Sejak penangkapam KPK terhadap salah satu mantan anggota DPRD DKI yang juga Ketua Komisi D melalui operasi tangkap tangan (OTT), atmosfir politik Jakarta semakin  hari suhunya semakin naik. Kondisi tersebut membuat para pelaku politik di Ibukota semakin gerah. Gerah yang mungkin saja membawa kegelisahan. Apalagi di saat-saat menjelang pesta demokrasi Pilkada 2017.

Begitu pula halnya dengan bakal calon gubernur (Cagub) DKI, Basuki Tjahaja Purnama atau biasa disapa Ahok. Beberapa hari terakhir nuansa pemberitaan media telah menciptakan kondisi seolah-olah Ahok berada di persimpangan jalan. Antara menegakkan kebenaran dan mempertahan idealisme dengan realitas sosial politik ibukota.

***

Kemarin, Kamis (7/4/2016) KPK telah secara resmi merilis  permintaan pencegahan dan penangkalan (cegah tangkal, cekal) untuk bepergian ke luar negeri salah seorang staf khusus Ahok, Sunny Tanuwidjaja. Permintaan tersebut telah ditindaklanjuti oleh Ditjen Imigrasi. Cekal terhadap salah seorang staf khususnya ini, mau tidak mau  pasti membuat suhu tubuhnya menjadi panas dingin dan membuat Ahok harus berpikir keras.

Meski demikian, kita harus terus mencermati perkembangan yang ada. Karena banyak “volounteer” dadakan yang cenderung sangat a priori dan tanpa melalui mekanisme check and rechek terhadap setiap informasi yang berkembang di luar. Rasionalitas dan kritisisme harus terus dikedepankan di tengah arus informasi yang cenderung bias.

Tidak semua informasi yang diterima harus ditelek mentah-mentah. Apalagi informasi itu dikutip dari portal-portal berita abal-abal (mungkin artikel ini bisa membantu). Bahkan ada yang dengan semangat 45 langsung menbagikan melalui media sosial. Saya kadang-kadang geleng-geleng kepala melihat pola tingkah orang-orang seperti ini, hanya karena antipati menutup mata dan telinga tanpa risih mengorbankan nalar sehat sebagai manusia intelek. Senang denga ghibah, gosip, rumor, dan fitnah.

Setiap orang berhak untuk mengetahui  apapun yang berkaitan dengan pemimpinnnya. Tapi hendaknya hal itu harusnya tidak mebuat kita kehilangan rasionalitas sebagai manusia beradab. Jika tidak,  kita akan terjebak pada asumsi yang dibangun melalui argumentasi yang a priori atas landasan sentimen dan tendensius.

***

Kembali Ahok di persimpangan jalan. Ahok sekarang bukan saja berada  di persimpangan jalan, malah lebih jauh Ahok berada di tengah-tengah arus yang sangat ingin menghempaskannya.  Apalagi menilik trend berita setelah OTT KPK terhadap Mantan bakal Cagub dan juga mantan Ketua Komisi D DPRD DKI, M. Sanusi.

Melalui berbagai berita tersebut publik diberi pelajaran penting untuk dapat menelisik lebih jauh “belang-belang” yang mungkin disembunyikan oleh mereka yang digadang-gadang kelak menjadi pemimpin politik di negeri ini. Tak terkecuali juga Ahok.

***

Kasus Raperda Zonasi (juga biasa dikaitkan dengan reklamasi), telah membuka mata publik untuk melihat dan mengetahui apa sesungguhnya yang terjadi di balik hingar-bingar Pilkada DKI 2017. Ternyata di balik kegaduhan itu tersembunyi motif politik untuk memenuhi syahwat dan libido ingin kuasa. Untuk menggapai keinginan terpendam tersebut, maka “para pihak” melakukan berbagai cara dan trik untuk mendapatkan sarana dan prasarana sebagai media mencapai ambisi politik terpendam tersebut.

Jalan yang ditempuh pun berliku dan penuh resiko. Meski menyadari semua resiko dan konsekuensi itu tidak ringan, ambisi politik terpendam telah menutup mata hati dan akal sehat. Mungkin mental terebas telah demikian merasuk jauh ke dalam sum-sum tulang, sehingga tidak cukup mampu mencegah syahwat kuasa itu, apalagi hanya ingin menyembuhkannya melalui “jampi-jampi” tausyiah.  

Saya terpaksa menggunakan istilah “jampi-jampi” tausyiah, karena melihat perilaku para tokoh yang mengklaim paling tahu tentang ajaran dan nilai moral agama. Di satu sisi berteriak orang lain tidak pantas menjadi pemimpin, karena sudah kapir, bermulut kasar bau comberan pula. Tapi, sayangnya pada saat bersamaan ketika “mengkritik” calon pemimpin yang bermulut comberan itu, ia malah menggunakan kata-kata dan ungkapan yang tak kalah ganasnya, juga berbau comberan. Mengkritik orang lain sebagai warga keturunan yang tidak pantas memimpin negeri, dia sendiri tidak menyadari bahwa dirinya juga warga keturunan.  Kalau sudah begini, publik (umat) menjadi bertanya-tanya, yang benar siapa sih?

***

Kasus suap Agung Podomoro Land (APL) mau tidak mau menggiring Ahok berada di persimpangan jalan. Para penentang dan penantang seakan mendapatkan amunisi gratis untuk kembali memanaskan sekaligus “menggembirakan” atmofsir politik DKI menjelang Pilkada 2017. Apalagi KPK telah meminta pihak Ditjen Imigrasi untuk melakukan cekal terhadap salah seorang staf khusus Ahok.

Oleh beberapa orang “intelek” mencoba share-ria berita yang dilaunching dari portal-portal tidak kredibel mengenai hubungan kekerabatan staf khusus dengan Ahok. Meski berita itu kalau dikomparasikan dengan berita lainnya dari media mainstream sangat berbeda jauh. Bahkan berbanding terbalik. Mengapa pula hanya karena kebencian kita harus menjerumuskan intelektualitas kita ke dalam arus  lumpur kebohongan.

Lepas dari itu semua, kita tetap berharap KPK terus melangkah maju untuk membongkar kasus kongkalikong antara APL dengan pihak legislatif dan(mungkin) eksekutif. Siapa pun yang terlibat harus diseret ke depan pengadilan untuk mempertanggungjawabkan keserakahannya. Tak peduli, meski ia sebagai eksekutif (dalam hal ini Ahok) yang sedang berkuasa, dan sedang berkeinginan untuk kembali menapak jalan menuju tangga kekuasaan untuk periode berikutnya.  

Pada posisi ini, Ahok harus dapat membuktikan secara gentelman bahwa kasus suap APL ini tidaklah membuatnya berada di persimpangan jalan. Tapi tetap memiliki komitmen kuat untuk melakukan transformasi demi Jakarta yang lebih baik. Dan hal itu harus dibuktikan dengan kemauan baik (good will) melalui kemauan politik (political will) membuka kasus suap raperda zonasi dan reklamasi ini mnenjadi terang benderang. Termasuk harus membuka akses yang seluasnya kepada KPK memeriksa Sunny Tanuwidjaja (kesiapan dieriksa lihat di sini). Meski hal itu, harus menjadi bumerang yang akan mengandaskan ambisi politiknya berkuasa kembali di ibukota negeri ini.     

Wallahu a’lam bish-shawabi

Ya sudah, selamat membaca, …

Bogor, 08  April  2016

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun