Melalui berbagai berita tersebut publik diberi pelajaran penting untuk dapat menelisik lebih jauh “belang-belang” yang mungkin disembunyikan oleh mereka yang digadang-gadang kelak menjadi pemimpin politik di negeri ini. Tak terkecuali juga Ahok.
***
Kasus Raperda Zonasi (juga biasa dikaitkan dengan reklamasi), telah membuka mata publik untuk melihat dan mengetahui apa sesungguhnya yang terjadi di balik hingar-bingar Pilkada DKI 2017. Ternyata di balik kegaduhan itu tersembunyi motif politik untuk memenuhi syahwat dan libido ingin kuasa. Untuk menggapai keinginan terpendam tersebut, maka “para pihak” melakukan berbagai cara dan trik untuk mendapatkan sarana dan prasarana sebagai media mencapai ambisi politik terpendam tersebut.
Jalan yang ditempuh pun berliku dan penuh resiko. Meski menyadari semua resiko dan konsekuensi itu tidak ringan, ambisi politik terpendam telah menutup mata hati dan akal sehat. Mungkin mental terebas telah demikian merasuk jauh ke dalam sum-sum tulang, sehingga tidak cukup mampu mencegah syahwat kuasa itu, apalagi hanya ingin menyembuhkannya melalui “jampi-jampi” tausyiah.
Saya terpaksa menggunakan istilah “jampi-jampi” tausyiah, karena melihat perilaku para tokoh yang mengklaim paling tahu tentang ajaran dan nilai moral agama. Di satu sisi berteriak orang lain tidak pantas menjadi pemimpin, karena sudah kapir, bermulut kasar bau comberan pula. Tapi, sayangnya pada saat bersamaan ketika “mengkritik” calon pemimpin yang bermulut comberan itu, ia malah menggunakan kata-kata dan ungkapan yang tak kalah ganasnya, juga berbau comberan. Mengkritik orang lain sebagai warga keturunan yang tidak pantas memimpin negeri, dia sendiri tidak menyadari bahwa dirinya juga warga keturunan. Kalau sudah begini, publik (umat) menjadi bertanya-tanya, yang benar siapa sih?
***
Kasus suap Agung Podomoro Land (APL) mau tidak mau menggiring Ahok berada di persimpangan jalan. Para penentang dan penantang seakan mendapatkan amunisi gratis untuk kembali memanaskan sekaligus “menggembirakan” atmofsir politik DKI menjelang Pilkada 2017. Apalagi KPK telah meminta pihak Ditjen Imigrasi untuk melakukan cekal terhadap salah seorang staf khusus Ahok.
Oleh beberapa orang “intelek” mencoba share-ria berita yang dilaunching dari portal-portal tidak kredibel mengenai hubungan kekerabatan staf khusus dengan Ahok. Meski berita itu kalau dikomparasikan dengan berita lainnya dari media mainstream sangat berbeda jauh. Bahkan berbanding terbalik. Mengapa pula hanya karena kebencian kita harus menjerumuskan intelektualitas kita ke dalam arus lumpur kebohongan.
Lepas dari itu semua, kita tetap berharap KPK terus melangkah maju untuk membongkar kasus kongkalikong antara APL dengan pihak legislatif dan(mungkin) eksekutif. Siapa pun yang terlibat harus diseret ke depan pengadilan untuk mempertanggungjawabkan keserakahannya. Tak peduli, meski ia sebagai eksekutif (dalam hal ini Ahok) yang sedang berkuasa, dan sedang berkeinginan untuk kembali menapak jalan menuju tangga kekuasaan untuk periode berikutnya.
Pada posisi ini, Ahok harus dapat membuktikan secara gentelman bahwa kasus suap APL ini tidaklah membuatnya berada di persimpangan jalan. Tapi tetap memiliki komitmen kuat untuk melakukan transformasi demi Jakarta yang lebih baik. Dan hal itu harus dibuktikan dengan kemauan baik (good will) melalui kemauan politik (political will) membuka kasus suap raperda zonasi dan reklamasi ini mnenjadi terang benderang. Termasuk harus membuka akses yang seluasnya kepada KPK memeriksa Sunny Tanuwidjaja (kesiapan dieriksa lihat di sini). Meski hal itu, harus menjadi bumerang yang akan mengandaskan ambisi politiknya berkuasa kembali di ibukota negeri ini.
Wallahu a’lam bish-shawabi