Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik

SBY: The Right Man On The Right Place

2 April 2016   21:57 Diperbarui: 2 April 2016   22:02 787
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Sumber : www.merdeka.com"][/caption]Oleh : eN-Te

Mantan Presiden RI ke-6, Soesilo Bambang Yudhoyono  atau biasa diakronimkan dengan SBY memang “unik”. Dikatakan unik karena sejak lengser dan sekarang memimpin Partai Demokrat, SBY tidak pernah “diam”. Ia terus menerus “berceloteh”, khususnya tentang rezim yang sedang berkuasa pascakepemimpinannya. Apa saja yang menurut pengamatannya tidak sesuai langsung saja SBY “berceloteh”. Baik itu via media social seperti facebook, twiter, maupun media lainnya. Termasuk pula media “pernyataan langsung”. Karena kebiasaannya “berceloteh” mengenai style pemerintahan saat ini, maka kemudian public mengangapnya sebgai orang yang lebay dan nyinyir.

Kenyinyiran SBY ternyata oleh sebagian orang dinilainya sebagai sedang mengalami post power syndrome (PPS). Ketidaksiapan SBY meninggalkan panggung kekuasaan. SBY seperti merasa masih sedang berkuasa dan merasa masih memiliki kuasa untuk “menentukan” ke arah mana dan bagaimana Indonesia ini harus berjalan ke depan.

***

Ketika pemerintahan Jokowi sekarang memfokuskan pembangunan pada sektor infrastruktur, tak luput dari perhatian SBY. SBY pun menilai dan “memprotes”, baik melalui akun twiter maupun kegiatan Tour de Java,  tentang kebijakan Pemerintah tersebut. Menurut SBY kebijakan terlalu mengutamakan pembangunan infrasruktur di tengah kondisi ekonomi negera yang lagi kurang menguntungkan itu sangat tidak pas. Sementara SBY tidak menyadari bahwa ketika pada masa rezimnya berkuasa dan ada bleidnya membangun infrastuktur kemudian mangkrak SBY merasa itu bukan merupakan sebuah masalah. SBY merasa tidak terbebani dengan mangkraknya proyek itu, malah merasa bangga. Ada yang aneh.

SBY kemudian “menggalang” opini dengan melakukan Tour de Java. Dalam kegiatan tersebut SBY dengan tidak bosan-bosannya mengkritik kebijakan Pemerintahan Jokowi. Meski untuk mengkamuflase kritikan itu, SBY harus membungkus dengan kalimat bahwa Partai Demokrat tetap mendukung program Pemerintah.

Hampir pada setiap tempat dan kesempatan dalam Tour de Java itu, SBY “berkampanye” sambil menyentil pemerintah. Satu sisi SBY mengatakan sebagai “mengingatkan”, tapi pada saat yang bersamaan SBY tidak bisa menyembunyikan maksud dari sentilan itu, yakni ingin mengetes, melakukan tes water, yang merupakan maksud tersembunyi dari kegiatan tour itu. Melempar kritikan sambil menguji respon public, apakah trah SBY masih cukup “diterima” ataukah tidak.

***

Mungkin merasa gerah dengan sepak terjang mantan Presiden SBY yang tidak pernah "diam” tetap nyinyir dengan semua program pemerintahannnya, maka Presiden Jokowi merasa perlu “menjewer” SBY. Maka hanya dengan satu kali langkah, Jokowi langsung menskakmat SBY. Tour de Java  yang sudah berlangsung hampir sebulan dengan segala kritikan SBY menjadi tidak berarti apa-apa.

Hambalang sebagai simbol “kebobrokan” manajemen Pemerintahan SBY disambangi Jokowi. Sambil mengililingi proyek infrastruktur untuk pusat kegiatan olahraga itu, Jokowi terus menerus menggelengkan kepala. Gelengan kepala yang menunjukkan rasa takjub atas “kehebatan” SBY telah meninggalkan “prasasti” bersejarah yang mangkrak. Ditutup dengan pernyataan Jokowi yang mengindikasikan betapa proyek tersebut telah membuat Negara kelimpungan. Publik kemudian menafsirkan bahwa Tour de Java yang sedang berjalan tidak mempunyai makna hanya dengan satu jam kunjungan Jokowi ke Puncak Hambalang.

Bagaimana tidak dikatakan Negara kelimpungan, karena ternyata melalui proyek Hambalang itu, kader-kader Partai Demokrat berpesta pora menggarong uang Negara. Akibat lebih lanjut seperti kita ketahui bahwa proyek itu mangkrak, tidak bisa dilanjutkan karena masih dalam proses penanganan hukum. Dalam proses penanganan hukum itu tidak sedikit pula uang Negara kembali terkeruk untuk biaya pemeliharaan dan perawatan. Proyek infrastuktur mangkrak ini, telah mengantar sejumlah kader Partai Demokrat masuk dan menginap di hotel prodeo. Maka pemerintah kemudian berinisiatif untuk menghentikan biaya pemeliharaan dan perawatan “museum hantu” dengan melakukan kajian ulang dan lebih lanjut untuk meneruskan pembangunan proyek itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun