***
Supaya tidak mengalami kejadian yang traumatis, dikalahkan secara “tragis” oleh Ahok, maka semua bakal calon yang muncul saat ini senantiasa tanpa rasa malu-malu kucing, menyerang dan ingin menjadikan Ahok sebagai sasaran tembak. Berbagai jurus serangan pun dikeluarkan. Tak masalah, bila jurus itu harus menyerang sesuatu yang bersifat personal (Ahok). Jurus lawas dan sering menjadi sasaran hujatan bila digunakan sebagai senjata pamungkas menyerang lawan, yaitu mengangkat atau melempar isu yang berbau primordial. Dalam bahasa umum biasa juga disebut dengan isu Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA).
Isu primordial beraroma SARA menjadi amunisi yang terpaksa harus digunakan untuk menghentikan fenomena Ahok. Karena dalam pandangan orang-orang picik itu isu SARA merupakan magnit yang paling kuat untuk menarik sentiment primordial. Maka kemudian kita menyaksikan ada bakal Cagub (seorang musisi, yang belum dicalonkan oleh partai manapun, tapi sudah merasa kegeeran) senantiasa memproduksi isu SARA untuk menyerang Ahok. Ia seperti tidak merasa rikuh dan tanpa bosan mengkapitalisasi isu SARA ini untuk menarik simpati kelompok-kelompok yang selama ini menjadi lawan Ahok. Padahal pada saat yang bersamaan, mungkin pula yang bersangkutan sangat menyadari bahwa dengan memproduksi isu yang berkaitan sentiment primordial primitive, akan dapat berdampak buruk terhadap keberterimaan (akseptabilitas) public terhadap dirinya. Bahkan mungkin pula berbalik menjadi bumerang menyerang dirinya, public menjadi resisten dan antipati. Hal mana akan sangat berpengaruh terhadap elektablitasnya. Baginya, hal itu tidak menjadi sebuah factor yang perlu dirisaukan.
***
Warga keturunan, etnis Tionghoa (China), minoritas etnis dan agama, pemimpin nonmuslim, pemimpin kafir, pemimpin bermulut comberan, adalah sebagian kosa kata yang menjadi sangat familiar di telinga, diproduksi dan dicobacekokkan ke telinga publik Indonesia sejak Ahok hadir. Ahok seakan diidentifikasi sebagai sebuah “penyakit endemis” yang harus dihindari dan ditolak. Ahok tidak dapat merepresentasikan diri sebagai figure yang harus digugu. Pokoknya Ahok memang tidak pantas, apalagi bila ditijau dari perspektif agama (Islam), bahkan haram hukumnya dipimpin seorang Ahok yang “kafir”, kata mereka.
Harus diakui bahwa sampai hari ini, mayoritas (warga pribumi) belum ikhlas menerima warga keturunan Tionghoa sebagai bagian yang tak terpisahkan dari entitas warga bangsa. Satu-satunya etnis yang terus menerus dipersepsikan sebagai “bukan” warga Negara yang sah di negeri ini. Bahkan sejak jaman Orde Baru, kelompopk etnis ini yang paling banyak dan paling rentan mendapat perlakuan yang tidak sewajarnya. Berada dalam labirin diskriminasi atas nama SARA, tanpa ujung. Distigmatisasi sebagai warga Negara yang tidak berhak mendapatkan perlakuan yang adil.
Dalam kondisi yang serba tidak menguntungkan itu, Ahok hadir sebagai antitesa. Antitesa terhadap aksioma umum yang berlaku selama ini, bahwa pemimpin harus berasal dari kelompok mayoritas. Tak masalah apakah sang kandidat yang digadang-gadang itu memiliki track record yang “membumi” atau tidak, memiliki kompetensi, kapabilitas, dan akseptabilitas, sehingga berpengaruh terhadap elektabilitasnya. Dan yang paling penting, kejujuran dan kemauan untuk mengabdi dan berbuat semata-mata demi dan atas nama kesejahteraan rakyat. Dan Ahok lebih memilih menjadi pelayan rakyat, daripada hanya menjadi “anak manis” sekelompok kaum opotunis yang hanya ingin mengejar jabatan dan menumpuk kekayaan.
Wallahu a’lam bish-shawabi
Ya sudah, selamat membaca, ...
Makassar, 26 Maret 2015
Oleh : eN-Te