Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ikut Nimbrung Soal Ahok

25 Maret 2016   23:29 Diperbarui: 25 Maret 2016   23:52 2779
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Bersatu lawan Ko Ahok - politik.news.viva.co.id"][/caption]Ahok memang fenomenal. Suka atau tidak suka, mau atau tidak mau harus diakui bahwa sejak kehadirannya di kancah perpolitikan Nasional, Ahok telah menghadirkan fenomena. Fenomena yang seakan ingin menantang arus, ketika semua entitas politik, baik parpol maupun pelaku politik (politisi) senantiasa berusaha berada dan berlindung di zona nyaman (comfort zone). Kenekatannya untuk tetap berada pada jalur menantang arus, maka Ahok seakan ingin melakukan test water, mengetes “kegemparan” atmofsir politik Nasional. Karena ulahnya yang yleneh tersebut maka Ahok bukan saja dicintai tapi pada saat yang bersamaan juga dibenci sebenci-bencinya, hingga ada yang tidak menginginkan Ahok itu ada. Meski “eksistensi” Ahok merupakan sebuah keniscayaan.

***

Banyak predikat yang melekat dan sengaja dilekatkan pada diri Ahok. Dan saya “curiga” Ahok sendiri sepertinya secara sadar menikmatinya. Ahok ingin disebut dan dikenang sebagai seseorang yang fenomenal.

Pada suatu kesempatan Ahok menyebut dirinya menyandang dua predikat minoritas. Minoritas etnis, sebagai warga Negara Indonesia beretnis Tionghoa (China) dan juga minoritas agama karena sebagai pengaut agama Kristiani. Sampai di sini, saya menduga, Ahok seakan ingin mengungkapkan keminoritasannya itu sebagai salah satu “modus” untuk mendapatkan simpati.

Tapi segera setelah itu saya harus meralat kembali praduga saya terhadap Ahok atas “keterusterangannya” tentang dua label minoritas yang disandangnya. Ternyata, Ahok bukan tipologi politisi melankolis, karena ingin mendapat simpati public maka kemudian melempar isu tentang label minoritas. Ahok bukan seseorang yang suka memanfaatkan sentiment keagamaan dan etnisitas sebagai senjata untuk mendapatkan sebuah motif politik.

Lihatlah saja kiprah dan sepak terjangnya selama ini. Ahok seperti memiliki energi lebih untuk tetap setia dan siap berada pada jalur menantang arus. Ahok seakan tidak peduli akan reaksi dan respon menolak dari hampir semua elemen yang sejak awal sudah bersikap resisten terhadap label keminoritasan yang disandangnya. Ahok seolah-olah tanpa lelah, terus menerus dengan sengaja memproduksi kontroversi.

Semua orang, baik kawan maupun lawan politiknya berusaha menjadi orang yang pertama untuk menganalisis setiap tingkahnya.  Maka tak heran karena sikap kontroversinya tersebut malah membuat atmosfir politik Indonesia, khususnya DKI Jakarta menjadi sangat gaduh. Antara yang menginginkan dan menolaknya sama-sama beradu untuk mempertahankannya dan menyingkirkannya.  Dan Ahok pun tetap teguh berdiri pada jalur kontroversi itu (baca juga di sini).

***

Ahok seperti tidak mau peduli dengan lingkungan (politik) di sekitarnya, ia tetap saja membuat “gaduh”. Kegaduhan yang terbaru adalah berkaitan dengan keputusannya untuk maju mencalonkan diri sebagai Calon Gubernur (Cagub) DKI Jakarta melalui jalur independen. Sebuah keputusan yang sangat probalistik dan amat beresiko. Lolos atau tidak lolos Ahok menjadi Cagub untuk meraih DKI 1, sangat bergantung pada terpenuhinya syarat minimal dukungan sesuai ketentuan penyelenggara Pemilu, dalam hal ini KPU.

Syarat untuk maju melalui jalur independen (perseorangan) sangat tergantung pada semangat dan kinerja anak-anak muda pada komunitas Teman Ahok (TA)  dalam mengumpulkan KTP warga Jakarta yang hendak mencalonkan Ahok. Jika kinerja TA cespleng, maka Ahok dapat melenggang kangkung dengan penuh percaya diri menatap kursi DKI 1 pada 2017 yang akan datang (yad). Kondisi ini akan berbalik bila target pengumpulan KTP tersebut tidak dapat dipenuhi TA. Maka Ahok harus siap-siap mengangkat koper ke luar dari Balaikota.

Tetapi, meski TA tidak dapat memenuhi “tantangan” Ahok, sementara masih ada partai politik (parpol) yang bersedia mengusungnya, maka Ahok masih bisa tersenyum merekah menatap DKI 1. Apalagi sampai hari ini berdasarkan hasil survey lembaga survey, Ahok masih tetap berada pada urutan teratas daftar “klasemen” bakal Cagub. Bahkan hampir semua bakal calon competitor Ahok juga mengakuinya, bahwa Ahok masih mempunyai peluang paling besar untuk memenangkan pertarungan. Tidak hanya karena ia sebagai petahana (incumbent), tapi Ahok adalah seseorang yang patut diperhitungkan. Jika tidak, niat dan keinginan untuk meraih mimpi menggapai DKI 1 hanya tinggal menjadi angan-angan. Dan semua bakal calon pesaing Ahok menyadari itu dengan baik, sehingga kadang-kadang dari pernyataan-pernyataan yang mereka keluarkan mengindikasikan rasa “ketakutan” akan kalah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun