Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pemimpin Patron Idola

10 Maret 2016   08:25 Diperbarui: 10 Maret 2016   16:47 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Inikah yang disebut Pemimpin?"][/caption]

Oleh : eN-Te

 

TVRI Sulawesi Selatan Senin malam, (7/3/2016) pukul 19.00 menyiarkan program dialog  “Paraikatte”. Tema yang dibahas dalam dialog “Paraikatte” itu adalah “Negarawan dan Bangsawan”. Dialog tersebut menghadirkan Narasumber: Azwar Hasan, Pahir Halim, dan Mardin Marhaban, serta dipandu oleh (kalau tidak salah ingat) Muh. Rasul. 

 

Patron Idola

Saya tidak mengikuti seluruh dialog itu sampai tuntas. Namun pada sebuah sesi, setelah mendeskripsikan tentang sejarah dan nilai negarawan dan bangsawan sampai pada kondisi “kepemimpinan” hari  ini, seorang Narasumber, Azwar Hasan, dosen Universitas Hasanuddin mengungkapkan sebuah istilah (baru) dan membuatku sangat berkesan. Menurut Azwar Hasan, bahwa Indoensia (kita) saat ini kehilangan “patron idola”.

Apakah patron idola itu? Secara bebas dapat ditafsirkan apa yang dimaksud Azwar Hasan, bahwa patron idola adalah orang-orang yang mempunyai “pengaruh” sehingga dapat menjadi idola bagi orang lain, dalam hal kepemimpinan dan keteladanan.  Mereka yang mampu memberikan contoh, yang dengan contoh dan teladan, dapat menggerakkan dan menginspirasi orang lain melakukan sesuatu. Tapi harus dicatat bahwa meski demikian, bukan berarti kondisi itu kemudian dapat dimanfaatkan untuk kepentingan kesenangan personal yang bersifat subyektif.

Istilah patron berasal dari bahasa Spanyol, yang berarti seseorang yang memiliki kekuasaan (power), status, wewenang, dan pengaruh. Sedangkan idola menurut KBBI (2008:567) berarti gambar, patung, atau orang yang dijadikan pujaan. Seseorang yang memiliki “pengaruh”, yang dengan itu melahirkan sugesti sehingga pengikutnya merasa tertarik, sampai pada batas “memujanya” dan menjadikannya sebagai panutan yang harus diikuti dan diteladani. Mestinya dengan semua sumber daya yang ia miliki memungkinkan seorang patron harus mampu menjadi pusat pengaruh (magnitude centre), yang dengan begitu akan melahirkan sugesti. Sugesti tersebut menciptakan sebuah kondisi yang memungkinkan orang tertarik dan mengikutinya.

 

Hilangnya Kepemimpinan

Terus, apakah kondisi sosial politik Indonesia hari ini menggambarkan sebuah keadaan seperti yang disebutkan Azwar Hasan? Bahwa ke-Indonesia-an kita telah kehilangan kepemimpinan yang dapat menjadi patron idola?

Buat saya sinyalemen seperti yang didiagnosis Azwar Hasan ada benarnya. Bahwa pada banyak strata sosial dalam ke-Indonesia-an kita, muncul gejala, hilangnya kepemimpinan (leadership loss). Sehingga secara berseloroh semua Narasumber yang  hadir pada dialog “Paraikatte” itu menjadikan contoh kasus kegaduhan dalam kabinet sebagai bahan tertawaan. Gambaran di mana antara satu menteri dengan anggota kabinet lainnya saling berbeda pendapat hanya karena berbeda perspektif (sudut pandang) malah menjadi konsumsi publik (media). Perdebatan yang seharusnya dapat diselesaikan di sidang kabinet malah kemudian diumbar keluar. Kondisi demikian akhirnya menimbulkan sentimen negatif terhadap proses perjalanan rezim (baca: pemerintahan).

Semua anggota kabinet di bawah komando Presiden seharusnya bergerak bersama, seirama, sehingga senandung lagu yang terdengar keluar juga terasa merdu berirama. Bukan malah sebaliknya, antara satu menteri dengan menteri lainnya seolah ingin menunjukkan ego dan syahwat kuasa. Berargumentasi secara logis dan sistematis adalah wajar, hal mana juga memberikan pembelajaran publik. Tapi jika hal itu hanya ingin menunjukkan siapa yang paling benar, maka hal itu menunjukkan sebuah indikasi telah terjadi leadership loss tadi, atau meminjam istilah Azwar Hasan, kehilangan patron idola.

Sangat disayangkan bahwa Indonesia, negeri besar dengan berjuta-juta penduduk, lebih dari 250 juta, tidak bisa melahirkan seseorang yang bisa menjadi patron idola. Presiden sebagai representasi penduduk Indonesia yang dipercaya untuk memimpin, seharusnya mampu memberi pengayoman, tanpa harus membiarkan “orang-orang” di sekelilingnya bergerak sendiri tanpa komando. Sekurang-kurangnya harus mampu memberi  contoh dan keteladanan, yang dengan begitu dapat membatasi ruang gerak para “hulubalangnya”, sehingga dalam bertindak dan berlaku tetap dalam koridor dan berada pada track yang benar, berdasarkan rambu-rambu yang sudah ada.

 

Konsep Pemimpin Ala Taman Siswa

Pemimpin yang menjadi patron idola mungkin sangat tepat dalam konteks ke-Indonesia-an, bila merujuk pada model atau konsep yang ditawarkan oleh Ki Hajar Dewantara. Bapak Pendidikan Indonesia ini, melalui Pendidikan Taman Siswa telah meletakkan tiga dasar yang menjadi konsep kepemimpinan yang ideal. Dalam mengembangkan model pendidikan yang berbasis kearifan ke-Indonesia-an, Ki Hajar Dewantara mengajukan tiga konsep dasar kepemimpinan. Ketiga konsep kepemimpinan menurut Ki Hajar Dewantara itu sudah sangat dikenal oleh publik Indonesia.

Pertama, menurut Ki Hajar Dewanatara, seorang pemimpin itu harus memiliki jiwa ing ngarsa sung tulodo. Sebagai seorang leader, dia harus berada pada garda paling depan dan memberikan contoh dan keteladanan. Ia harus mampu memberikan inspirasi bagi orang lain, sehingga dengan tanpa harus memberikan instruksi secara langsung, oarng-orang yang berada di sekelilingnya, yang menjadi pengikutnya, bergerak melakukan sesuatu. Bahkan bila dalam kondisi-kondisi tertentu ia harus mampu mengambil resiko atas konsekuensi yang harus ditanggung oleh pengikutnya. Berani mengambil tanggung jawab. Dengan begitu, maka dari “kharismanya” terpancar karakter yang dapat menjadi teladan, contoh yang baik untuk menjadi role model.

Kedua, dalam pandangan Ki HajarDewantara, seorang pemimpin yang dapatmenjadi patron idola, adalah orang yang harus mempunyai semangat ing madya mangun karsa. Ia tidak hanya mampu hadir, tapi juga sekaligus menegaskan diri dan eksistensinya, bahwa dia ada. Seorang pemimpin tidak hanya dilihat dari kehadiran pada suatu momen(tum) dan tempat, tapi kehadirannya mampu memberikan pengaruh dan dampak. Ia mampu menempatkan dirinya pada posisi yang tepat, berada di tengah anggotanya. Ketika ada masalah yang membuat “kegaduhan”, ia tidak hanya hadir dan memberi himbauan tapi mampu mengambil keputusan. Berani “memutuskan” kebisingan yang tidak perlu, hanya karena ego sektoral yang bersifat subyektif dan mengutamakan kepentingan kelompok serta syahwat politik semata dari anggota “hulubalangnya”. Kehadirannya dapat memberi perspektif yang mencerahkan, bahwa apa yang sedang dicanangkan bukan untuk diperdebatkan, tapi harus diimplementasikan secara konkrit. Bersama pengikutnya berjuang bersama untuk menghadirkan kesejahteraan untuk semua (bersama).

Ketiga, Ki HajarDewantara mengatakan bahwa pemimpin itu harus bisa menjadi tut wuri handayani. Dalam pandangan Ki Hajar Dewantara, seorang pemimpin harus bisa menjadi factor yang membangkitkan semangat juang pengikutnya. Ia harus tetap menjaga semangat (spirit) dengan memberikan dorongan dan motivasi. Ia tidak hanya memberikan perintah, tapi juga dapat melahirkan “patron”, pola yang dapat diikuti. Sehingga tanpa kehadirannya secara fisik, pengikut dan anggotanya tetap merasa sang pemimpin berada bersama mereka. Contoh yang telah ditinggalkan dapat menjadi model untuk dikembangkan lebih lanjut. Tugas pemimpin seperti ini tidak harus terlibat langsung di lapangan, apalagi harus meng-handle semua sampai pada hal-hal yang bersifat sangat teknis. Ia hanya memberi garis-garis besar dan instruksi bersifat umum sebagai guide line, bahkan mungkin harus melalui teknik membimbing, membina, melatih, tinggal pengikut dan anggotanya melihat dan kemudian menjabarkannya. Karena itu, penting bagi seorang pemimpin untuk memiliki jiwa yang mampu menginspirasi dan menggerakkan. Berdasarkan perspektif kepemimpinan ala Ki Hajar Dewantara itulah, kemudian mengilhami seorang Mendikbud, Anies Baswedan ingin mengembangkan pendidikan yang menginspirasi dan menggerakkan.

 

Epilog

Indonesia bukan tidak pernah melahirkan pemimpin yang dapat menjadi patron idola. Stock dan produk pemimpin model patron idola cukup banyak. Dalam rentang sejarah perjuangan hingga lahir dan terbentuknya Republik ini, Indonesia melahirkan banyak pemimpin yang dapat memiliki kepemimpinan yang mampu menghadirkan jiwa pemimpin ala Ki Hajar Dewantara.

Indonesia pernah melahirkan dan memiliki pemimpin besar sekaliber Soekarno-Hatta. Sejarah telah membuktikan bahwa kedua tokoh besar bangsa ini telah menginspirasi rakyatnya untuk berjuang bersama. Keduanya telah melalui berbagai macam dan bentuk “siksaan fisik” dan kenyang dengan segala macam penderitaan. Semua itu tidaklah membuat keduanya harus “menyerah” pada nasib, tapi tetap mencoba “merawat” penderitaan  demi sebuah obsesi besar yang mereka usung bersama rekan-rekannya, kemerdekaan dan kedaulatan bangsa, Indonesia merdeka dan berdaulat.

Soekarno-Hatta adalah salah dua contoh model pemimpin yang menjadi patron idola. Pada zamannya, masih banyak pemimpin lainnya yang memiliki kriteria patron idola. Ada H.O.S. Cokroaminoto, K. H. Hasyim As’ary, Sutan Syahrir, Ki Hajar Dewantara, Mohammad Nasir, Haji Agus Salim, Tan Malaka, dan masih banyak lagi lainnya. Semuanya mewakili zamannya menjadi asset bangsa yang keteladanannya dapat menghadirkan patron idola. Mestinya nilai-nilai kejuangan yang pernah mereka wariskan untuk bangsa ini menjadi sebuah investasi jangka panjang untuk dapat melahirkan calon pemimpin yang dapat menjadi patron idola.

Sayangnya fenomena Indonesia kekinian, malah melahirkan calon pemimpin yang sangat kering akan makna hakiki memimpin. Ia hanya mampu mendapatkan pengakuan secara legal formal, tapi sungguh sangat tidak bisa “merawat” apalagi menjabarkan arti kepemimpinan itu. Dan kondisi tersebut pada tataran praktikal dalam atmofsir social politik Indonesia sungguh membuat kita hampir kehilangan harapan. Namun sebagai orang yang beragama kita tidak boleh putus harapan, karena negeri besar ini mempunyai cara sendiri untukd apat melahirkan pemimpin yang dapat menjadi patron idola. Meski untuk melahirkan dan membentuk pemimpin patron idola ini tidak mudah, harus melalui jalan yang panjang dan berliku. Membutuhkan tempaan “penderitaan”  yang tidak ringan.Tidak asal jadi, lahir bukan dengan cara instan, pemimpin karbitan, apalagi melalui model mobilisasi dengan cara mengeksploitasi sentimen keagamaan.

 

Wallahu a’lam bish-shawabi

Ya sudah, selamat membaca, …

Makassar, 10  Maret  2016    

 

 

Sumber gambar : di sini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun