Terus, apakah kondisi sosial politik Indonesia hari ini menggambarkan sebuah keadaan seperti yang disebutkan Azwar Hasan? Bahwa ke-Indonesia-an kita telah kehilangan kepemimpinan yang dapat menjadi patron idola?
Buat saya sinyalemen seperti yang didiagnosis Azwar Hasan ada benarnya. Bahwa pada banyak strata sosial dalam ke-Indonesia-an kita, muncul gejala, hilangnya kepemimpinan (leadership loss). Sehingga secara berseloroh semua Narasumber yang hadir pada dialog “Paraikatte” itu menjadikan contoh kasus kegaduhan dalam kabinet sebagai bahan tertawaan. Gambaran di mana antara satu menteri dengan anggota kabinet lainnya saling berbeda pendapat hanya karena berbeda perspektif (sudut pandang) malah menjadi konsumsi publik (media). Perdebatan yang seharusnya dapat diselesaikan di sidang kabinet malah kemudian diumbar keluar. Kondisi demikian akhirnya menimbulkan sentimen negatif terhadap proses perjalanan rezim (baca: pemerintahan).
Semua anggota kabinet di bawah komando Presiden seharusnya bergerak bersama, seirama, sehingga senandung lagu yang terdengar keluar juga terasa merdu berirama. Bukan malah sebaliknya, antara satu menteri dengan menteri lainnya seolah ingin menunjukkan ego dan syahwat kuasa. Berargumentasi secara logis dan sistematis adalah wajar, hal mana juga memberikan pembelajaran publik. Tapi jika hal itu hanya ingin menunjukkan siapa yang paling benar, maka hal itu menunjukkan sebuah indikasi telah terjadi leadership loss tadi, atau meminjam istilah Azwar Hasan, kehilangan patron idola.
Sangat disayangkan bahwa Indonesia, negeri besar dengan berjuta-juta penduduk, lebih dari 250 juta, tidak bisa melahirkan seseorang yang bisa menjadi patron idola. Presiden sebagai representasi penduduk Indonesia yang dipercaya untuk memimpin, seharusnya mampu memberi pengayoman, tanpa harus membiarkan “orang-orang” di sekelilingnya bergerak sendiri tanpa komando. Sekurang-kurangnya harus mampu memberi contoh dan keteladanan, yang dengan begitu dapat membatasi ruang gerak para “hulubalangnya”, sehingga dalam bertindak dan berlaku tetap dalam koridor dan berada pada track yang benar, berdasarkan rambu-rambu yang sudah ada.
Konsep Pemimpin Ala Taman Siswa
Pemimpin yang menjadi patron idola mungkin sangat tepat dalam konteks ke-Indonesia-an, bila merujuk pada model atau konsep yang ditawarkan oleh Ki Hajar Dewantara. Bapak Pendidikan Indonesia ini, melalui Pendidikan Taman Siswa telah meletakkan tiga dasar yang menjadi konsep kepemimpinan yang ideal. Dalam mengembangkan model pendidikan yang berbasis kearifan ke-Indonesia-an, Ki Hajar Dewantara mengajukan tiga konsep dasar kepemimpinan. Ketiga konsep kepemimpinan menurut Ki Hajar Dewantara itu sudah sangat dikenal oleh publik Indonesia.
Pertama, menurut Ki Hajar Dewanatara, seorang pemimpin itu harus memiliki jiwa ing ngarsa sung tulodo. Sebagai seorang leader, dia harus berada pada garda paling depan dan memberikan contoh dan keteladanan. Ia harus mampu memberikan inspirasi bagi orang lain, sehingga dengan tanpa harus memberikan instruksi secara langsung, oarng-orang yang berada di sekelilingnya, yang menjadi pengikutnya, bergerak melakukan sesuatu. Bahkan bila dalam kondisi-kondisi tertentu ia harus mampu mengambil resiko atas konsekuensi yang harus ditanggung oleh pengikutnya. Berani mengambil tanggung jawab. Dengan begitu, maka dari “kharismanya” terpancar karakter yang dapat menjadi teladan, contoh yang baik untuk menjadi role model.
Kedua, dalam pandangan Ki HajarDewantara, seorang pemimpin yang dapatmenjadi patron idola, adalah orang yang harus mempunyai semangat ing madya mangun karsa. Ia tidak hanya mampu hadir, tapi juga sekaligus menegaskan diri dan eksistensinya, bahwa dia ada. Seorang pemimpin tidak hanya dilihat dari kehadiran pada suatu momen(tum) dan tempat, tapi kehadirannya mampu memberikan pengaruh dan dampak. Ia mampu menempatkan dirinya pada posisi yang tepat, berada di tengah anggotanya. Ketika ada masalah yang membuat “kegaduhan”, ia tidak hanya hadir dan memberi himbauan tapi mampu mengambil keputusan. Berani “memutuskan” kebisingan yang tidak perlu, hanya karena ego sektoral yang bersifat subyektif dan mengutamakan kepentingan kelompok serta syahwat politik semata dari anggota “hulubalangnya”. Kehadirannya dapat memberi perspektif yang mencerahkan, bahwa apa yang sedang dicanangkan bukan untuk diperdebatkan, tapi harus diimplementasikan secara konkrit. Bersama pengikutnya berjuang bersama untuk menghadirkan kesejahteraan untuk semua (bersama).
Ketiga, Ki HajarDewantara mengatakan bahwa pemimpin itu harus bisa menjadi tut wuri handayani. Dalam pandangan Ki Hajar Dewantara, seorang pemimpin harus bisa menjadi factor yang membangkitkan semangat juang pengikutnya. Ia harus tetap menjaga semangat (spirit) dengan memberikan dorongan dan motivasi. Ia tidak hanya memberikan perintah, tapi juga dapat melahirkan “patron”, pola yang dapat diikuti. Sehingga tanpa kehadirannya secara fisik, pengikut dan anggotanya tetap merasa sang pemimpin berada bersama mereka. Contoh yang telah ditinggalkan dapat menjadi model untuk dikembangkan lebih lanjut. Tugas pemimpin seperti ini tidak harus terlibat langsung di lapangan, apalagi harus meng-handle semua sampai pada hal-hal yang bersifat sangat teknis. Ia hanya memberi garis-garis besar dan instruksi bersifat umum sebagai guide line, bahkan mungkin harus melalui teknik membimbing, membina, melatih, tinggal pengikut dan anggotanya melihat dan kemudian menjabarkannya. Karena itu, penting bagi seorang pemimpin untuk memiliki jiwa yang mampu menginspirasi dan menggerakkan. Berdasarkan perspektif kepemimpinan ala Ki Hajar Dewantara itulah, kemudian mengilhami seorang Mendikbud, Anies Baswedan ingin mengembangkan pendidikan yang menginspirasi dan menggerakkan.