Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Eksploitasi Nilai Religiusitas

2 Maret 2016   16:44 Diperbarui: 2 Maret 2016   17:03 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Siswa-Siswi Melakukan Dzikir Bersama"][/caption]

Oleh : eN-Te

Indonesia dikenal sebagai negeri yang memiliki beraneka adat dan beragam budaya. Keragaman itu juga terlihat dalam hal pengamalan keagamaan. Sayangnya nilai-nilai agung yang dituntunkan agama melalui ritual-ritual keagamaan oleh sebagian umatnya mengalami reduksi (makna). Maka tak heran bila dalam berbagai kesempatan dan atau kegiatan kita menyaksikan parade eksploitasi nilai religiusitas melalui pengalaman keagamaan yang terkesan vulgar. Dan fenomena eksploitasi nilai religiusitas ini semakin menemukan bentuknya seiring dengan berbagai kelompok kepentingan yang sedang mencoba peruntungan berburu nasib untuk sebuah jabatan tertentu.

Mobilisasi Dukungan

Ketika Soeharto berkuasa pada era Orde Baru, setiap kali pelaksanaan Pemilu, selalu saja muncul gerakan memobilisasi dukungan. Entah itu mobilisasi dukungan bersifat langsung dari instruksi Presiden Soeharto maupun melalui pembantu-pembantunya di anggota kabinet, serta perangkat pemerintahan di daerah (Provinsi dan Kab/Kota) seluruh Indonesia. Mobilisasi dukungan itu sendiri bermakna menggerakkan massa untuk melakukan sesuatu seperti yang diinginkan oleh mereka yang menggerakkan. Proses mobilisasi tersebut berasal dari atas ke bawah (top down), sesuatu yang digerakkan atas inisiasi dari atas. Hal itu tidak berarti bahwa pada saat itu tidak terjadi dukungan yang bersifat murni yang muncul dari bawah (botom up) oleh masyarakat akar rumput (grassroot).

Proses mobilisasi dukungan terhadap kelanggengan kekuasaan Orde Baru (Soeharto dan kroni-kroninya) dilakukan secara massif dan terencana. Semua kekuatan politik maupun sosial pada waktu itu dikerahkan untuk memberikan dukungan, baik secara politik maupun sosial. Kondisi itu dirancang dalam rangka untuk memberikan kamuflase bahwa rezim Orde Baru mendapat dukungan dari dan disukai oleh rakyat. Meski pada kenyataannya sebagian komponen sosial politik lain, baik secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi juga melakukan “perlawanan” terhadap kekuasaan Orde Baru. Ada pula yang melakukan melalui gerakan bawah tanah, meski resikonya juga tidak ringan. Sebab jika terendus dan ketahuan oleh aparat intelijen maka akan segera ditindak dan ditangkap dengan tuduhan melakukan tindakan subversif (makar) terhadap kekuasaan yang sah. Sebuah tuduhan yang tidak ringan, karena kosekuensinya akan membuat hak-hak politik dan hak-hak perdata seseorang tertuduh menjadi hilang dan mati. Sehingga parade memberikan dukungan terhadap kelanggengan kekuasaan menjadi sebuah pemandangan yang lumrah pada saat itu.

Proses mobilisasi dukungan terhadap kepemimpinan Soeharto dilakukan dengan menggunakan berbagai saluran, baik saluran resmi maupun tidak resmi. Saluran resmi misalnya melalui Pemerintah Pusat dan Daerah dan Partai Politik, sedangkan saluran tidak resmi yakni mendompleng organisasi massa (ormas) yang berafiliasi dengan pemerintah, misalnya diwakili ormas keagamaan, ormas pemuda, maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM). Bahkan sampai pada perkumpulan-perkumpulan pemuda maupun mahasiswa, serta karang taruna yang berada di pelosok kelurahan dan desa.

Doa Politik

Bentuk dukungan terhadap kepemimpinan Soeharto juga dimanfestasikan dalam berbagai rupa. Ada yang berupa pernyataan dukungan dan ada pula melakukan secara terbuka (deklarasi). Ada yang datang menyerahkan pernyataan dukungan itu secara langsung kepada Seoharto di Istana. Ada pula yang memberikan pernyataan dukungan secara simbolis. Semua bentuk dukungan itu, terasa sebagai sesuatu yang “wajar”, karena dalam banyak kesempatan pemerintah dan para politisi maupun kaum oportunis pada saat itu mencoba mendoktrinasi pemahaman publik bahwa belum ada calon pemimpin yang setaraf dengan Soeharto. Bagi mereka, Soeharto tidak (pernah) akan tergantikan.

Tidak cukup dengan memberikan dukungan melalui pernyataan (politik), baik dilakukan dengan mendatangi langsung Soeharto di Istana maupun secara simbolis, hal itu dilakukan pula dengan pendekatan keagamaan. Hal mana dilakukan dengan cara mengeksploitasi sentimen religiusitas umat. Maka tidak heran pada saat itu, kita juga menyaksikan proses mendukung rezim Seoharto juga dilakukan melalui ritual keagamaan. Tak kurang seorang Menteri Agama, Alamsyah Ratuperwira Negara, harus mengerahkan  umat untuk melakukan ritual keagamaan, berdoa massal agar rezim Soeharto dapat berjalan lancar dan langgeng. Fenomena itu, oleh media massa kemudian dipopulerkan dengan istilah “doa politik”.

Fenomena tersebut juga menggambarkan bahwa sesungguhnya ritual-ritual keagamaan dapat saja dirancang untuk kepentingan duniawi, tidak hanya semata-mata urusan yang berkaitan dengan kepentingan ukhrawi. Hal yang seharusnya bersifat privat, urusan personal, tapi karena dorongan syahwat politik sesaat, kemudian digiring ke area publik.

Istigotsyah

Fenomena doa massal seperti pertama kali diperkenalkan pada Era Soeharto oleh Menteri Agama, Alamsyah Ratuperwira Negara, yang dikenal dengan istilah “doa politik”, tidak hanya kita temukan pada kegiatan yang beraroma politik.  Tapi dalam banyak kesempatan kita juga menyaksikan mobilisasi massa untuk berdoa, agar apa yang akan dilakukan kelak dapat berjalan lancar dan berhasil dengan sukses.

Sebut saja mobilisasi siswa-siswi untuk melakukan doa massal atau istigotsyah menjelang akan mengikuti ujian akhir sekolah (UAS) dan atau ujian akhir nasional (UAN). Hampir pada semua jenjang dan tingkatan pendidikan (SD sampai SMA, umum maupun sekolah agama) gejala pengerahan siswa-siswi untuk melakukan doa massal (istigotsyah) menjadi hal jamak kita saksikan setiap menjelang akhir tahun ajaran. Lepas dari masalah pemahaman keagamaan dan internalisasi perasaan religiusitas, kondisi tersebut menunjukkan sebuah potret penghayatan keagamaan yang kering.

Gejala melakukan doa bersama (istigotsyah) tidak hanya menjadi monopoli siswa-siswi, yang “didesain” oleh para guru. Tapi, fenomena tersebut juga kita saksikan pada kelompok sosial dan masyarakat partisan lainnya. Tidak jarang kita temukan pula seseorang yang mempunyai “hajat politik” juga melakukan upaya agar keinginan dan niat (politiknya) tercapai. Jalan yang ia tempuh juga melalui pendekatan keagamaan. Lagi-lagi dengan mengeksploitasi nilai ritual keagamaan. Maka menjadi hal yang dianggap “lumrah” bila seorang calon ini calon itu, mencoba memainkan sentimen keagamaan untuk mencapai maksud tersembunyi.   

Kembali kita terpaksa menyaksikan bahwa nilai-nilai agung yang dituntun oleh agama direduksi sedemikian rupa untuk mencapai kepentingan duniawi yang bersifat sesaat. Bahwa melakukan doa itu adalah sebuah kebajikan, tapi jika niat untuk melakukan kebajikan itu telah disusupi oleh kepentingan personal, apalagi bersifat duniawi (paganis) maka nilai-nilai ritual keagamaan sebagaimana ajaran agama menjadi kehilangan makna.  

Dzikir Politik

Jika doa massal, doa bersama, dan istigotsyah sudah sering kita dengar dan saksikan, maka lain halnya dengan gejala baru dzikir bersama. Saya menyebutnya dengan istilah “dzikir politik”. Apa  yang dilakukan itu tidak semata-mata beribadah untuk mengharapkan keberkahan, tapi hal itu dilakukan karena ada niat lain, untuk dapat dimudahkan segala “urusan”, termasuk dalam hal urusan memenangkan sebuah kompetisi. Karena itu, dzikir yang dilakukan pasti bernuansa politis. Melakukan dzikir secara berjamaah di tempat-tempat  suci dengan maksud untuk berdoa agar ikhtiar yang sedang diusahakan dapat tercapai adalah sebuah kebajikan yang harus tetap dipelihara. Akan tetapi di balik itu tersembunyi motif tertentu, “ingin memperoleh lebih”,  jelas ada intervensi vested interest. Tidak lagi murni (pure) ibadah untuk menunjukkan kesalehan (personal).

Konsekuensi dari melakukan sesuatu karena ingin mendapatkan sesuatu yang lain yang lebih, maka bila tidak “terkabul” akan sangat menyesakkan, bahkan mungkin menyakitkan. Selalu saja muncul “ratapan”  keluhan dan penyesalan. Maka yang muncul adalah nilai pamrih. Bahkan sangat boleh jadi, sebelum hasil itu diperoleh, nilai pamrih itu sudah muncul dengan sendirinya, tanpa harus dijelaskan. Meski masih dalam kerangka sifat kemanusiaan (manusiawi) yang melekat pada seseorang, maka nonsense bila mengatakan bahwa seseorang melakukan sebuah tindakan, termasuk melakukan ritual keagamaan, tanpa sebuah motif, apalagi motif politik.

Karena itu, buat saya, fenomena “dzikir politik” yang terjadi di sebuah lembaga pemerintah di Makassar pada beberapa minggu dan beberapa hari lalu menimbulkan tanya. Apakah mobilisasi untuk berdzikir bersama yang dilakukan di masjid atau tempat (suci) lainnya itu murni menjalankan syariat agama, atau karena sebuah motif (politik)? Maka menjadi sebuah keheranan bila untuk kepentingan memenangkan persaingan dalam kontestasi dan kompetisi merebut posisi startegis di salah satu lembaga pendidikan tinggi kemudian harus mengeksploitasi sentimen keagamaan. Jika dugaan ini betul maka sebagai seorang akademisi yang kebetulan menjadi salah satu kandidat terlalu naif  sampai harus mereduksi makna hakiki sebuah ritual keagamaan untuk mengejar sebuah ambisi.

Epilog

Agama menganjurkan untuk berbuat kebajikan tanpa melibatkan niat untuk mendapatkan impact (baca imbalan). Berbuat tanpa mengharapkan pamrih, bebas dari vested interest. Meski dalam batas-batas tertentu, mengharapkan pahala sekalipun itu masih tergolong mengharapkan pamrih. Hendaknya setiap melakukan kebajikan supaya menghindari pretensi untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik. Di atas mengharapkan pahala adalah ridho. Kebajikan akan tetap bernilai kebajikan bila hal itu dilakukan dalam konteks hanya ingin mengharapkan ridho (baca keredhaan). Dalam bahasa umum dikenal dengan istilah mendapatkan berkah.  Bahwa setiap manusia memiliki interes untuk mendapatkan  hal yang lebih baik dari apa yang dia usahakan adalah sesuatu yang manusiawi, tapi agama menuntun agar itu dilakukan tanpa mengabaikan nilai kepatutan.

Wallahu a’lam bish-shawabi

Ya sudah, selamat membaca, …

Makassar, 02  Maret  2016    

 

Sumber Gamnbar di sini

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun