Fenomena doa massal seperti pertama kali diperkenalkan pada Era Soeharto oleh Menteri Agama, Alamsyah Ratuperwira Negara, yang dikenal dengan istilah “doa politik”, tidak hanya kita temukan pada kegiatan yang beraroma politik. Tapi dalam banyak kesempatan kita juga menyaksikan mobilisasi massa untuk berdoa, agar apa yang akan dilakukan kelak dapat berjalan lancar dan berhasil dengan sukses.
Sebut saja mobilisasi siswa-siswi untuk melakukan doa massal atau istigotsyah menjelang akan mengikuti ujian akhir sekolah (UAS) dan atau ujian akhir nasional (UAN). Hampir pada semua jenjang dan tingkatan pendidikan (SD sampai SMA, umum maupun sekolah agama) gejala pengerahan siswa-siswi untuk melakukan doa massal (istigotsyah) menjadi hal jamak kita saksikan setiap menjelang akhir tahun ajaran. Lepas dari masalah pemahaman keagamaan dan internalisasi perasaan religiusitas, kondisi tersebut menunjukkan sebuah potret penghayatan keagamaan yang kering.
Gejala melakukan doa bersama (istigotsyah) tidak hanya menjadi monopoli siswa-siswi, yang “didesain” oleh para guru. Tapi, fenomena tersebut juga kita saksikan pada kelompok sosial dan masyarakat partisan lainnya. Tidak jarang kita temukan pula seseorang yang mempunyai “hajat politik” juga melakukan upaya agar keinginan dan niat (politiknya) tercapai. Jalan yang ia tempuh juga melalui pendekatan keagamaan. Lagi-lagi dengan mengeksploitasi nilai ritual keagamaan. Maka menjadi hal yang dianggap “lumrah” bila seorang calon ini calon itu, mencoba memainkan sentimen keagamaan untuk mencapai maksud tersembunyi.
Kembali kita terpaksa menyaksikan bahwa nilai-nilai agung yang dituntun oleh agama direduksi sedemikian rupa untuk mencapai kepentingan duniawi yang bersifat sesaat. Bahwa melakukan doa itu adalah sebuah kebajikan, tapi jika niat untuk melakukan kebajikan itu telah disusupi oleh kepentingan personal, apalagi bersifat duniawi (paganis) maka nilai-nilai ritual keagamaan sebagaimana ajaran agama menjadi kehilangan makna.
Dzikir Politik
Jika doa massal, doa bersama, dan istigotsyah sudah sering kita dengar dan saksikan, maka lain halnya dengan gejala baru dzikir bersama. Saya menyebutnya dengan istilah “dzikir politik”. Apa yang dilakukan itu tidak semata-mata beribadah untuk mengharapkan keberkahan, tapi hal itu dilakukan karena ada niat lain, untuk dapat dimudahkan segala “urusan”, termasuk dalam hal urusan memenangkan sebuah kompetisi. Karena itu, dzikir yang dilakukan pasti bernuansa politis. Melakukan dzikir secara berjamaah di tempat-tempat suci dengan maksud untuk berdoa agar ikhtiar yang sedang diusahakan dapat tercapai adalah sebuah kebajikan yang harus tetap dipelihara. Akan tetapi di balik itu tersembunyi motif tertentu, “ingin memperoleh lebih”, jelas ada intervensi vested interest. Tidak lagi murni (pure) ibadah untuk menunjukkan kesalehan (personal).
Konsekuensi dari melakukan sesuatu karena ingin mendapatkan sesuatu yang lain yang lebih, maka bila tidak “terkabul” akan sangat menyesakkan, bahkan mungkin menyakitkan. Selalu saja muncul “ratapan” keluhan dan penyesalan. Maka yang muncul adalah nilai pamrih. Bahkan sangat boleh jadi, sebelum hasil itu diperoleh, nilai pamrih itu sudah muncul dengan sendirinya, tanpa harus dijelaskan. Meski masih dalam kerangka sifat kemanusiaan (manusiawi) yang melekat pada seseorang, maka nonsense bila mengatakan bahwa seseorang melakukan sebuah tindakan, termasuk melakukan ritual keagamaan, tanpa sebuah motif, apalagi motif politik.
Karena itu, buat saya, fenomena “dzikir politik” yang terjadi di sebuah lembaga pemerintah di Makassar pada beberapa minggu dan beberapa hari lalu menimbulkan tanya. Apakah mobilisasi untuk berdzikir bersama yang dilakukan di masjid atau tempat (suci) lainnya itu murni menjalankan syariat agama, atau karena sebuah motif (politik)? Maka menjadi sebuah keheranan bila untuk kepentingan memenangkan persaingan dalam kontestasi dan kompetisi merebut posisi startegis di salah satu lembaga pendidikan tinggi kemudian harus mengeksploitasi sentimen keagamaan. Jika dugaan ini betul maka sebagai seorang akademisi yang kebetulan menjadi salah satu kandidat terlalu naif sampai harus mereduksi makna hakiki sebuah ritual keagamaan untuk mengejar sebuah ambisi.
Epilog
Agama menganjurkan untuk berbuat kebajikan tanpa melibatkan niat untuk mendapatkan impact (baca imbalan). Berbuat tanpa mengharapkan pamrih, bebas dari vested interest. Meski dalam batas-batas tertentu, mengharapkan pahala sekalipun itu masih tergolong mengharapkan pamrih. Hendaknya setiap melakukan kebajikan supaya menghindari pretensi untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik. Di atas mengharapkan pahala adalah ridho. Kebajikan akan tetap bernilai kebajikan bila hal itu dilakukan dalam konteks hanya ingin mengharapkan ridho (baca keredhaan). Dalam bahasa umum dikenal dengan istilah mendapatkan berkah. Bahwa setiap manusia memiliki interes untuk mendapatkan hal yang lebih baik dari apa yang dia usahakan adalah sesuatu yang manusiawi, tapi agama menuntun agar itu dilakukan tanpa mengabaikan nilai kepatutan.