Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membangun Asa Melalui “Putra Pribumi”

29 Februari 2016   11:39 Diperbarui: 29 Februari 2016   23:08 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Suasana Permainan dalam Dinamika Kelompok "][/caption]Pada akhir pekan kemarin, Kamis-Sabtu (25 – 27 Februari 2016) Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Sulawesi Selatan (LPMP Sulsel) menyelengarakan Workshop Capacity Building di Pantai Wisata Galesong Kabupaten Takalar. Kegiatan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusia (SDM) sebagai personil staf LPMP agar mampu melaksanakan tugas fungsi secara optimal, khususnya tugas fungsi lembaga sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendikbud) Nomor 38 Tahun 2012 dan Permendikbud Nomor 43/2013 tentang rincian tugas LPMP Sulbar, Sulsel dan Jateng.

Kegiatan ini melibatkan semua unsur di LPMP Sulsel mulai dari staf sampai pejabat struktural, termasuk Dr. H. Abdul Halim Muharram, M.Pd., sebagai Kepala LPMP, yang baru dilantik oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), pada awal Februari 2016.

Dalam kegiatan itu terlihat nuansa kebersamaan dan kekeluargaan yang tercermin dalam sesi (materi) dinamika kelompok. Format dinamika kelompok yang didesain dengan game-game yang menarik cukup mampu “mencairkan” suasana. Semua staf dan unsur pimpinan terlibat secara aktif di mana  hal itu bertujuan untuk menciptakan kerjasama dan kekompakkan tim. Apalagi didukung pula dengan pemilihan tempat yang cukup representatif  sehingga memberi kesempatan refreshing untuk melepaskan semua tetek bengek yang cukup melelahkan sepanjang pekan. Kegembiraan dan euforia sangat terasa dalam tiga hari di kahir pekan kemarin itu.

***

Sebelumnya, pada Sabtu (13/02/2016) telah berlangsung serah terima jabatan Kepala LPMP Sulsel. LPMP Sulsel sebelumnya dinahkodai oleh Prof. Dr. H. M. Wasir Thalib, M.S., untuk selanjutnya estafet kepempimimpinan diserahkan kepada Dr. H. Abdul Halim Muharram, M.Pd., sebagai nahkoda baru.

[caption caption="Acara Serah Terima Jabatan Kepala LPMP Sulsel"]

[/caption]

Bagi kalangan warga dan keluarga besar LPMP Sulsel, pimpinan baru, bukan merupakan orang baru. Sebelum menerima mandat sebagai “nahkoda” untuk mengarahkan biduk LPMP Sulsel menuju ke “pantai harapan”, beliau pernah bertugas dan menjabat pada beberapa posisi eselon IV dan III di LPMP Sulsel. Ibarat orang mudik, pimpinan baru sekarang balik kampung setelah sebelumnya mendapat kepercayaan dan promosi jabatan sebagai orang nomor satu di LPMP Sulawesi Tengah (Sulteng). Namun belum genap dua tahun memimpin LPMP Sulteng, rupanya Pemerintah melalui Mendikbud merasa perlu untuk memanggil pulang  yang bersangkutan agar mau “membenahi” LPMP Sulsel. Hal mana merupakan bentuk kepercayaan dan amanah sekaligus promosi jabatan kedua kalinya.

Penggunaan idiom atau frase promosi jabatan untuk menggambarkan tingkat eselonisasi antara LPMP Sulteng dan LPMP Sulsel. LPMP Sulsel mempunyai eselon satu tingkat di atas LPMP Sulteng, yakni eselon II. Apakah proses untuk “membenahi” berhasil atau tidak, kita masih menunggu, waktu pula yang akan menjawabnya.

***

Sekurang-kurangnya, dalam beberapa kesempatan sebagai nahkoda baru, sudah beberapa kali terlontar pernyataan yang menyembulkan harapan, yang memberi sinyal kuat  akan adanya gelagat untuk membangkitkan LPMP Sulsel yang hampir lebih dari 10 tahun tertidur lemas (tepatnya pingsan). Semoga berbagai pernyataan yang terlontar tidak hanya sekedar slogan tanpa makna, tapi seakan ingin menegaskan komitmen kuat yang dibarengi optimisme terukur dan memberi batas awal untuk melakukan “reformasi” demi kelangsungan misi penjaminan mutu pendidikan di Provinsi Sulawesi Selatan.

Optimisme ini akan berjalan dengan lancar dan sukses hanya dan bila semua komponen dan unsur LPMP Sulsel memiliki komitmen dan mau berkerja sama membangun tim secara kompak tanpa harus disusupi kepentingan-kepentingan personal apalagi bersifat primordial. Biarlah perbedaan (bersifat) primordial itu sebagai modal untuk membentuk kohesifitas dari keberagaman pandangan dan visi.

Tinggal bagaimana meramu semua keberagaman dalam satu kepentingan bersama menuju dan untuk mencapai cita dan asa bersama. Egoisme personal maupun kelompok yang selama ini seperti  api dalam sekam, musuh tersembunyi (hidden ennemy) hendaknya ditinggalkan karena panggilan nurani untuk bersama-sama membangun asa menuju “pantai harapan”. Asa yang sudah sedemikian lama muncul dan tenggelam.

Harus diakui bahwa sejak sekitar lima tahun  sebelum Balai Penataran Guru (BPG) Ujung Pandang “bermetamorfora” menjadi LPMP Sulsel, ditambah sekitar hampir 10 tahun LPMP Sulsel dipimpin oleh “orang luar”. Dalam rentang waktu minus lima tahun sebelum konversi, LPMP Sulsel seperti berada pada kondisi stagnan. Sehingga seorang Widyaiswara LPMP Sulsel harus menyimpulkan bahwa terjadi stagnasi kepemimpinan di LPMP Sulsel. Kalau boleh saya menambahkan atau tepatnya menegaskan bahwa bukan saja mengalami stagnan(asi), tapi kepemimpinan di LPMP Sulsel malah kondisinya sudah lebih  dari itu yakni dalam keadaan mati suri.

Sehingga saya pernah berharap agar LPMP Sulsel dapat dipimpin oleh “orang dalam” yang merupakan pejabat karier, tapi harus memiliki keberanian luar biasa dan bertangan besi untuk melakukan “pembenahan dan reformasi” pada hampir semua aspek, meliputi kepemimpinan, manajemen, maupun struktutral.  Pertanyaan kemudian muncul adalah, mungkinkah dengan kehadiran “putra pribumi” dapat membangitkan LPMP Sulsel dari kondisi (kepemimpinan) yang stangan atau mati suri itu tadi?    

***

Saya (masih) percaya bahwa tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Sekecil apapun ikhtiar yang ingin dilakukan asal didukung oleh kemauan yang kuat, ditambah bila lingkungan sekitarnya juga turut memberi supporting, insyaallah, asa kita akan berbuah manis. Dengan catatan semua dilakukan atas niat yang tulus untuk melakukan perbaikan demi kepentingan pembangunan pendidikan Indonesia, khususnya pendidikan Sulawesi Selatan ke depan yang lebih baik.   

Cukup sudah dalam rentang waktu ± 10 tahun kita seakan dibuai oleh sebuah keadaan yang sungguh sangat membuat kita “gemas”. Sebagai “warga pribumi” kita terus menerus dipaksa sebagai penonton tanpa diberi peran yang berarti untuk terlibat aktif memetakan jenjang karier secara proporsional dan mandiri. Ketika sebuah “masa atau era” telah tiba, bukan pejabat karier yang telah merintis karier dari bawah yang diproyeksikan dan dipromosikan untuk bisa mendapat kepercayaan mengisi posisi satu tingkat di atas posisi sebelumnya, melainkan malah pihak ekternal yang “diimpor” masuk.

Pada kondisi demikian dengan sangat terpaksa sambil mengerutu bahkan mungkin juga mengumpat kita harus menerima kenyataan bahwa “gerbong” jenjang karier tidak pernah bergerak maju, tapi berjalan di tempat. Kita seakan dibiarkan untuk terus bermimpi, tanpa mampu mencoba secara mandiri dan kreatif menemukan format sesungguhnya membentuk sebuah standard frame pengembangan karier.

Celakanya kualitas leadership produk “impor” itu, bag jauh panggang dari api, tidak seperti cerita dalam dongeng. Seseorang yang didapuk sebagai “nahkoda”, mestinya memiliki kepemimpinan yang kuat (stromg leadership) sehingga mampu menggerakkan. Karena pada esensinya kepemimpinan itu dapat dilihat dari bagaimana seseorang mampu menggerakkan semua kekuatan dan sumber daya yang berada dalam otoritasnya untuk melakukan sesuatu yang diiginkan. Tentu saja, harus cepat-cepat ditegaskan bahwa sesuatu yang diiginkan itu muaranya adalah untuk kepentingan dan kemaslahatan bersama. Bukan kepentingan kelompok, perorangan, apalagi pribadi.

***

Profil kepemimpinan ideal itu, sayangnya dalam 10 tahun terakhir di LPMP Sulsel, mengalami stagnan(asi), dan atau seakan hilang. Setelah Kehadiran “putra pribumi” telah sedikit mengobati “luka kepemimpinan” dan memberi angin segar bahwa kita masih punya harapan. Harapan untuk kembali ke “khittah” LPMP sesuai dengan tugas dan fungsi.  Bahwa eksistensi LPMP di tingkat provinsi adalah melakukan penjaminan mutu pada delapan (8) standar nasional pendidikan (SNP), yakni menyelenggarakan fungsi pada pemetaan mutu, supervisi satuan pendidikan, fasilitasi peningkatan mutu, pengembangan model pembelajaran, dan pengembangan dan pengelolaan sistem informasi mutu pendidikan (Permendikbud, Nomor 38 Tahun 2012).  

Sejauh ini Permendiknas No. 66/2008 tersebut belum tersosialisasi secara memadai kepada semua stakeholder pendidikan. Dua kepemimpinan LPMP Sulsel sebelumnya, masih belum optimal memberi perhatian untuk memastikan bahwa tugas dan fungsi LPMP dapat dipahami oleh semua stakeholder pendidikan di provinsi. Sehingga kehadiran dan keberadaan LPMP di tingkat provinsi kurang memberi pengaruh signfikan dalam penjaminan delapan SNP. Sebagai orang nomor satu yang memiliki “otoritas mutlak” hendaknya memiliki komitmen dan concern untuk mengembalikan “khittah” LPMP. Bahwa LPMP sebagai UPT pusat harus dapat menyelenggarakan penjaminan 8 SNP di tingkat provinsi. Dan hal itu dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan dengan menjalin kerjasama dan koordinasi dengan Pemerintah Daerah (Kab/Kota/Provinsi) dalam rangka memberi pemahaman dan melakukan sosialisasi tugas fungsi LPMP dengan tetap memperhatikan regulasi yang ada.

Saya percaya bahwa sebagai orang dalam dan “putra pribumi” pasti memiliki komitmen yang kuat untuk memajukan dan mengembangkan lembaga ini. Saya juga percaya bahwa pimpinan baru juga memiliki berbagai ide inovatif untuk menata dan mengembangkan semua sumber daya yang ada di LPMP sehingga mampu menghasilkan yang terbaik. Memposisikan diri sebagai “teladan” dan mampu memberi contoh, sehingga tidak ada lagi kesan LPMP Sulsel mengalami stagnasi dan atau kehilangan kepemimpinan. Sebagai bagian dari warga LPMP Sulsel mestinya bersikap welcome dan memberi kesempatan kepada “nahkoda” baru untuk melakukan terobosan-terobosan demi kepentingan perbaikan institusional dan mutu pendidikan di tingkat Sulsel.

***

Dalam kerangka itu, sebagai pimpinan baru hendaknya tetap berikhtiar untuk berada pada track yang benar demi mewujudkan komitmen membangun pendidikan di Sulsel yang lebih baik. “Pelajaran” yang pernah diperoleh di luar ketika “magang” sebelum mudik kampung, hendaknya menjadi modal yang berharga untuk melakukan pembenahan dan penataan menyeluruh (komprehensif) di LPMP Sulsel. Tapi, semua itu harus dilakukan dengan pendekatan yang dapat diterima oleh semua kelompok kepentingan (stakeholder) agar tidak menimbulkan resistensi. Harus ada garis demarkasi yang jelas dan tegas untuk membedakan kepemimpinan “putra pribumi” dan kepemimpinan “nonpribumi”, antara kepemimpinan “produk lokal” dan kepemimpinan “produk impor”. Jika tidak, saya khawatir cerita sumbang tentang kepemimpinan sebelumnya menjadi dongeng yang tidak menarik.

Agar tidak terjebak pada kondisi kegamangan, maka dianjurkan untuk senantiasa bercermin dan belajar pada binatang ringkih bernama keledai. Konon, seekor keledai bila (pernah) jatuh pada sebuah lubang, dia senantiasa berikthtiar, selanjutnya berusaha berhati-hati, agar dia jangan sampai terjatuh ke dalam lubang yang sama, yang pernah membuatnya terjerumus. Sebagai pimpinan puncak memiliki kewenangan yang memungkinkan untuk mengambil kebijakan, meski tidak harus bisa memenuhi keinginan semua pihak.

Bila perlu harus menerapkan “tangan besi” agar hal itu dapat berjalan dan dapat menjamin kebijakan inovatif itu dapat berjalan untuk kemaslahatan bersama. Meski demikian dengan segera harus ditegaskan bahwa hendaknya setiap kebijakan harus senantiasa berpegang pada rambu-rambu yang benar berupa regulasi yang dapat memberi panduan pada tataran yang diperbolehkan undang-undang.

Dengan begitu, kita tidak lagi berada pada kondisi status quo, terus menerus berkutat dengan masalah yang sama tanpa dapat menemukan jalan keluar seperti lingkaran setan (satanic circle).

Wallahu a’lam bish-shawabi

Ya sudah, selamat membaca, …

Makassar, 29  Februari  2016    

Oleh : eN-Te

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun