Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dua Hari yang Menyesakkan: Sebuah "In Memoriam"

24 Februari 2016   08:30 Diperbarui: 24 Februari 2016   08:50 1002
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan (selanjutnya ditulis LPMP Prov. Sulsel) benar-benar berkabung. Dalam waktu yang bersamaan kehilangan dua orang personil staf potensial. Pada akhir pekan ketiga di bulan Pebruari 2016 kemarin, secara berturut-turut, LPMP Prov. Sulsel mendapat musibah beruntun. Saya menggunakan idiom musibah untuk menggambarkan suasana kebatihanan (semua) keluarga besar LPMP Prov. Sulsel, karena kehilangan dua orang teman, sobat, saudara, rekan,  dan partner kerja.

Musibah mana dalam dua hari berturut-turut, Sabtu (20/02/2016) dan Ahad (21/02/2016) hanya selang tidak lebih dari 24 jam, dua orang karyawan (staf) potensial LPMP Prov. Sulsel, “mengakhiri” karya dan pengabdiannya untuk negeri ini. LPMP Prov. Sulsel dengan duka yang sangat mendalam harus melepas kebersamaan yang indah selama ini kepada kedua orang rekan dan partner kami untuk kembali menjumpai Sang Pemilik Hidup.

Ketika Sabtu (20/02/2016) malam sekitar pukul 21.00 Wita, teman, rekan, partner kerja, dan saudara kami, Saudara Agus Santoso (di kalangan LPMP, lebih familiar disapa Mas Bagus), dipanggil menghadap Sang Khalik. Di tempat lain, pada saat yang bersamaan, teman, rekan, dan partner kami yang lain, Saudara Edy Poerwanto (biasa dipanggi Pak Edy), seorang Widyaiswara, harus diantar ke rumah sakit dan harus berjuang melawan ajal. Karena ketika masuk hingga menjelang ajal, ia harus berjuang dalam kondisi koma. Tragisnya, dan hal ini membuat kami, semua keluarga besar LPMP Prov. Sulsel, harus menerima nasib, “dipisahkan”. Kami seperti disadarkan oleh suatu kenyataan, bahwa hidup itu punya batas.

Memaknai Musibah

“Batas hidup” untuk kedua teman, rekan, partner, dan saudara kami itu, ternyata hanya berselang tidak lebih dari 24 jam. Ketika kami semua, keluarga besar LPMP Prov. Sulsel sedang berkabung dan berkumpul melayat dan hendak mengantarkan teman, rekan, partner, dan saudara kami, Mas Bagus ke persitirahatannya yang terkahir, datang pula berita duka itu. Sesaat setelah jenazah Mas Bagus dimandikan dan dikafani, kemudian diusung menuju ke mobil ambulance untuk selanjutnya diantar ke masjid untuk disholatkan, bagai disambar petir, tiba berita “kepergian” teman, rekan, partner, saudara kami  yang lain. Ya, Saudara Edy Poerwanto (Pak Edy) juga menyusul Mas Bagus menjumpai Sang Pemilik Hidup. Seakan keduanya “telah berjanji” untuk tidak ketinggalan kereta, “mengakhiri” karya dan pengabdian mereka secara bersama-sama.

Keluarga besar LPMP Prov. Sulsel dalam sesaat merasa gamang dan masygul, bahkan mungkin “menyesakkan”. Bagaimana tidak? Dalam dua hari beruntun, bahkan hanya selang tidak lebih dari 24 jam, harus kehilangan dua orang staf potensial. Yang satu, Mas Bagus masih berstatus Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), dan Pak Edy, seorang Widyaiswara Muda. Untuk Mas Bagus, meski berstatus CPNS, dan masih dalam masa menunggu untuk mengikuti Prajabatan (masa sebelum diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS)), tapi telah mengabdi selama lebih dari satu dekade, 10 tahun di LPMP Prov. Sulsel sebagai tenaga honorer. Begitu pula dengan Pak Edy, teman kami yang lain, juga telah mengabdi sebagai PNS lebih dari 10 tahun di LPMP Prov. Sulsel. Awalnya Pak Edy masuk sebagai tenaga fungsional umum (sebelumnya dikenal sebagai staf struktural) kemudian beralih menjadi tenaga fungsional tertentu (widyaiswara) dengan rumpun matapelajaran IPA Fisaka dan Teknologi Informasi (TI). Dalam kegamangan itu, meski hal itu terasa menyesakkan, kami pun tersadar, dan harus bersikap pasrah, ibarat kata, “untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak”.  Inilah nilai transedental yang (perlu) menjadi kerangka acuan dalam membaca setiap fenomena dan peristiawa, agar kita tidak gagap dan kehilangan orientasi walau diperhadapkan pada sebuah situasi yang tanpa pilihan.

In Memoriam Agus Santoso

Sebelum menghembuskan nafas terakhir pada Sabtu di akhir pekan kemarin, Mas Bagus, sudah lama menjalani perawatan dan sempat dioperasi karena penyakit sinusitis (polip). Setelah menjalani operasi Mas Bagus sempat kembali menjalani rutinitas sebagai staf seperti biasa di LPMP Prov. Sulsel. Akan tetapi, kondisinya tidak lagi seprima sebelum menderita dan menjalani operasi. Mas Bagus yang sangat supel dalam pergaulan (orang Bugis Makassar sebut, somberre’), tidak lagi seceriah dulu. Kondisi fisik dan kesehatan mengalami penurunan yang cukup drastis, membuatnya tidak lagi gesit dulu. Puncaknya dua minggu sebelum menjemput ajal, Mas Bagus kembali harus masuk ruang perawatan, diopname di rumah sakit.

 [caption caption="Mas Bagus ketika dirawat dan dijenguk teman2 kantor di RS. Islam Faisal Makassar"][/caption]

Sebelum menghembuskan nafas terakhir di RS. Labuan Baji Makassar, Mas Bagus sempat dirawat di RS. Islam Faisal Makassar. Tiga hari sebelum Mas Bagus berpulang, oleh dokter almarhum dirujuk ke RS. Labuan Baji Makassar karena gangguan atau kesulitan bernafas. Akan tetapi, rupanya setelah Mas Bagus berpindah rumah sakit, kondisinya semakin menurun. Rupanya “rumah sakit rujukan” itu hanya merupakan tempat transit terakhir, hingga akhirnya dijemput oleh Malakul Maut, untuk kembali bertemu Sang Kekasih Abadi, Pemilik Kehidupan, Allah SWT.

Mas Bagus mulai bergabung dengan LPMP Prov. Sulsel seiring dengan terekrutnya Kakak Angkat beliau, Khalid Mustafa menjadi PNS pada 2002. Pada saat itu, LPMP Prov. Sulsel merupakan konversi dari Balai Penataran Guru (BPG Ujung Pandang) dipimpin oleh Drs. Harmanto, M.Si. Pada saat kepemimpinan Pak Harmanto dibentuk sebuah unit di LPMP Prov. Sulsel, yang disebut Information Communication Technology (ICT) yang digawangi oleh Khalid Mustafa, kakak angkat Mas Bagus. Karena kebutuhan untuk mengoperasikan perangkat ICT, maka kemudian Khalid Mustafa “merekrut” tenaga-tenaga terampil dari siswa SMK, yang juga merupakan murid beliau. Salah satu dari tenaga-tenaga terampil itu, adalah Mas Bagus.

Dalam perkembangannya, seiring dengan berpindahnya Pak Harmanto menjadi Kepala LPMP Yogyakarta, Khalid Mustafa pun ingin mencoba “menantang” kerasnya ibukota, dengan bermohon pindah ke Jakarta, meski di kemudian hari, karena sesuatu alasan, ia juga mengundurkan diri sebagai PNS. Berpindahnya Khalid Mustafa tidak serta merta membuat gundah Mas Bagus. Ia tetap bertahan meski dengan status sebagai tenaga honorer.

Kesempatan akan diangkat menjadi CPNS pun terbuka lebar ketika ada kebijakan pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS. Sayangnya ketika kebijakan pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS berdasarkan penggolongan status honorer (Kategori K1, K2), Mas Bagus harus merasa kecewa. Kategorisasi tenaga honorer dimaksudkan untuk memilah mana yang perlu “didahulukan” untuk diangkat menjadi CPNS sesuai dengan sumber anggaran pendanaan atau pembiayaan mereka. Awalnya, Mas Bagus masuk dalam kategori honorer K1, akan tetapi dalam perkembangan lebih lanjut ia harus turun “tahta” dari honorer kategori K1 menjadi honorer K2. Bahkan dalam satu kesempatan pengisian formasi CPNS di LPMP, Mas Bagus seperti merasa disalip di tikungan (terakhir), karena ia yang telah cukup lama mengabdi tidak mendapat kesempatan mengisi formasi yang ada. Sehingga muncul dugaan bahwa formasi CPNS yang diterima pada waktu itu dimaksudkan untuk mengakomodasi kepentingan kelompok “lingkaran dalam”, meski dari periode waktu belum cukup memenuhi syarat untuk direkrut karena baru mengabdi sebagai tenaga honorer tidak lebih dari satu tahun. Di sinilah “ironi”, yang di kemudian hari saya sering mejadikan guyonan untuk menganggu beliau, dengan mengatakan, “masa Mas, kok diam saja dilambung kiri?”

Saya tidak perlu menceritakan tentang apa respon beliau mendengar “ejekan” saya itu. Yang jelas Mas Bagus merasa didholimi oleh keadaan yang kurang menguntungkan dia. Hanya sebuah kalimat pendek yang ia ucapkan, bahwa saya tidak rela (ikhlas) diperlakukan seperti itu. Pesan yang ingin disampaikan Mas Bagus, adalah bahwa ketika memiliki kuasa, hendaklah kuasa itu digunakan secara benar, proporsional dan bertanggung jawab.

Satu hal yang sugguh menyedihkan ketika hari-hari terakhir dan masih terbaring di rumah sakit, Mas Bagus masih sempat memikirkan dan sangat risau dengan kesempatan mengikuti Prajabatan. Sebuah momentum “perubahan” jenjang karier yang sudah sangat lama dia tunggu, ketika kesempatan itu hampir saja diraih, ternyata Tuhan berkehendak lain. Allah SWT lebih memilih Mas Bagus mengikuti “Prajabatan” dengan kembali bertemu Khaliknya.

In Memoriam Edy Poerwanto

Almarhum Edy Poerwanto merupakan teman seangkatan saya ketika diterima menjadi CPNS di lingkungan BPG Ujung Pandang sebelum konversi menjadi LPMP Prov. Sulsel. Pada tahun 2002, ketika ada formasi penerimaan CPNS, Pak Edy dan kami teman-teman seangkatan, sebanyak 20 orang diterima menjadi CPNS di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), dan ditempatkan atau ditugaskan di BPG Ujung Pandang.

CPNS yang diterima pada waktu itu di BPG Ujung Pandang pada proses pemberkasan dan melengkapi semua administrasi, hanya 19 orang yang mendaftar ulang. Ada satu orang yang tidak mendaftar ulang, karena lebih memilih berkarier sebagai pegawai swasta. Dalam kelompok kami, CPNS angkatan 2002, Pak Edy adalah calon pegawai yang tertua. Menyusul kemudian saya. Maka seorang teman, sehari setelah pemakaman almarhum, dengan bergurau mengatakan kurang lebih seperti ini, “Pak Nurdin, siap-siap, giliran berikutnya”. Saya hanya menanggapi dengan senyum masam. Hehehehe, ...

 [caption caption="Pak Edy (berbaju putih) dan Mas Agung "]

[/caption]

Saya dan Pak Edy, ketika pertama kali bertugas ditempatkan di Seksi Pelayanan Teknis dan diperbantukan sebagai tenaga administrasi di ruang tenaga fungsional widyaiswara. Dalam menjalankan tugas itu, Pak Edy tidak sering full time berada di ruang widyaiswara, apalagi ketika beliau melanjutkan studi magister ke Institut Teknologi Bandung (ITB), sehingga praktis selama kurang lebih beberapa tahun saya yang paling betah  “bertahan” di ruang widyaiswara. Sempat terjadi beberapa kali pergantian staf yang diperbantukan di ruang widyaiswara, tapi posisi saya tetap “tidak tergantikan”. Pada akhirnya, karena sesuatu alasan, saya akhirnya memutuskan untuk “angkat koper” hengkang dari ruang widyaiswara. Alasannya sederhana, karena hampir tidak ada prospek proyeksi karier yang cukup “menjanjikan”.

Kemudian terbuka peluang pengisian formasi tenaga fungsional widyaiswara. Pak Edy juga tertarik mendaftar dan ikut seleksi. Saya yang awalnya turut tertarik, pada akhirnya batal mendaftarkan diri. Alhamdulillah, beliau lulus menjadi tenaga fungsional widyaiswara bidang Fisika dan Teknologi Informasi.

Ada sebuah momen di mana ketika masih berstatus CPNS datang peluang untuk mendapatkan beasiswa studi lanjut bidang TI di ITB. Dan kesempatan itu tidak dilewatkan dan disia-siakan oleh Pak Edy. Ia pun mendaftar ikut seleksi, dan alhamdulillah, lulus. Pak Edy pun melanjutkan pendidikan magister di ITB dengan bidang keahlian TI. Karena mengikuti pendidikan magister pulalah, pada angkatan kami CPNS, Pak Edy yang terlambat mengikuti Prajabatan. Bahkan ia harus terpaksa mengikuti Prajabatan di Bandung.

Waktu pun berlalu. Interaksi berlangsung dengan sangat akrab dan harmonis antarsesama teman dan seluruh staf LPMP. Bersamaan dengan semakin mapan karier, semakin meningkat pula tingkat kesejahteraan. Salah satu pameo bahwa seseorang semakin mapan kehidupannya, maka dapat dilihat pertambahan berat badan. Dan hal itu tercermin dari fisik Pak Edy yang semakin tambun. Seiring berlalunya waktu, tubuh Pak Edy semakin bertambah, sampai menjurus pada obesitas. Kondisi inilah, yang membuat saya sering menyapa dia dengan sebutan “bondeng” (istilah Bugis Makassar yang menjelaskan seseorang yang gemuk dan besar (tambun)). Maka bila saya bertemu dengan Pak Edy, saya biasa menyapa dengan sebutan “mengejek” itu tadi, bondeng. Pak Edy tidak terlalu risau dengan sapaan “mengejek” itu, mungkin bagi dia, hal itu merupakan guyonan semata. 

Tapi rupanya, dugaan saya keliru. Almarhum, karena terobsesi sangat ingin menurunkan berat badan (baca ingin kurus), maka rajin mengkonsumsi obat-obat herbal. Sayangnya, konsumsi obat herbal yang dilakukan Pak Edy tidak diimbangi dengan asupan gizi dan nutrisi yang baik dan seimbang. Hingga akhirnya dia harus menyerah pada takdir, menghembuskan nafas terakhir di RS. Bhayangkari Makassar, pada Ahad (21/02/2016) pukul 11.30 Wita.

Doa Kami

Sahabat, kami semua merasa kehilangan atas kepergian kalian berdua. Kami semua juga ingin berlama-lama bersama kalian berdua, Mas Bagus dan Pak Edy. Kami juga sangat berduka karena ditinggal pergi ketika obsesi ini membuncah, ingin bersama-sama dapat melakukan transformasi  “wajah” instusi ini agar tidak selalu menjadi “tanda tanya”. Sayangnya, apa daya, Sang Maha Kasih, ternyata lebih menyayangi kalian. Dan karena itu, Tuhan, Sang Pemilik Tunggal Arasy ini, memanggil kalian berdua pulang lebih awal mendahului kami.

Selamat jalan teman, sobat, saudara, dan sahabat. Kami semua ikhlas melepas kepergian kalian, dengan diiiringi doa, semoga kalian berdua kembali menemui Ilahi Rabby, dalam keadaan khusnul khatimah, diterima segala amal ibadah kalian, diampuni segala dosa kalian, dan kelak ditempatkan di sisi-Nya bersama orang-orang yang dimuliakan. Karya dan amal bhakti kalian, semoga dicatat sebgai amal jariah, yang dijamin oleh Allah SWT, sebagai salah satu amal yang tidak akan terputus walau seorang anak bani Adam telah berkalang tanah. Amien YRA.  

 

Ya sudah, selamat membaca,
Oleh : eN-Te

Wallahu a’lam bish-shawabi

Makassar, 24  Pebruari  2016   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun