Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dua Hari yang Menyesakkan: Sebuah "In Memoriam"

24 Februari 2016   08:30 Diperbarui: 24 Februari 2016   08:50 1002
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam perkembangannya, seiring dengan berpindahnya Pak Harmanto menjadi Kepala LPMP Yogyakarta, Khalid Mustafa pun ingin mencoba “menantang” kerasnya ibukota, dengan bermohon pindah ke Jakarta, meski di kemudian hari, karena sesuatu alasan, ia juga mengundurkan diri sebagai PNS. Berpindahnya Khalid Mustafa tidak serta merta membuat gundah Mas Bagus. Ia tetap bertahan meski dengan status sebagai tenaga honorer.

Kesempatan akan diangkat menjadi CPNS pun terbuka lebar ketika ada kebijakan pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS. Sayangnya ketika kebijakan pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS berdasarkan penggolongan status honorer (Kategori K1, K2), Mas Bagus harus merasa kecewa. Kategorisasi tenaga honorer dimaksudkan untuk memilah mana yang perlu “didahulukan” untuk diangkat menjadi CPNS sesuai dengan sumber anggaran pendanaan atau pembiayaan mereka. Awalnya, Mas Bagus masuk dalam kategori honorer K1, akan tetapi dalam perkembangan lebih lanjut ia harus turun “tahta” dari honorer kategori K1 menjadi honorer K2. Bahkan dalam satu kesempatan pengisian formasi CPNS di LPMP, Mas Bagus seperti merasa disalip di tikungan (terakhir), karena ia yang telah cukup lama mengabdi tidak mendapat kesempatan mengisi formasi yang ada. Sehingga muncul dugaan bahwa formasi CPNS yang diterima pada waktu itu dimaksudkan untuk mengakomodasi kepentingan kelompok “lingkaran dalam”, meski dari periode waktu belum cukup memenuhi syarat untuk direkrut karena baru mengabdi sebagai tenaga honorer tidak lebih dari satu tahun. Di sinilah “ironi”, yang di kemudian hari saya sering mejadikan guyonan untuk menganggu beliau, dengan mengatakan, “masa Mas, kok diam saja dilambung kiri?”

Saya tidak perlu menceritakan tentang apa respon beliau mendengar “ejekan” saya itu. Yang jelas Mas Bagus merasa didholimi oleh keadaan yang kurang menguntungkan dia. Hanya sebuah kalimat pendek yang ia ucapkan, bahwa saya tidak rela (ikhlas) diperlakukan seperti itu. Pesan yang ingin disampaikan Mas Bagus, adalah bahwa ketika memiliki kuasa, hendaklah kuasa itu digunakan secara benar, proporsional dan bertanggung jawab.

Satu hal yang sugguh menyedihkan ketika hari-hari terakhir dan masih terbaring di rumah sakit, Mas Bagus masih sempat memikirkan dan sangat risau dengan kesempatan mengikuti Prajabatan. Sebuah momentum “perubahan” jenjang karier yang sudah sangat lama dia tunggu, ketika kesempatan itu hampir saja diraih, ternyata Tuhan berkehendak lain. Allah SWT lebih memilih Mas Bagus mengikuti “Prajabatan” dengan kembali bertemu Khaliknya.

In Memoriam Edy Poerwanto

Almarhum Edy Poerwanto merupakan teman seangkatan saya ketika diterima menjadi CPNS di lingkungan BPG Ujung Pandang sebelum konversi menjadi LPMP Prov. Sulsel. Pada tahun 2002, ketika ada formasi penerimaan CPNS, Pak Edy dan kami teman-teman seangkatan, sebanyak 20 orang diterima menjadi CPNS di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), dan ditempatkan atau ditugaskan di BPG Ujung Pandang.

CPNS yang diterima pada waktu itu di BPG Ujung Pandang pada proses pemberkasan dan melengkapi semua administrasi, hanya 19 orang yang mendaftar ulang. Ada satu orang yang tidak mendaftar ulang, karena lebih memilih berkarier sebagai pegawai swasta. Dalam kelompok kami, CPNS angkatan 2002, Pak Edy adalah calon pegawai yang tertua. Menyusul kemudian saya. Maka seorang teman, sehari setelah pemakaman almarhum, dengan bergurau mengatakan kurang lebih seperti ini, “Pak Nurdin, siap-siap, giliran berikutnya”. Saya hanya menanggapi dengan senyum masam. Hehehehe, ...

 [caption caption="Pak Edy (berbaju putih) dan Mas Agung "]

[/caption]

Saya dan Pak Edy, ketika pertama kali bertugas ditempatkan di Seksi Pelayanan Teknis dan diperbantukan sebagai tenaga administrasi di ruang tenaga fungsional widyaiswara. Dalam menjalankan tugas itu, Pak Edy tidak sering full time berada di ruang widyaiswara, apalagi ketika beliau melanjutkan studi magister ke Institut Teknologi Bandung (ITB), sehingga praktis selama kurang lebih beberapa tahun saya yang paling betah  “bertahan” di ruang widyaiswara. Sempat terjadi beberapa kali pergantian staf yang diperbantukan di ruang widyaiswara, tapi posisi saya tetap “tidak tergantikan”. Pada akhirnya, karena sesuatu alasan, saya akhirnya memutuskan untuk “angkat koper” hengkang dari ruang widyaiswara. Alasannya sederhana, karena hampir tidak ada prospek proyeksi karier yang cukup “menjanjikan”.

Kemudian terbuka peluang pengisian formasi tenaga fungsional widyaiswara. Pak Edy juga tertarik mendaftar dan ikut seleksi. Saya yang awalnya turut tertarik, pada akhirnya batal mendaftarkan diri. Alhamdulillah, beliau lulus menjadi tenaga fungsional widyaiswara bidang Fisika dan Teknologi Informasi.

Ada sebuah momen di mana ketika masih berstatus CPNS datang peluang untuk mendapatkan beasiswa studi lanjut bidang TI di ITB. Dan kesempatan itu tidak dilewatkan dan disia-siakan oleh Pak Edy. Ia pun mendaftar ikut seleksi, dan alhamdulillah, lulus. Pak Edy pun melanjutkan pendidikan magister di ITB dengan bidang keahlian TI. Karena mengikuti pendidikan magister pulalah, pada angkatan kami CPNS, Pak Edy yang terlambat mengikuti Prajabatan. Bahkan ia harus terpaksa mengikuti Prajabatan di Bandung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun