Embrio Kebencian
Tak disangkal lagi, bahwa produksi berita-berita bohong berbau fitnah terhadap Jokowi mulai muncul setelah ia menyatakan kesediaannya menjadi calon presiden (Capres) dari PDIP. Namun sejatinya, bila dirunut sedikit ke belakang, serangan fitnah, bahkan sampai bersifat sangat personal terhadap Jokowi, sejak ia memutuskan untuk maju berlaga di pemilihan gubernur (Pilgub) DKI Jakarta.
Masih ingat tudingan ngawur ala raja dangdut, Rhoma Irama, tentang keraguannya terhadap agama orangtua Jokowi. Di mata Rhoma, “ketidakjelasan” agama orangtua Jokowi, cukup menjadi alasan untuk menolak kehadiran Jokowi di Jakarta. Karena dalam pandangan sang “Raja” ini, Jakarta dengan penduduk asli Betawi yang mayoritas muslim tulen, tidak pantas dipimpin oleh orang, yang khabarnya cara berwudhunya saja tidak becus. Apalagi ibadah-ibadah mahda lainnya, pasti lebih tidak karuan.
Maka dari mimbar-mimbar masjid dan di depan khalayak, umat seakan direcoki dan dicuci otaknya (brain washing). Publik dipaksa supaya mempercayai bahwa Jokowi memang “tidak jelas”. Tak kurang, seorang mantan Ketua Umum PP Muhammadiyyah, yang juga katanya tokoh reformasi, Amien Rais juga mempercayai “ketidakjelasan” identitas Jokowi ini. Karena itu, wajarlah kemudian umat yang di grassroot, biar tidak mengalami proses cuci otak pun, meragukan ke-Islam-an Jokowi dan orangtuanya. Celakanya, mereka-mereka yang terkena virus brain washing ini tidak hanya masyarakat awam, tapi juga termasuk kelompok-kelompok yang mengklaim diri sebagai intelektual.
Jokowi “Mencemari” Atmofsir Politik Indonesia?
Publik Indonesia menjadi mahfum, bahwa sejak kehadiran Jokowi, baik di pentas politik regional (DKI Jakarta, pengecualian Solo) maupun pentas politik nasional, ia telah dengan sengaja “mencemari” atmofsir Indonesia dengan begitu banyak “aura negative”. Atmosfir politik Indonesia dipenuhi oleh berbagai prasangka, hasad, iri, dengki, dan kebencian sampai memuncak naik ke ubun-ubun dan menusuk masuk sampai ke dalam sumsum tulang. Hingga hati dan perasaan sebagian anak negeri ini, tak mampu lagi menyanggahnya, karena diliputi dendam membara. Maka yang lahir dan terekspresikan ke luar adalah kemarahan yang diwujudkan dengan caci maki, sumpah serapah, melalui penyebaran berita-berita bohong yang dibaluti oleh aroma fitnah tak terkira.
Maka jangan heran bila kemudian terbentuk kelompok spesialis pemfitnah Jokowi. Bahkan kelompok ini tak segan-segan menggunakan symbol agama untuk menjustifikasi sifat yang oleh Qur’an sendiri dicap sebagai perbuatan yang lebih kejam daripada pembunuhan. Kelompok ini, atas dasar sakit hati dan dendam kesumat, tak henti-hentinya memproduksi berita hoax dan fitnah, hanya untuk melampiaskan kebencian yang sudah sampai di ubun-ubun itu, tanpa nalar yang sehat dan hati yang jernih (mungkin sudah kadung menjadi hitam pekat).
Mengapa demikian? Karena mereka, entah kurang dapat memahami atau tidak “wasiat” Nabi SAW agar dapat menjaga segumpal daging, yakni hati yang ada dalam tubuhnya, dengan sebaik-baiknya. Bahwa Nabi SAW berpesan, dalam tubuh manusia itu terdapat segumpal daging, yang apabila dijaga dan dipelihara dengan baik, maka dia akan melahirkan hal-hal yang baik. Tapi sebaliknya bila kurang dapat merawat pemberian-Nya itu, insyaallah, segumpal daging itu tak ubahnya daging busuk yang diliputi warna hitam pekat, yang tak akan mampu membimbing seseorang ke arah kebenaran berdasarkan nurani yang jernih. Yang ada adalah bisikan-bisikan yang senantiasa mengarahkan seseorang yang pekat hatinya untuk tetap melakukan perbuatan yang oleh Allah SWT sendiri dicap sebagai perbuatan keji. Meski mereka, kelompok spesialis fitnah ini, mengklaim diri sebagai pengikut Nabi yang paling kaffah.
Jokowi Memang “Berdosa”?
Banyak “dosa” yang telah dilakukan oleh Jokowi, hingga membuat sebagian anak negeri ini, demikian membencinya hingga dendam membara sampai ke ubun-ubun.
Pertama, Jokowi “berdosa” terhadap masyarakat Solo dan para pemilihnya ketika memenangkan pemilihan walikota Solo periode kedua. Belum rampung tugas yang harus dia tunaikan di Solo pada periode kedua itu, Jokowi malah menerima tawaran nan menggiurkan untuk menjadi calon gubernur (cagub) pada Pilgub DKI Jakarta, 2012. Serta merta atas “antusiasmenya” menerima tawaran tersebut, Jokowi kemudian harus menyandang predikat sebagai pemimpin tak amanah.