Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Quovadis Pendidikan Budi Pekerti?

19 September 2015   11:02 Diperbarui: 19 September 2015   11:02 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa itu Patologi Sosial?

Berbicara mengenai patologi sosial tidak terlepas dari berbicara masalah sosial. Karena antara keduanya terdapat hubungan yang saling terkait satu sama lain. Artinya, peristiwa-peristiwa sosial yang muncul dan terjadi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan yang melibatkan aktor-aktor individu dalam suatu komunitas dapat menimbulkan patologi sosial. Hal ini berkaitan dengan kemampuan individu dalam melakukan penyesuaian diri (self adjusment) dan beradaptasi terhadap lingkungan dan situasi sosial. Karena itu, masalah sosial yang menimbulkan gejala patologi sosial itu adalah berkaitan dengan tindakan dan perilaku yang menyimpang dari norma-norma umum yang berlaku. Tindakan dan perilaku yang menyimpang yang dianggap atau terintegrasi dengan tingkah laku umum, dianggap sebagai masalah sosial.

Istilah patologi, secara etimologis berasal dari kata “pathos”, yang berarti penderitaan, penyakit; dan logos berarti ilmu. Dengan demikian, secara harfiah, patologi diartikan sebagai ilmu tentang penyakit. Sedangkan patologi sosial berarti ilmu tentang gejala-gejala yang dianggap “sakit”, disebabkan faktor-faktor sosial (Kartono, 2003:1). Menurut para ahli sosiologi, patologi sosial didefinisikan sebagai semua tingkah laku yang bertentangan dengan norma kebaikan, stabilitas lokal, pola kesederhanaan, moral, hak milik, soliditas kekeluargaan, hidup rukun bertetengga, disiplin, kebaikan, dan hukum formal (Kartono, 2003:1).

Jadi, dengan demikian dapat dikatakan bahwa semua pola perilaku yang diidentifikasi menyimpang dari kaidah-kaidah moral dan etik kemasyarakatan maka dikategorikan sebagai perilaku patologis. Perjudian, kriminalitas, korupsi, suap, pelacuran, mental disorder, seks yang menyimpang, erotisme anal dan oral, onani dan masturbasi, serta mengemis, dan lain-lain perilaku menyimpang lainnya adalah antara lain bentuk-bentuk perilaku patologis yang sangat mengganggu harmonisasi kehidupan sosial.

Dengan demikian semakin jelas bahwa patologi sosial berkaitan erat dengan masalah sosial. Terus, apa itu masalah sosial? Dalam bukunya Patologi Sosial Jilid 1, Kartini Kartono menyebutkan bahwa yang disebut masalah sosial ialah: 1) semua bentuk tingkah laku yang melanggar atau memperkosa adat-istiadat masyarakat (dan adat-istiadat tersebut diperlukan untuk menjamin kesejahteraan hidup bersama); dan 2) situasi sosial yang dianggap oleh sebagian orang dari warga masyarakat sebagai mengganggu, tidak dikehendaki, berbahaya, dan merugikan orang banyak (Kartono, 2003:1-2).

Jadi, patologi sosial adalah semua bentuk perilaku anggota masyarakat, baik secara indivudu maupun kelompok (kolektif) yang menyimpang dan bertentangan dengan norma-norma sosial dan moral etik keagamaan. Karena sesungguhnya semua pola perilaku berimplikasi pada nilai-nilai moral dan etik keagamaan. Pertanyaan kemudian muncul adalah faktor-faktor sosial yang mana atau apa yang dapat menyulut timbulnya gejala patologis dalam kehidupan sosial (masyarakat)?

Faktor-Faktor Penyebab Perilaku Patologis

Sesungguhnya banyak faktor sosial yang dapat berpengaruh terhadap munculnya patologi sosial. Salah satu faktor yang mudah diidentifikasi dan sering menjadi alasan seseorang berperilaku patologis adalah berkaitan dengan persoalan kemiskinan (ekonomi). Kemiskinan adalah alasan yang paling gampang dikemukakan sebagai pemicu tindakan kekerasan dan menyimpang lainnya. Kemiskinan yang dialami dan diderita seseorang dalam batas-batas tertentu dapat mendorong seseorang individu melakukan tindakan yang bertentangan dan menyimpang dari norma-norma umum yang berlaku dalam suatu komunitas sosial. Tindakan kekerasan (mencuri, merampok, berjudi, menjambret, memeras, membegal, dan tindakan sejenis lainnya), serta juga mengemis adalah antara lain tindakan yang ”terpaksa” dilakukan seseorang atau sekelompok orang  karena himpitan kemiskinan yang membelenggu hidupnya. Hal mana dilakukan untuk mempertahankan diri agar tetap survive. Walaupun demikian, kemiskinan bukanlah satu-satunya faktor penyebab munculnya perilaku patologis. Contohnya praktek prostitusi online yang melibatkan para aktor dari kalangan publik figure (elit politik, artis, pengusaha, pejabat, dll.) yang akhir-akhir ini menjadi trend.

Setidak-tidaknya kondisi kemiskinan yang diderita seseorang merupakan suatu produk yang tidak begitu saja muncul dengan sendirinya. Melainkan hal itu disebabkan pula oleh sebuah kontruksi sosial akibat perlakuan diskriminatif dan ketidakadilan sistem sosial. Sebab masalah-masalah sosial itu pada hekakatnya juga merupakan fungsi-fungsi struktural dari totalitas sistem sosial, yaitu produk atau konsekuensi yang tidak diharapkan dari satu sistem sosio-kultural.

Patologi sosial berkaitan pula dengan struktur kehidupan sosial. Perilaku patologis dapat tumbuh subur bila dalam struktur kehidupan sosial terjadi apa yang dinamakan ”disorganisasi sosial”, atau kadang disebut pula sebagai ”disintegrasi sosial”. Disorganisasi sosial atau disintegrasi sosial ditandai oleh ciri-ciri perubahan-perubahan yang serba cepat, tidak stabil, tidak ada kesinambungan pengalaman dari satu kelompok ke kelompok lain, tidak adanya intimitas (keakraban) organik dalam relasi sosial, kurang atau tidak adanya persesuaian di antara para angggota masyarakat. Lenyapnya intimitas organik dari relasi sosial itu dianggap sebagai pertanda utama dari masyarakat yang tengah mengalami proses disorganisasi/disintegrasi, yang kemudian digantikan dengan pola individualistis ekstrem dan nafsu pementingan diri sendiri. Gejala-gejala dengan ciri-ciri tersebut sangat mudah kita jumpai di kehidupan kaum urban (perkotaan).

Disorganisasi sosial ini merupakan produk sampingan dari perkembangan teknologi, ilmu pengetahuan, industri dan urbanisasi yang menimbulkan banyak pergeseran dan perubahan dalam masyarakat. Sehingga bagian-bagian masyarakat itu tidak bisa diintegrasikan, dan tidak  bisa diorganisir secara sempurna. Disorganisasi sosial dapat mengakibatkan runtuhnya fungsi pengontrol dari lembaga/institusi sosial, sehingga seolah-olah memberikan kemungkinan kepada individu-individu untuk bertingkah laku semaunya sendiri tanpa kendali, tanpa kontrol, dan tanpa penggunaan pula susila tertentu.  Dalam kondisi demikian setiap individu bertindak menurut kemauannya sendiri tanpa mempertimbangkan apakah tindakannya itu sesuai dengan norma-norma yang berlaku dan menggangu ketertiban dan kepentingan umum (social disorder).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun