Dalam pandangan umum umat Islam, sesuai keyakinan ajaran junjungan Rasulullah Muhammad Saw, dalam setiap tragedi (musibah) pasti ada hikmahnya. Malah kita yang masih “waras” dianjurkan untuk turut pula memberi simpati dan empati, minimal dengan mengirimkan doa, semoga para korban dapat menerima musibah dengan tabah dan sabar serta tawakkal. Tidak lantas mencari-cari kambing hitam untuk disalah-salahkan. Apalagi harus menebar fitnah dan caci maki. Hal yang sangat jauh dari tuntunan Rasulullah Muhammad Saw. Bahkan sejak awal Rasulullah menegaskan bahwa ia diutus ke dunia ini untuk menyempurnakan akhlakul kharimah.
Sayangnya sebagian kelompok yang mengaku paling sempurna mengikuti semua ajaran Rasulullah Muahmmad Saw, karena itu bila melihat ada sekelompok umat Islam yang lain, yang tidak “mengikuti” spirit Islam yang sesungguhnya sebagaimana yang dicontohkan Nabi, tak segan-segan mereka mencapnya sebagai golongan kafir. Bagi mereka, melakukan ibadah yang bukan dicontohkan oleh Nabi adalah bid’ah. Sesuatu yang bid’ah adalah sesat, setiap yang sesat adalah dosa, dan setiap yang berdosa pasti (masuk) neraka. Sementara mereka tak segan-segan tanpa malu-malu, bahkan sambil berteriak menunjukkan sikap-sikap yang bertentangan dengan ajaran Rasulullah Saw.
Akhlak Rasululullah Muhammad Saw adalah Al-Qur’an. Dan Al-Quran dengan tegas melarang untuk tidak saling mengolok-olok, apalagi saling “mengkafirkan”. Sementara kelompok pengklaim kebenaran ini, sangat suka sekali dan sangat gemar melakukan olok-olok, caci maki hanya bersumber pada berita yang tidak akurat (valid). Mereka tak segan-segan menjadikan berita bohong sebagai amunisi untuk melakukan fitnah. Olok-olok, caci maki, dan fitnah itu bersumber dari berita yang tidak jelas, alias berita bohong yang dibawa dan sebarkan oleh orang fasiq. Ini yang saya maksud dengan anomali sikap beragama.
Sungguh sebuah kemunafikan yang dipraktekkan secara telanjang. Bahkan sampai mereka tak segan-segan “mengkafirkan” seseorang yang mempunyai otoritas keilmuan dan keulamaan yang tak perlu diragukan lagi. Bahkan secara genuine sejak awal (lahir) dan dibesarkan dalam tradisi Islam yang kental. Tapi dilain pihak, mereka begitu mengagung-agungkan seseorang, yang karena hidayah baru kemarin sore masuk Islam. Celakanya, “sang nabi” yang dikagumi ini, adalah si tukang fitnah dan penyebar berita bohong.
Moralitas Tabayyun
Tragedi Masjidil Haram adalah sebuah peristiwa yang membuat kita harus bertabayyun. Tabayyun adalah akhlak mulia yang merupakan prinsip penting dalam menjaga kemurnian ajaran Islam dan keharmonisan dalam pergaulan. Begitu pula dalam kehidupan sosial masyarakat dan kebangsaan secara keseluruhan. Sementara oleh kelompok yang menganut ideologi fitnah(isme), tabayyun adalah sesuatu yang sia-sia dilakukan. Bagi mereka, yang penting ada amunisi untuk menyerang lawan, soal itu berupa hanya berlandaskan prasangka buruk (su’udzon) itu soal lain. Padahal Allah SWT telah mengingatkan dan memerintah kepada orang yang beriman (dan mengaku beriman) agar selalu bertabayyun. “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasiq membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurot[49]:6).
Sekurang-kurangnya ada tiga bahaya akibat menerima sebuah informasi dari seseorang tanpa terlebih dahulu melakukan check and recheck (tabayyun). Pertama menuduh orang baik dan bersih dengan dusta. Dalam kasus Presiden Jokowi, lepas dari kekurangan dan kelemahannya sebagai seorang manusia biasa, lebih sering menjadi sasaran fitnah. Banyak orang fasiq yang mengaku paling tahu dan paham ajaran Islam, tetapi begitu ada informasi sesat yang disebarkan “sang nabi PKS” langsung ditelan mentah-mentah, meski akibatnya bisa membuat mereka keselek. Kedua, timbul kecemasan dan penyesalan. Q. S. Surat Al-Hujarat ayat 6 di atas memberikan peringatan keras agar jangan mudah percaya informasi yang dibawa oleh orang fasiq. Karena sangat mungkin informasi yang dibawa, yang disebarluaskan mengandung “cacat” amat sangat, menyesatkan sehingga sangat berbahaya, hal mana dapat membawa dampak berikutnya, yakni ketiga, timbul kesalahpahaman, bahkan bermuara pada konflik fisik.
Fenomena kurang bertabayyun sangat marak terjadi ketika Pilpres lalu. Semua berita dan informasi bohong diproduksi dan disebarluaskan, tanpa ada rasa risih, apalagi malu. Mungkin “kemaluan”-nya dan urat malu mereka sudah putus. Sehingga dengan rasa bangga sambil menepuk dada, menggunakan ayat-ayat Tuhan sebagai pembenar atas sikap ambigu mereka, terus menerus memproduksi dan melanjutkan sikap buruk, su’udzon, menyerang seseorang yang sejak awal dipersepsikan sebagai “lawan atau musuh”.
Perilaku yang kurang melakukan tabayyun bisa jadi akibat dari pengaruh mentalitas iri dan dengki yang dibawa dan dipelihara sejak lahir, sebagai “bakat” bawaan, kemudian dipupuk dan berkembang dalam lingkungan keluarga yang kurang memberi penghargaan pada sesama, dan bisa jadi pergesekan dengan lingkungan sosialnya. Maka sangatlah benar, bila pameo menyebutkan bahwa bergaul dengan tukang ikan maka akan (berakibat) keciprat bau amis, tapi bila bergaul dengan penjual parfum akan keciprat pula bau wangi parfum.
Fenomena “yes man” terhadap seseorang yang dari namanya saja meragukan (kredibilitasnya), apalagi informasi yang disampaikan dan disebarkan, menjadi sesuatu yang sangat disayangkan. Mereka begitu teguh mempertahankan “kebenaran” tanpa melakukan tabayyun. Entah kebenaran menurut takaran apa?
Tabayyun juga menekankan pada “metodologi” (penelitian). Dalam tabayyun mengandung langkah-langkah dengan berpijak pada rasionalitas, berpijak pada nalar yang benar; obyektif, menilai sesuatu berdasarkan dan sesuai obyeknya; empiris, apa yang disampaikan merupakan fakta nyata (faktual) bukan rekaan; kebenaran yang disampaikan dapat diuji validitasnya, bukan kamuflase; sistematis, informasi yang disampaikan berdasarkan alur dan rangkain sesuai kronologis kejadian secara utuh, tidak parsial, apalagi diplintir; bebas, informasi yang disampaikan jauh dari vested interes, sehingga tidak bias; punya azas manfaat, informasi yang disebarkan tidak menimbulkan salah paham, apalagi kekisruhan yang berujung konflik; dan informasi yang disampaikan bersifat relatif, memungkinkan untuk diuji kebenaran dan validitasnya. Tidak hanya bermaksud mengundang sensasi dan kegemparan sesaat, apalagi hanya bermaksud untuk “merendah-hinakan” seseorang.