Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kunjungan Jokowi Menyebabkan Tragedi Masjidil Haram?

15 September 2015   11:51 Diperbarui: 15 September 2015   12:24 1752
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jumat malam (11/9/15) beberapa TV swsata Nasional menyiarkan breaking news tentang peristiwa jatuhnya mesin derek (crane) di Masjidil Haram Makkah. Disebutkan bahwa peristiwa jatuhnya mesin derek (crane) tersebut disebabkan oleh hujan badai yang disertai pasir dan butiran es. Pada saat yang bersamaan diberitakan pula bahwa Presiden Jokowi baru tiba di Arab Saudi dalam rangka kunjungan kenegaraan. Tak pelak lagi, dalan hati saya langsung terbetik, kunjungan Presiden ini pasti akan “bermasalah”. Kunjungan Jokowi  pasti akan dikait-kaitkan dengan musibah itu, apalagi dalam tragedi tersebut ada jamaah calon  haji Indonesia yang menjadi korban.

Menilai Tragedi Masjidil Haram

Meski sudah terang dan jelas bahwa peristiwa jatuhnya mesin derek (crane) itu karena pengaruh hujan badai yang disertai pasir dan butiran es, toh hal itu tidak menjadi faktor yang harus diterima. Bahwa tragedi mesin derek jatuh adalah murni faktor alam dan faktor kondisi dan alat (mesin) tersebut. Menyangkut faktor alat (mesin) telah diabaikan oleh pihak kontraktor. Menurut kontraktor yang membangun (renovasi) perluasan Masjidil Haram ini, Saudi Binladin, mengklaim bahwa crane dipasang secara profesional dan tidak ada tanda-tanda kerusakan teknis pada crane tersebut.  

Sementara bagi kelompok yang selama ini antipati terhadap Jokowi, tragedi tersebut akan menjadi amunisi baru untuk menyerang Presiden Jokowi. Dalam hati saya langsung bergumam pasti peristiwa jatuhnya crane ini akan dikaitkan dengan kunjungan Jokowi. Bagi mereka Jokowi pasti membawa “aura negatif”.

Meski dugaan saya lebih bersifat predictable, tapi ketika menulis artikel ini, saya mencoba searching berita melalui google untuk memastikan bahwa memang ada yang berpikir seperti itu. Dan ternyata untuk sementara dugaan saya benar. Si tukang fitnah, yang selama ini paling getol mencaci maki Jokowi, yang oleh pengikutnya dianggap sebagai “nabi” (dengan huruf ‘n’ kecil), Jonru Ginting, seperti biasa, menganggap bahwa tragedi Masjidil Haram merupakan pengaruh “aura negatif” dari kunjungan Jokowi (baca di sini). Mengingat tragedi jatuhnya mesin derek (crane) yang digunakan untuk renovasi pembangunan Masjidil Haram Makkah tersebut bertepatan dengan kunjungan kenegaraan Presiden Jokowi ke Arab Saudi.

Para pengikut “nabi PKS” ini merasa bahwa negeri ini tak pantas dipimpin oleh seorang Jokowi, yang dalam pandangan mereka “agamanya” tidak jelas dan  memiliki “gen” komunis. Masih ingat analisis ngawur ala kader PKS, Tengku Zulkifli Oesman ketika Presiden Jokowi menerima kunjungan kenegaraan dari Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Analisis ngawur ala kader PKS ini dituangkan dalam status facebooknya, yang ia rinci sampai 15 poin. Sayangnya dari 15 poin analisis terhadap pertemuan Presiden Jokowi dengan Erdogan, tidak satu pun menurut pakar Hubungan Internasional Dina Yoelianti Sulaeman (DYS) berdasarkan dan memenuhi teori hubungan internasional. Entah si Tengku mendapat wangsit dari mana sampai menjadikan mimik wajah dan tatapan mata sebagai dasar analisisnya.

Menagih Tanggung Jawab Pemerintah

Kembali ke masalah tragedi jatuh mesin derek (crane) di Masjidil Haram Makkah. Sampai kemarin, Senin (14/9/15) korban meninggal dunia jamaah calon haji Indonesia mencapai 10 orang, sedangkan yang luka-luka sebanyak 42 orang dari total semua korban yang mencapai ratusan orang. Semua korban, baik yang tewas maupun yang luka-luka telah mendapat perhatian yang seharusnya dari otoritas setempat dan Pemerintah Indonesia melalui perwakilannya, termasuk penyelenggara haji di Arab Saudi.

Kita berharap Pemerintah tetap berkomitmen untuk menyelesaikan semua “kewajibannya” terhadap seluruh korban. Semua biaya yang berkaitan dengan pengobatan korban yang luka maupun pemakaman korban yang meninggal dunia akibat tragedi crane jatuh tersebut menjadi tanggung jawab Pemerintah. Jangan sampai para korban, yang merupakan jamaah calon haji malah mendapat “musibah” ganda. Sudah menjadi korban secara fisik, malah kini mereka harus memikirkan untuk menyelesaikan kewajiban lain terhadap pemulihan kesehatan dan biaya pemakaman. Hal ini penting diingatkan sejak awal, karena berdasarkan informasi berita televisi kemarin, ada keluarga korban di Indonesia dihubungai oleh pihak-pihak atau oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab untuk meminta biaya pengobatan dan pemakaman.

Soal ada yang mencoba bahkan harus memaksa mengkaitkan tragedi itu dengan kunjungan Presiden Jokowi kita serahkan saja kepada hati nuraninya. Apakah berdasarkan “keyakinan” mereka secara teologis tragedi Mekkah itu berkaitan dengan aura  Presiden atau tidak? Apakah “keyakinan” mereka itu sesuai dengan akidah yang diajarkan junjungan yang mulia Rasulullah Muhammad Saw atau tidak?

Berhenti Bersikap Munafik

Dalam pandangan umum umat Islam, sesuai keyakinan ajaran junjungan Rasulullah Muhammad Saw, dalam setiap tragedi (musibah) pasti ada hikmahnya. Malah kita yang masih “waras” dianjurkan untuk turut pula memberi simpati dan empati, minimal dengan mengirimkan doa, semoga para korban dapat menerima musibah dengan tabah dan sabar serta tawakkal. Tidak lantas mencari-cari kambing hitam untuk disalah-salahkan. Apalagi harus menebar fitnah dan caci maki. Hal yang sangat jauh dari tuntunan Rasulullah Muhammad Saw. Bahkan sejak awal Rasulullah menegaskan bahwa ia diutus ke dunia ini untuk menyempurnakan akhlakul kharimah.

Sayangnya sebagian kelompok yang mengaku paling sempurna mengikuti semua ajaran Rasulullah Muahmmad Saw, karena itu bila melihat ada sekelompok umat Islam yang lain, yang tidak “mengikuti” spirit Islam yang sesungguhnya sebagaimana yang dicontohkan Nabi, tak segan-segan mereka mencapnya sebagai golongan kafir. Bagi mereka, melakukan ibadah yang bukan dicontohkan oleh Nabi adalah bid’ah. Sesuatu yang bid’ah adalah sesat, setiap yang sesat adalah dosa, dan setiap yang berdosa pasti (masuk) neraka. Sementara mereka tak segan-segan tanpa malu-malu, bahkan sambil berteriak menunjukkan sikap-sikap yang bertentangan dengan ajaran Rasulullah Saw.

Akhlak Rasululullah Muhammad Saw adalah Al-Qur’an. Dan Al-Quran dengan tegas melarang untuk tidak saling mengolok-olok, apalagi saling “mengkafirkan”. Sementara kelompok pengklaim kebenaran ini, sangat suka sekali dan sangat gemar melakukan olok-olok, caci maki hanya bersumber pada berita yang tidak akurat (valid). Mereka tak segan-segan menjadikan berita bohong sebagai amunisi untuk melakukan fitnah. Olok-olok, caci maki, dan fitnah itu bersumber dari berita yang tidak jelas, alias berita bohong yang dibawa dan sebarkan oleh orang fasiq. Ini yang saya maksud dengan anomali sikap beragama.

Sungguh sebuah kemunafikan yang dipraktekkan secara telanjang. Bahkan sampai mereka tak segan-segan “mengkafirkan” seseorang yang mempunyai otoritas keilmuan dan keulamaan yang tak perlu diragukan lagi. Bahkan secara genuine sejak awal (lahir) dan dibesarkan dalam tradisi Islam yang kental. Tapi dilain pihak, mereka begitu mengagung-agungkan seseorang, yang karena hidayah baru kemarin sore masuk Islam. Celakanya, “sang nabi” yang dikagumi ini, adalah si tukang fitnah dan penyebar berita bohong.  

Moralitas Tabayyun

Tragedi Masjidil Haram adalah sebuah peristiwa yang membuat kita harus bertabayyun. Tabayyun adalah akhlak mulia yang merupakan prinsip penting dalam menjaga kemurnian ajaran Islam dan keharmonisan dalam pergaulan. Begitu pula dalam kehidupan sosial masyarakat dan kebangsaan secara keseluruhan. Sementara oleh kelompok yang menganut ideologi fitnah(isme), tabayyun adalah sesuatu yang sia-sia dilakukan. Bagi mereka, yang penting ada amunisi untuk menyerang lawan, soal itu berupa hanya berlandaskan prasangka buruk (su’udzon) itu soal lain. Padahal Allah SWT telah mengingatkan dan memerintah kepada orang yang beriman (dan mengaku beriman) agar selalu bertabayyun. “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasiq membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurot[49]:6).

Sekurang-kurangnya ada tiga bahaya akibat menerima sebuah informasi dari seseorang tanpa terlebih dahulu melakukan check and recheck (tabayyun). Pertama menuduh orang baik dan bersih dengan dusta. Dalam kasus Presiden Jokowi, lepas dari kekurangan dan kelemahannya sebagai seorang manusia biasa, lebih sering menjadi sasaran fitnah. Banyak orang fasiq yang mengaku paling tahu dan paham ajaran Islam, tetapi begitu ada informasi sesat yang disebarkan “sang nabi PKS” langsung ditelan mentah-mentah, meski akibatnya bisa membuat mereka keselek. Kedua, timbul kecemasan dan penyesalan. Q. S. Surat Al-Hujarat ayat 6 di atas memberikan peringatan keras agar jangan mudah percaya informasi yang dibawa oleh orang fasiq. Karena sangat mungkin informasi yang dibawa, yang disebarluaskan mengandung “cacat” amat sangat, menyesatkan sehingga sangat berbahaya, hal mana dapat membawa dampak berikutnya, yakni ketiga, timbul kesalahpahaman, bahkan bermuara pada konflik fisik.

Fenomena kurang bertabayyun sangat marak terjadi ketika Pilpres lalu. Semua berita dan informasi bohong diproduksi dan disebarluaskan, tanpa ada rasa risih, apalagi malu. Mungkin “kemaluan”-nya dan urat malu mereka sudah putus. Sehingga dengan rasa bangga sambil menepuk dada, menggunakan ayat-ayat Tuhan sebagai pembenar atas sikap ambigu mereka, terus menerus memproduksi dan melanjutkan sikap buruk, su’udzon, menyerang seseorang yang sejak awal dipersepsikan sebagai “lawan atau musuh”.

Perilaku yang kurang melakukan tabayyun bisa jadi akibat dari pengaruh mentalitas iri dan dengki yang dibawa dan dipelihara sejak lahir, sebagai “bakat” bawaan, kemudian dipupuk dan berkembang dalam lingkungan keluarga yang kurang memberi penghargaan pada sesama, dan bisa jadi pergesekan dengan lingkungan sosialnya. Maka sangatlah benar, bila pameo menyebutkan bahwa bergaul dengan tukang ikan maka akan (berakibat) keciprat bau amis, tapi bila bergaul dengan penjual parfum akan keciprat pula bau wangi parfum.  

Fenomena “yes man” terhadap seseorang yang dari namanya saja meragukan (kredibilitasnya), apalagi informasi yang disampaikan dan disebarkan, menjadi sesuatu yang sangat disayangkan. Mereka begitu teguh mempertahankan “kebenaran” tanpa melakukan tabayyun. Entah kebenaran menurut takaran apa?  

Tabayyun juga menekankan pada “metodologi” (penelitian). Dalam  tabayyun mengandung langkah-langkah dengan berpijak pada rasionalitas, berpijak pada nalar yang benar; obyektif, menilai sesuatu berdasarkan dan sesuai obyeknya; empiris, apa yang disampaikan merupakan fakta nyata (faktual) bukan rekaan; kebenaran yang disampaikan dapat diuji validitasnya, bukan kamuflase; sistematis, informasi yang disampaikan berdasarkan alur dan rangkain sesuai kronologis kejadian secara utuh, tidak parsial, apalagi diplintir; bebas, informasi yang disampaikan jauh dari vested interes, sehingga tidak bias; punya azas manfaat, informasi yang disebarkan tidak menimbulkan salah paham, apalagi kekisruhan yang berujung konflik; dan informasi yang disampaikan bersifat relatif, memungkinkan untuk diuji kebenaran dan validitasnya. Tidak hanya bermaksud mengundang sensasi dan kegemparan sesaat, apalagi hanya bermaksud untuk “merendah-hinakan” seseorang.

 

Ya sudah begitu saja, selamat membaca!

Wallahu a’lam bish-shawabi

Makassar, 15  September  2015    

Oleh : eN-Te

Sumber gambar  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun