Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kegaduhan Ala Buwas dan Rizal Ramly, “Mengikuti” Gaya Ahok?

11 September 2015   15:56 Diperbarui: 11 September 2015   16:00 1224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Aksi koboi" ala RR ketika membongkar beton Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta (10/9/15)

Oleh : eN-Te

Gaya kontroversi Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama, yang biasa disapa Ahok (Menawarkan Kontroversi) adalah sebuah fenomena baru dalam perpolitikkan nasional arus utama (mainstream). Sejak kehadirannya di pentas politik nasional, Ahok terus menerus menawarkan kontroversi. Ahok bukan saja menawarkan kontroversi, tetapi juga pada batas-batas tertentu dianggap hanya membuat sensasi menantang arus. Bahkan bila mau ditarik-tarik, maka gaya politik Ahok dapat disimpulkan sebagai sebuah kegaduhan yang “menggembirakan”.

Tidak sedikit yang mendukung gaya politik Ahok di tengah praktek “kemunafikan” berjamaah yang dibungkus dengan kamuflase. Begitu pula tidak kalah banyak yang gerah dengan perilaku politik ala Ahok.  Meski begitu, Ahok tidak merasa terganggu dengan semua itu, seolah ia seakan sadar dan membiarkan sikap publik terbelah dalam menilai dirinya. Ahok membiarkan sebebas-bebasnya kepada publik untuk menilai, apakah dirinya seorang yang patut mendapat apresiasi atau sebaliknya harus mendapat caci maki. Ahok seakan bergeming dan mencoba “menikmati” semua itu dalam posisi tanpa beban.

Mungkinkah ada hidden agenda yang sedang dimainkan oleh Ahok, meski itu bernuansa politis untuk kepentingan mengamankan posisi politiknya masa depan? Katakanlah untuk kepentingan pencalonan pemilihan kepala daerah (pilgub) DKI Jakarta untuk periode kedua. Terlepas dari semua itu, gaya Ahok telah memberikan “inspirasi” kepada pelaku politik (politisi) untuk juga mengikutinya. Pertanyaan berikutnya adalah apakah “kegaduhan” ala Budi Waseso (Buwas) dan Rizal Ramly (RR) dalam atmosfir politik nasional kekinian adalah juga karena terinspirasi ingin “mengikuti” gaya Ahok, yang juga untuk alasan kepentingan politik (karier politik masa depan)? Mari coba kita lihat dan telaah!    

Buwas Sang "Mr. Brutal"

Predikat brutal pertama kali disematkan kepada Buwas dan diperkenalkan pada publik oleh Buya Syafi’i Ma’arif untuk menggambarkan sikap dan perilaku Buwas. Predikat itu, “terpaksa” disematkan oleh Buya, karena gerah terhadap “kelakuan” Buwas yang tanpa pandang buluh menetapkan seseorang menjadi tersangka dan menangkapnya. Meski dengan alasan menegakkan hukum untuk menjalankan amanat undang-undang, cara dan langkah Buwas dianggap bertentangan “etika” seperti dianut oleh pendapat arus utama (mainstream). Rupanya banyak orang yang sudah merasa nyaman berada pada zona ini, sehingga merasa terganggu bila ada yang mencoba mengusiknya, meski langkah itu dijamin oleh ketentuan undang-undang.

Kegaduhan” ala Buwas berawal ketika ia dengan sekonyong-konyong memerintahkan anak buahnya menangkap Bambang Wijoyanto (BW). Tanpa ada surat perintah tim penyidik Bareskrim menangkap BW ketika ia sedang dalam perjalanan mengantar anaknya ke sekolah. Lebih “tidak etis” ketika penangkapan itu, BW belum mengetahui status hukumnya sebagai tersangka, dan masih dalam kondisi berpakaian “rumahan”. BW masih berpakaian sarung dan baju koko serta kopiah, karena belum sempat berganti pakaian setelah melaksanakan sholat shubuh.

Belum sempat hilang rasa kaget, publik kembali dibuat terhenyak ketika Buwas menetapkan Novel Baswedan (NB) sebagai tersangka dan menangkapnya. Jajaran Bareskrim di tingkat Polda turut pula beraksi. Di mana Polda Sulselbar tidak mau ketinggalan kereta, sigap menetapkan tersangka dan menahan Abraham Samad (AS) atas tuduhan pemalsuan identitas (dokumen kependudukan, KK dan KTP). Berawal dari sini kemudian muncul istilah kriminalisasi. Dalam kegeramaman, Buya Syafi’i pun berteriak bahwa cara-cara yang dilakukan Buwas merupakan tindakan brutal. “Kebrutalan” ala Buwas yang membuat gaduh kemudian berlanjut dengan turut pula “mengkriminalisasi” Denny Indrayana (DI) dan dua komisioner Komisi Yudisial (KY). Maka tak heran, Buya Syafi’i dan kelompok-kelompok gerakkan antikorupsi pun berteriak lantang agar tindakan Buwas segera dihentikan dengan segera mencopot jabatannya dari Kabareskrim.

Tapi bukan Buwas namanya kalau hanya “gertakan” itu kemudian membuat ia surut langkah. Buwas tetap memperlihatkan “jati diri” sesungguhnya. Bahwa untuk sebuah kebenaran, meski harus melewati badai dan terjangan gelombang raksasa, ia tetap maju melangkah. Bagi Buwas kebenaran itu harus tetap diperjuangkan, meski taruhannya juga tidak murah, berkaitan dengan jabatan. Jabatan, dalam pandangan Buwas adalah amanah. Karena amanah, kapan saja harus diambil dan memang sudah saatnya harus diserahkan, maka ia tetap menyambut dengan tangan terbuka (welcome).  

Dalam perspektif demikian, saya merasa ada yang “aneh” dengan atmofsir politik mainstream yang menilai langkah Buwas sebagai hal yang membuat ke-gaduh-an. Padahal kita sepakat bahwa kejahatan korupsi merupakan sebuah tindakan pidana yang luar biasa, karena turut memberi andil dalam merusak sendi-sendi peradaban bangsa. Lepas dari ada motif dan interes politik tertentu yang sedang ditimbang oleh Buwas. Apakah Buwas sedang memainkan bidak sebagaimana “dicontohkan” Ahok dan akan terus “merecoki” rezim yang sedang berkuasa dengan membuat gaduh?

Beberapa waku lalu publik Indonesia disuguhi berita tentang kegaduhan ala Mantan Kabareskrim, Buwas. Penilaian ini didasarkan karena Buwas telah “berani” memberantas korupsi dan tindakan kejahatan lainnya yang merugikan keuangan negara. Atas “keberaniannya” membuat kegaduhan itu, maka Buwas diganjar dengan dicopot dari jabatan Kabareskrim. Buwas dinilai telah ikut andil “mengganggu” stabilitas ekonomi dan politik nasional.  

Hemat saya, sebelum Buwas melakukan penggeledahan PT. Pelindo II, yang kemudian dipersepsikan telah membuat gaduh, (sehingga berdampak pada kariernya di Bareskrim), kondisi politik ekonomi Indonesia sebenarnya telah lebih dulu gaduh.  “Kegaduhan” itu berawal dari kenaikan harga daging dan beberapa bahan pokok lainnya. Kenaikan harga daging itu sendiri diduga sengaja “disetting” oleh mereka (baca: mafia) yang ingin mengeruk keuntungan dengan cara “menekan” Pemerintah agar kembali membuka kran impor daging sapi (beku). Ternyata di tengah kelesuan ekonomi dan nilai tukar rupiah yang tak menentu, para mafia pangan juga ikut bermain dan hendak mendapat keuntungan, tanpa mempedulikan kesulitan masyarakat. Dalam kondisi seperti itu, Presiden menjadi berang dan mengintsruksikan agar para mafia ditindak (antara lain dengan undang-undang pangan).

Tak kalah sigap, Buwas “menjalankan” instruksi Presiden itu dengan melakukan tindakan-tindakan yang dibenarkan oleh hukum (undang-undang). Bersama timnya, Buwas melakukan penelusuran (baca: penyelidikan) terhadap praktek penimbunan (daging) sapi potong. Praktek penimbunan sapi oleh pengusaha penggemukkan sapi telah membuat kelangkaan daging sapi di pasaran. Akibatnya jelas, maka terjadi kenaikan harga. Begitu pula dengan ketersediaan garam, serta berbagai bahan pokok lainnya. Terjadi pula praktek mengambil keuntungan sesaat dengan memanfaatkan “kelengahan” Pemerintah mengendalikan harga dan kurs rupiah. Maka terjadi gonjang-ganjing, yang tak bisa tidak ikut pula berpengaruh terhadap kegaduhan politik ekonomi nasional. Mestinya Pemerintah menyadari bahwa dalam ilmu ekonomi di kenal prinsip supply and demand (penawaran dan permintaan). Bila permintaan tinggi, tetapi penawaran (ketersediaan) kurang, maka otomatis akan berpengaruh pada harga (penjualan). Di sinilai berlaku kausalitas di mana satu soal menyebabkan hal lainnya.

Pada posisi ini seharusnya dapat dipahami langkah-langkah Mantan Kabareskrim, Buwas dalam menegakkan hukum sebagaimana amanat undang-undang. Keberanian untuk melakukan tindakan hukum kepada oknum-oknum yang diduga melakukan praktek yang merugikan dan meresahkan rakyat banyak. Sayangnya, langkah-langkah berani ala Buwas tidak mendapat apresiasi yang wajar, malah dituding sebagai orang yang paling bertanggung jawab terhadap berbagai “kegaduhan” itu. Kita seakan sedang mempraktekkan politik belah bambu, satu diinjak, sementara belahan yang lainnya ditarik dan diangkat. Diskriminasi yang sangat tidak elok.

Rizal Ramly Sang "Mr. Usil"

Tulisan Faisal Basri, ekonom dan pengamat politik ekonomi, hari ini, Jumat (11/9/2015) tentang paket kebijakan ekonomi (baca di sini)  dan beberapa hari yang lalu tentang “keliru tuding” Rizal Ramly (RR), Menteri Koordinator (Menko) Maritim  (baca di sini), “mengingatkan” kembali saya untuk menulis tema tentang “kontroversi” RR. Artikel ini adalah refleksi “kerisauan dan kegembiraan” saya melihat sosok RR (dan juga Buwas) dalam perspektif “kegilaan” Ahok.

RR setelah dilantik oleh Presiden menjadi Menko Maritim, seakan ingin menunjukkan bahwa dia “beda” dengan para menteri yang lain. Segera setelah resmi menjabat sebagai Menko Maritim, RR seakan ingin menujukkan eksistensi dirinya sebagai menteri. Tidak sekedar “menteri-menterian”, tetapi sebagai seorang menteri yang menawarkan nuansa politik baru. Nuansa politik, yang jika kita perhatikan sebenarnya bukan baru-baru amat, tetapi hal itu sebenarnya sudah dan sedang dilakonkan oleh Gubernur DKI Jakarta, Ahok. Sehingga secara sepintas kita seakan mendapat penegasan bahwa seolah-olah  RR ingin mengesankan dirinya hendak mengikuti jejak Ahok, “menawarkan” kontroversi. Maka RR pun mulai memproduksi “keusilannya”.

RR mengawali kontroversinya dengan “menyerang” JK terhadap program pengadaan listrik 35 ribu megawatt. Menurut RR, program listrik 35 ribu megawatt merupakan proyek ambisius yang tidak mungkin akan terealisir dalam waktu lima tahun. Bagi RR, proyek pengadaan listrik 35 ribu megawatt itu adalah proyek yang tidak realistis. Apalagi sebelum Pemerintahan Jokowi-JK mencanangkan program ini, masih ada tunggakan listrik yang belum sempat diselesaikan oleh Pemerintahan SBY, yakni sekitar tujuh ribu megawatt pada kurun waktu sebelumnya. Jika “utang” SBY-Boediono ini juga harus ditunaikan maka beban Pemerintahan Jokowi-JK terhadap proyek pengadaan listrik bertambah menjadi 42 ribu megawatt. Dengan durasi waktu yang hanya kurang dari lima tahun, dalam logika RR, mana mungkin proyek itu bisa terealisir? Impossible, mustahil, tidak masuk akal.

Menanggapi kritikan RR, Wakil Presiden, JK, memberikan tanggapan tak kalah keras. Menurut JK, seorang menteri seharusnya terlebih dahulu mempelajari semua program pemerintah, baik latar belakang, manfaat, dan analisis kemungkinan proyek itu dapat terlaksana,  serta dampak hambatan sebelum memberikan penilaian (baca: komentar, tepatnya kritik). Dalam bahasa JK, “tentu sebagai menteri harus pelajari dulu sebelum berkomentar. Memang tidak masuk akal, tapi menteri harus banyak akalnya. Kalau kurang akal, pasti tidak paham itu” (sumber).  

Sayangnya dalam menghadapi “sindiran” Wapres, RR tidak mau kalah, dan tidak mau sedikit menurunkan egonya, malah RR menantang Wapres, yang nota bene sebagai atasannya, untuk debat terbuka mengenai proyek listrik 35 ribu megawatt itu. Maka “kegaduhan” ala RR pun mulai terbentang. RR baru sedikit menurunkan egonya setelah dipanggil dan “dimarahi” Presiden dan Wapres.

Di sisi lain, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Sudirman Said, malah optimis dan mengabaikan kekhawatiran yang cenderung pesimistis ala RR dengan proyek listrik 35 ribu megawatt itu. Menurut Sudirman Said proyek kelistrikan 35 ribu megawatt bakal terealisir pada masa Pemerintahan Jokowi-JK, termasuk sisa 7 ribu megawatt peninggalan Pemerintahan SBY (baca di sini).

Sebelum RR terlibat seteru dengan Wapres JK, rupanya sehari setelah dilantik RR sudah mengajak “berantem” Menteri BUMN, Rini Soemarno (RS). Pokok soalnya, karena RR mengkritik kebijakan pembelian pesawat oleh maskai penerbangan plat merah Garuda Airways (GIA). Menurut RR, rencana pengadaan 30 unit pesawat baru oleh Garuda sangat tidak tepat bila melihat kondisi perekonomian yang lagi tidak baik. Buat RR, dalam kondisi ekonomi amburadul seperti saat ini, sebaiknya kita tidak perlu menambah utang. Karena ditakutkan ekspansi Garuda ini justru akan merugikan perusahaan, yang tentu saja berimbas kepada keuangan negara (baca di sini).

Kritik RR ini membuat Menteri RS yang membidangi BUMN berang. Menurut RS, tidak elok seorang Menko mengomentari “gawean” kementerian yang bukan di bawah koordinasinya. Kondisi ini membuat publik jadi bertanya-tanya, bagaimana mungkin rezim ini dapat “mengurusi” rakyatnya, jika di antara mereka saja terjadi perpecahan (friksi). Tidak satu suara dalam mengkomunikasikan program pemerintah agar rakyat tahu dan paham. Alih-alih mengharapkan dukungan rakyat, perilaku mereka malah membuat rakyat semakin pesimistis menghadapi tekanan hidup yang semakin berat.

“Kegaduhan” ala RR kemudian berlanjut. Setelah friksi dengan RS dan “berdamai” dengan JK, RR kembali membuat ulah. Sasaran tembaknya adalah perusahaan plat merah, Pertamina. RR menelanjangi Pertamina dengan “meramalkan” bahwa BUMN ini akan bangkrut, bila terus melanjutkan proyek membangun jaringan pipa di seluruh Indonesia. Dalam pandangan RR, proyek ini tidak efisien dan tidak penting, serta tidak aman. Sehingga RR mengusulkan sebaiknya Pertamina membangun jaringan pipa gas, karena sangat sesuai dengan kebutuhan Indonesia, agar rakyat dapat menikmati energi hemat dan ramah lingkungan (baca di sini).

Atas kritik RR, Pertamina mempunyai alasan. Bahwa kekhawatiran RR tidak akan terjadi, karena Pertamina tidak menggunakan anggaran negara, tetapi lebih mengajak mitra pihak swasta dan investor, baik dalam negeri maupun dari luar negeri. Hal ini sesuai dengan arahan Presiden, supaya proyek yang dijalankan tidak terlalu membebani anggaran negara. Semua itu bertujuan untuk memperkuat ketahanan energi (lihat sini).

“Kegaduhan” RR berikutnya adalah sinyalemennya tentang mafia listrik terkait provider yang menangani masalah pulsa listrik prabayar. RR menduga ada permainan dalam bisnis listrik prabayar atau isi ulang yang dijalankan PT. PLN. Dalam perhitungan RR, masyarakat hanya mendapat manfaat riil 73 ribu dari isi ulang pulsa listrik (token) sebesar 100 ribu rupiah (baca di sini). Pihak PLN, tentu tidak begitu saja menerima “tudinagan” RR. Direktur Utama (Dirut) PT. PLN, Sofyan Basir, membantah bahwa nilai manfaat dari listrik prabayar lebih kecil dari nilai isi harga beli karena ulah mafia, tetapi murni karena perhitungan administrasi dan pajak peneragan jalan (PPJ) yang dibebankan kepada pelanggan (baca di sini).  “Tudingan” RR ini juga mendapat counter dari ekonom dan pengamat politik, Faisal Basri. Menurut Faisal Basri, RR salah melakukan perhitungan mengenai token listrik, sehingga keliru menuding ada mafia listrik.

Aksi koboi ala RR yang terbaru dan agak “provokatif” adalah tindakan menghancurkan beton di Pelabuhan Tanjung Priok yang dilakukan secara demonstratif. Sebuah tindakan yang seharusnya berpotensi membuat gaduh. Menurut RR, tindakan PT. Pelindo II yang menutup jalur kereta api yang dibangun sejak zaman Belanda ini sangat menghambat laju bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok sehingga sangat tidak efisien. Diharapkan setelah proses pembongkaran ini dalam waktu dua bulan dapat terlihat hasilnya, proses bongkar muat barang menjadi lebih lancar dan efisien (lihat sini). Meski demikian, aksi koboi ala RR ini belum mendapat resistensi dari pihak PT. Pelindo II, khususnya dari Dirutnya, sebagaimana dialami Buwas ketika melakukan proses penggeledahan beberapa waktu yang lalu yang berujung pada pemberhentiannya sebagai Kabareskrim.

Rakyat Menanti Janji

Sesama pemerintah boleh berantem, tapi jangan lupakan nasib rakyat. Rakyat sudah terlanjur memberikan kepercayaan kepada rezim ini untuk membawa mereka pada kesejahteraan dan kemakmuran.

Kita tidak berharap aksi-aksi ala koboi yang berpotensi menimbulkan keriuhan dan kegaduhan yang dapat mengganggu stabilitas ekonomi dan politik tidak berlanjut. Kalaupun masing-masing pelaku politik (ya pemerintah, ya elit, ya politisi) mempunyai kepentingan tersembunyi, hendaknya hal itu tidak harus mengorbankan kepentingan rakyat dan bangsa. Rakyat sekarang sedang megap-megap dengan kondisi ekonomi dan kurs rupiah yang tak menentu. Dalam kondisi demikian Pemerintah hendaknya hadir dan memberikan keteduhan, bukan malah membuat riuh dan gaduh yang tak perlu. Kekompakan menjadi sesuatu yang lebih diutamakan ketimbang menonjolkan ego sektoral, apalagi ego pribadi untuk memuluskan agenda sendiri.  

Setiap elit boleh terobsesi ingin menjadi ini atau itu, ingin memiliki karakteristik yang unik sebagai pembeda dengan yang lainnya. Setiap orang boleh mencontoh tipologi kepemimpinan orang lain, tapi hendaknya hal itu disesuaikan kondisi dan momentum. Tidak hanya main tabrak sana tabrak sini, seruduk sana seruduk sini, harus ada rambu-rambu sebagai pedoman etik interaksi. Jika semua dapat mematuhi “kode etik” ini, baik dalam interaksi personal dan sosial (pemerintahan, birokrasi) akan sangat memberi dampak positif bagi tumbuhnya energi positif dalam membangun kebangsaan kita.

Potret interaksi yang tidak harmonis, apalagi friksi di kalangan elit politik maupun pemerintahan, akan memberi kesan kurang baik bagi rakyat. Hal mana bukan membangkitkan harapan (optimisme), malah membuat rakyat larut dalam keprihatinan dan pesimisme. Dalam kondisi ketidakberdayaan dan rasa putus asa, rakyat akan sangat mudah terprovokasi, bahkan untuk melakukan tindak-tindakan yang tidak produktif dan anarkhis.

Apakah kita semua menginginkan hal itu terjadi? Saya rasa tidak! Karena itu, sebelum semua itu terjadi, mari kita berbenah, mulai dari atas, oleh para elitnya, terutama oleh Pemerintah. Mengutip Faisal Basri, “jika praktek-praktek ala koboi terus berlangsung, betapa sia-sianya serangkaian upaya perbaikan yang sedang dilakukan”.

Ya sudah, begitu saja, selamat membaca!

Wallahu a’lam bish-shawabi

Makassar, 11  September  2015    

 

Sumber gambar

 

  

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun