Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ahok Menawarkan ‘Kontroversi’

8 Maret 2015   15:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:59 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1425801996228461608

Oleh : eN-Te

[caption id="attachment_371981" align="aligncenter" width="256" caption="Sumber: anekainfounik.net"][/caption]

Kemunculan  Ahok dalam perpolotikan tanah air telah menghadirkan pula tema cerita yang tak pernah kering.  Sosoknya yang menyandang dua label minoritas, sebagai warga keturunan, Tionghoa dan sekaligus beragama Kristen telah memberikan inspirasi pada banyak orang bagaimana seharusnya bersikap dalam politik mainstream yang menuntut keseragaman. Prinsip hidupnya yang cenderung menentang arus yang tak kenal kompromi semakin menahbiskan dirinya sebagai sosok kontroversial.

Kontroversi 1 : Ahok Ditolak

Sejak kemunculannya dipanggung politik Nasional, terutama dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) Gubernur DKI Jakarta, Ahok telah memberikan warna dan dinamika tersendiri. Kehadirannya yang membawa dua label minoritas sekaligus, telah membuat sebagian kalangan merasa jengah karena “dilangkahi”. Dalam arus utama (mainstream) pemahaman politik publik, adalah hal yang tabuh bagi seorang calon kandidat yang akan diusung untuk menduduki jabatan politik tertinggi pada salah satu daerah teritorial tertentu setingkat provinsi, apalagi daerah provinsi tersebut sekaligus merupakan Ibu Kota Negara, memiliki label minoritas. Apalagi label minoritas tersebut tidak hanya satu melainkan dua sekaligus, minoritas secara etnis dan juga agama.

Dengan label sebagai warga keturunan, apalagi beretnis Tionghoa saja masih terasa sangat sulit untuk bisa mendapat perlakuan yang sama, apalagi harus ditambah dengan label minoritas secara agama. Maka lengkaplah sudah semua kran politik yang tidak memberikan saluran yang cukup memadai dan bebas digunakan oleh seorang Ahok untuk dapat mengekspresikan kehendak sosial politiknya secara bebas dan bertanggung jawab.

Dalam banyak kasus di masa Orde Baru, kaum nonpribumi keturunan Tionghoa selalu mendapat perlakuan diskriminatif. Dalam hal untuk mendapatkan identitas kependudukan, Kartu Tanda penduduk (KTP) saja sudah menjadi rahasia umum, harus diberi label khusus. Label mana menandakan stigmatisasi secara sistematis dan struktur terhadap warga keturunan. Hal mana yang menjadi soal adalah mengapa stigmatisasi yang ditandai dengan pemberian identitas khusus pada KTP, hanya berlaku kepada orang Tionghoa (China) semata, padahal masih banyak warga keturunan lainnya yang juga menjadi WNI negeri ini. Sebut saja, warga keturunan Arab. Apa karena mereka yang berketurunan Arab, yang identik dengan Islam, kemudian harus diperlakukan secara khusus?  Sehingga dalam hal membuat “keonaran” seakan-akan kelompok ini tidak tersentuh hukum.

Kontroversi 2 : Ahok Menolak UU Pilkada

Ketika wacana pembahasan RUU Pilkada sedang digodok dan kemudian disahkan oleh DPR RI sebagai UU Pilkada, Ahok sudah menunjukkan sikap “membangkang” terhadap Partai Gerindra. Partai di mana Ahok menjadikan sebagai biduk untuk menyalurkan aspirasi politiknya. Partai Gerindra pula yang mencoba “menampung” Ahok setelah keluar dari Partai Golkar untuk kemudian dicalonkan menjadi Calon Wakil Gubernur DKI Jakarta berpasangan dengan Joko Widodo. Dan melalui usungan Partai Gerindra dan PDIP pasangan Jokowi-Ahok kemudian terpilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta.

Namun ketika mengemuka wacana pembahasan dan pengesahan RUU Pilkada, Ahok malah menunjukkan sikap “membangkang” terhadap partai pengusung dan partai di mana ia menjadikannya  pelabuhan menyandarkan aspirasi politiknya, yakni Partai Gerindra. Sikap Ahok yang “membangkang” ini, yang dengan tegas menyatakan akan keluar dari Partai Gerindra bila menyetujui RUU Pilkada (tidak langsung), membuat para petinggi Partai Gerindra menjadi berang. Sebut saja, Hasyim Joyohadikusumo, yang dengan tegas harus menyebut nilai nominal dana yang telah digelontorkan dalam kampanye Pilkada Gubernur DKI waktu itu untuk memenangkan pasangan Jokowi-Ahok. Ibarat kata, Ahok tidak tahu diri, “lupa kacang akan kulitnya”.

Selain Ahok, Ketua DPD Partai Gerindra DKI Jakarta, M. Taufik juga dibuat kelimpungan. Berawal dari sinilah, belakangan dapat dipahami sikap politik M. Taufik yang terus menerus berseberangan dengan Ahok. Dalam pandangan M. Taufiq, Ahok telah melakukan “kejahatan” politik yang tidak bisa termaafkan.

Meski demikian, Ahok tetap saja tegar menjalankan prinsipnya. Dalam sebuah kesempatan dngan sesumbar Ahok berkata, "Saya akan buktikan, tanpa partai pun, sebagai kepala daerah didukung oleh rakyat dan bukan bertanggung jawab kepada DPRD, saya tetap bisa menjalankan program untuk kesejahteraan rakyat Jakarta" (sumber).

Kontroversi 3 : Ahok Naik Tingkat

Lihat saja  pertarungan mereka dalam hal menolak Ahok ketika naik tingkat menjadi Gubernur setelah Jokowi “lompat pagar” masuk Istana Presiden, terpilih pada Pilpres 2014. Di mana-mana kelompok yang berjubah putih, yang menyebut diri mereka sebagai Front Pembela Islam (FPI) begitu sangat getol ingin menggagalkan Ahok dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta. Sampai-sampai, sangat gemasnya, mereka harus mengangkat dan melantik seseorang, yang dari tampangnya saja sudah tidak memberi harapan, menjadi seorang Gubernur tandingan (Gubtan). Namun seiring berjalannya waktu, sang Gubtan ini, “tenggelam” dalam pusaran banjir bandang Jakarta. Tak terdengar lagi gaung, apalagi kiprahnya bagi kehidupan warga Jakarta, di saat-saat warga Jakarta sedang menghadapi banjir bandang sekalipun.  Kelompok berjubah putih ini , sejak awal begitu sangat percaya diri dan merasa yakin atas perjuangan mereka untuk menggagalkan Ahok menjadi Gubernur. Tapi ketika Ahok sudah dilantik secara resmi oleh Presiden menjadi Gubernur DKI Jakarta, kelompok ini kehilangan “motif politik” dan ngiprit entah ke mana.

Kontroversi 4 : Ahok Ungkap Dana Siluman

Nah, hari-hari ini, kembali Ahok membuat kontroversi. Ahok membuat sebagian besar, bahkan hampir seluruh anggota DPRD DKI Jakarta kebakaran jenggot. Tanpa tedeng aling-aling, Ahok membuat para anggota DPRD merasa meriang, gemetaran, dan tersedak. Bagaimana tidak,  dengan tidak perlu berlindung di bawah rasa ewuh pakewuh, Ahok mengungkap ada dana siluman dalam RAPBD 2015 DKI Jakarta sebesar Rp. 12,1 triliun. Menurut Ahok bahwa dana siluman itu merupakan item anggaran yang “dititipkan”. Segera setelah itu, DPRD merespon dengan membentuk Panitia Hak Angket untuk melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran konstitusi yang dilakukan oleh Ahok. Bagi anggota DPRD, Ahok telah melakukan tindakan melanggar hukum dengan menyampaikan RAPBD versi e-budgeting kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) untuk disetujui dan disahkan, yang mana RAPBD tersebut bukan merupakan hasil pembahasan dengan DPRD.

Namun demikian, RAPBD yang diajukan Ahok belum dapat disetujui oleh Mendagri, karena belum memenuhi format yang seharusnya. Di sinilah awal mula munculnya istilah dana siluman oleh Ahok. Ahok tidak mau mengajukan RAPBD 2015 versi DPRD, karena menurut Ahok RAPBD versi e-budgeting adalah yang benar berdasarkan hasil pembahasan SKPD-SKPD dengan DPRD, sedangkan versi DPRD telah mengalami “perubahan”. Perubahan itu disebabkan ada oknum-oknum anggota DPRD telah bermain dengan oknum-oknum SKPD dengan mengganti kegiatan-kegiatan atau program yang sesuai dengan RAPBD versi e-budgeting dengan program pengadaan item barang, yang bukan saja tidak terlalu menjadi prioritas, tapi juga dari segi harga sangat fantastis dan tidak rasional.

Karena kebakaran jenggot dan tidak ingin “dipermalukan”, maka DPRD melalui Wakil Ketuanya, H. Lulung Lunggana, melakukan serangan balik, dengan menuding Ahok mencoba menyuap DPRD sebesar Rp. 12,7 triliun melalui Sekretaris Daerah. Meski demikian, Ahok tidak gentar, ia kemudian melaporkan indikasi penyalahgunaan wewenang oleh DPRD tentang dana siluman itu kepada KPK. Ahok bahkan berani bertaruh, siapa yang benar dalam hal ini, dia atau DPRD. Bagi Ahok, kalau pun kemudian terbukti, dia yang salah, dalam arti melanggar konstitusi, maka resikonya ia dimakzulkan (dipecat), tapi sebaliknya jika kemudian terbukti bahwa anggota DPRD telah dengan sengaja memasukkan dana siluman dalam RAPBD (2014 dan 2015) dan dengan sengaja melakukan penggarongan kekayaan negara tanpa hak, maka siap-siap dipecat dan masuk hotel prodeo.

Dalam kondisi carut marut hubungan antara Gubernur dengan DPRD DKI Jakarta, dengan alasan demi keberlanjutan pembangunan Jakarta, Kemdagri menawarkan solusi dengan melakukan mediasi. Singkat cerita, disepakati dilakukan mediasi untuk mengklarifikasi terhadap perbedaan pandangan antara Gubernur dan DPRD terhadap RAPBD, pada Kamis (4/3/2015). Sayangnya mediasi tersebut menemui jalan buntu, akibat masing-masing pihak tetap mempertahankan kebenaran versinya masing-masing. Bukan saja deadlock, dalam pertemuan tersebut terjadi kericuhan yang mempertontonkan sikap-sikap yang jauh dari tatakrama politik yang santun dan bermartabat.

Mediasi yang dipandu oleh Sekretaris Jenderal Kemdagri awalnya berjalan lancar, dan sudah hampir ditutup. Ketika diberi kesempatan oleh moderator untuk memberikan catatan penutup terhadap proses klarifikasi dalam mediasi itu, Ahok meminta kepada SKPD-SKPD untuk mengangkat tangan, apakah meng-input e-budgeting berdasarkan hasil pembahasan atau tidak. “Kemarahan” Ahok memuncak, karena ketika sedang meminta SKPD-SKPD untuk menjawab pertanyaan tersebut, Wakil Ketua DPRD, H. Lulung Lunggana memotong agar Ahok tidak “mengintimidasi” SKPD-SKPD. Maka kondisi pertemuan pun tiba-tiba menjadi hiruk pikuk. Para anggota DPRD yang merasa “kedok” mereka akan terbongkar bila para SKPD akan membuka rahasia mereka, kemudian “mengamuk” dengan mengeluarkan ungkapan-ungkapan yang tidak pantas.

Tentu saja, setelah kejadian tersebut, masing-masing pihak akan mencari justifikasi. Pihak DPRD menuding bahwa kericuhan terjadi karena sikap Ahok yang tidak etis. Padahal pada saat yang bersamaan, para anggota DPRD juga “mengamuk” dengan mengeluarkan kata-kata, yang bukan saja tidak etis, tapi itu sangat memalukan, dengan menyebut nama binatang. Sementara menurut Ahok, dan sesuai dengan video yang diunggah di youtube, “kemarahan” Ahok itu berawal ketika Lulung Lunggana, juga tidak kalah tidak etisnya, memotong pembicaraan Ahok.

Kontroversi 5 : Ahok Menawarkan Keterusterangan

Anggota DPRD rupanya tidak sadar bahwa dalam kondisi negeri yang suka berlindung di balik eufimisme (baca : kebohongan yang disembunyi-sembunyikan), perlu orang yang mau mengambil resiko mendobrak itu. Sikap keterusterangan, dianggap sebagai sesuatu yang tabu dalam masyarakat yang penuh dengan sikap eufimisme. Berkata baik (baca: bohong) hanya karena tidak ingin lawan bicara tersinggung. Inilah negeri dengan masyarakat yang bermental hipokrit. Dan Ahok merasa kita tidak perlu lagi berlama-lama berkubang dalam sikap hipokrit dan eufimisme tersebut. Sudah saatnya negeri ini dibangun dengan kejujuran. Berkata apa adanya, tanpa harus menutupi. Jika itu A katakanlah A, jangan disebut B apalagi sampai huruf terakhir Z.

Yaa sudah, begitu saja pendapat penulis, selamat membaca, ...

Wallahu a’lam bish-shawabi

Makassar, 07  Maret  2015

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun