Beberapa waku lalu publik Indonesia disuguhi berita tentang kegaduhan ala Mantan Kabareskrim, Buwas. Penilaian ini didasarkan karena Buwas telah “berani” memberantas korupsi dan tindakan kejahatan lainnya yang merugikan keuangan negara. Atas “keberaniannya” membuat kegaduhan itu, maka Buwas diganjar dengan dicopot dari jabatan Kabareskrim. Buwas dinilai telah ikut andil “mengganggu” stabilitas ekonomi dan politik nasional.
Hemat saya, sebelum Buwas melakukan penggeledahan PT. Pelindo II, yang kemudian dipersepsikan telah membuat gaduh, (sehingga berdampak pada kariernya di Bareskrim), kondisi politik ekonomi Indonesia sebenarnya telah lebih dulu gaduh. “Kegaduhan” itu berawal dari kenaikan harga daging dan beberapa bahan pokok lainnya. Kenaikan harga daging itu sendiri diduga sengaja “disetting” oleh mereka (baca: mafia) yang ingin mengeruk keuntungan dengan cara “menekan” Pemerintah agar kembali membuka kran impor daging sapi (beku). Ternyata di tengah kelesuan ekonomi dan nilai tukar rupiah yang tak menentu, para mafia pangan juga ikut bermain dan hendak mendapat keuntungan, tanpa mempedulikan kesulitan masyarakat. Dalam kondisi seperti itu, Presiden menjadi berang dan mengintsruksikan agar para mafia ditindak (antara lain dengan undang-undang pangan).
Tak kalah sigap, Buwas “menjalankan” instruksi Presiden itu dengan melakukan tindakan-tindakan yang dibenarkan oleh hukum (undang-undang). Bersama timnya, Buwas melakukan penelusuran (baca: penyelidikan) terhadap praktek penimbunan (daging) sapi potong. Praktek penimbunan sapi oleh pengusaha penggemukkan sapi telah membuat kelangkaan daging sapi di pasaran. Akibatnya jelas, maka terjadi kenaikan harga. Begitu pula dengan ketersediaan garam, serta berbagai bahan pokok lainnya. Terjadi pula praktek mengambil keuntungan sesaat dengan memanfaatkan “kelengahan” Pemerintah mengendalikan harga dan kurs rupiah. Maka terjadi gonjang-ganjing, yang tak bisa tidak ikut pula berpengaruh terhadap kegaduhan politik ekonomi nasional. Mestinya Pemerintah menyadari bahwa dalam ilmu ekonomi di kenal prinsip supply and demand (penawaran dan permintaan). Bila permintaan tinggi, tetapi penawaran (ketersediaan) kurang, maka otomatis akan berpengaruh pada harga (penjualan). Di sinilai berlaku kausalitas di mana satu soal menyebabkan hal lainnya.
Pada posisi ini seharusnya dapat dipahami langkah-langkah Mantan Kabareskrim, Buwas dalam menegakkan hukum sebagaimana amanat undang-undang. Keberanian untuk melakukan tindakan hukum kepada oknum-oknum yang diduga melakukan praktek yang merugikan dan meresahkan rakyat banyak. Sayangnya, langkah-langkah berani ala Buwas tidak mendapat apresiasi yang wajar, malah dituding sebagai orang yang paling bertanggung jawab terhadap berbagai “kegaduhan” itu. Kita seakan sedang mempraktekkan politik belah bambu, satu diinjak, sementara belahan yang lainnya ditarik dan diangkat. Diskriminasi yang sangat tidak elok.
Rizal Ramly Sang "Mr. Usil"
Tulisan Faisal Basri, ekonom dan pengamat politik ekonomi, hari ini, Jumat (11/9/2015) tentang paket kebijakan ekonomi (baca di sini) dan beberapa hari yang lalu tentang “keliru tuding” Rizal Ramly (RR), Menteri Koordinator (Menko) Maritim (baca di sini), “mengingatkan” kembali saya untuk menulis tema tentang “kontroversi” RR. Artikel ini adalah refleksi “kerisauan dan kegembiraan” saya melihat sosok RR (dan juga Buwas) dalam perspektif “kegilaan” Ahok.
RR setelah dilantik oleh Presiden menjadi Menko Maritim, seakan ingin menunjukkan bahwa dia “beda” dengan para menteri yang lain. Segera setelah resmi menjabat sebagai Menko Maritim, RR seakan ingin menujukkan eksistensi dirinya sebagai menteri. Tidak sekedar “menteri-menterian”, tetapi sebagai seorang menteri yang menawarkan nuansa politik baru. Nuansa politik, yang jika kita perhatikan sebenarnya bukan baru-baru amat, tetapi hal itu sebenarnya sudah dan sedang dilakonkan oleh Gubernur DKI Jakarta, Ahok. Sehingga secara sepintas kita seakan mendapat penegasan bahwa seolah-olah RR ingin mengesankan dirinya hendak mengikuti jejak Ahok, “menawarkan” kontroversi. Maka RR pun mulai memproduksi “keusilannya”.
RR mengawali kontroversinya dengan “menyerang” JK terhadap program pengadaan listrik 35 ribu megawatt. Menurut RR, program listrik 35 ribu megawatt merupakan proyek ambisius yang tidak mungkin akan terealisir dalam waktu lima tahun. Bagi RR, proyek pengadaan listrik 35 ribu megawatt itu adalah proyek yang tidak realistis. Apalagi sebelum Pemerintahan Jokowi-JK mencanangkan program ini, masih ada tunggakan listrik yang belum sempat diselesaikan oleh Pemerintahan SBY, yakni sekitar tujuh ribu megawatt pada kurun waktu sebelumnya. Jika “utang” SBY-Boediono ini juga harus ditunaikan maka beban Pemerintahan Jokowi-JK terhadap proyek pengadaan listrik bertambah menjadi 42 ribu megawatt. Dengan durasi waktu yang hanya kurang dari lima tahun, dalam logika RR, mana mungkin proyek itu bisa terealisir? Impossible, mustahil, tidak masuk akal.
Menanggapi kritikan RR, Wakil Presiden, JK, memberikan tanggapan tak kalah keras. Menurut JK, seorang menteri seharusnya terlebih dahulu mempelajari semua program pemerintah, baik latar belakang, manfaat, dan analisis kemungkinan proyek itu dapat terlaksana, serta dampak hambatan sebelum memberikan penilaian (baca: komentar, tepatnya kritik). Dalam bahasa JK, “tentu sebagai menteri harus pelajari dulu sebelum berkomentar. Memang tidak masuk akal, tapi menteri harus banyak akalnya. Kalau kurang akal, pasti tidak paham itu” (sumber).
Sayangnya dalam menghadapi “sindiran” Wapres, RR tidak mau kalah, dan tidak mau sedikit menurunkan egonya, malah RR menantang Wapres, yang nota bene sebagai atasannya, untuk debat terbuka mengenai proyek listrik 35 ribu megawatt itu. Maka “kegaduhan” ala RR pun mulai terbentang. RR baru sedikit menurunkan egonya setelah dipanggil dan “dimarahi” Presiden dan Wapres.
Di sisi lain, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Sudirman Said, malah optimis dan mengabaikan kekhawatiran yang cenderung pesimistis ala RR dengan proyek listrik 35 ribu megawatt itu. Menurut Sudirman Said proyek kelistrikan 35 ribu megawatt bakal terealisir pada masa Pemerintahan Jokowi-JK, termasuk sisa 7 ribu megawatt peninggalan Pemerintahan SBY (baca di sini).