"Ah! Saya buang saja kertasnya!" mulai timbul pikiran licik. "Tapi tidak juga, nanti mereka bisa ketemu."
Saya melangkah menuju dapur, setelah memastikan tidak ada orang, saya mengambil korek api. Sambil beringsut lewat pintu samping, saya memantapkan diri untuk membakar kertas itu di bawah pohon alpukat. (hahaha)
"Selamat!" pikir saya.
Sejak hari itu, saya pun bertekat harus jadi juara. Saya mulai ngotot diajarin baca sama Mamak (berhitung saya tidak masalah).
"A-ba ... Aba"
"A-bu ... Abu"
Begitu terus saya teriak belajar ngeja, sambil terus-terusan ngintil Mamak saat masak atau saat beberes (ibu itu paling sabar ya).
Seminggu pertama, saya ke sekolah masih modal menghafal gambar. Buku bacaan "Ini Budi, ini bapak Budi" kan ngapalin gambarnya nggak gitu susah. Teks nya juga nggak ribet.
Hari Minggu itu, setelah ibadah. Niat saya mau nyamperin Mamak di depan gereja, seperti biasa. Entah kenapa, koq nggak keluar-keluar padahal kan orang sudah pada pulang. Lalu kuintip dari pintu, kulihat mamak sedang ngobrol sama Ibu guru. "Habis lah saya" wajah saya entah sudah berwarna pelangi kali saat itu, saking saya sudah tidak tau lagi rasa apa yang tepat menggambarkannya.
Saya pulang, tanpa menunggu Mamak lagi. Sembari berpikir terus, Mamak akan bilang apa nanti malam.
Benar saja, saat ibadah selesai, Mamak tanya perihal angka "O" itu. Setelah saya jelaskan, yang ada mereka ketawa.