Mohon tunggu...
Denny Boos
Denny Boos Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Perempuan asal Tobasa. Menyukai hal-hal sederhana. Senang jalan-jalan, photography, sepedaan, trekking, koleksi kartu pos UNESCO. Yoga Iyengar. Teknik Sipil dan Arsitektur. Senang berdiskusi tentang bangunan tahan gempa. Sekarang ini sedang ikut proyek Terowongan. Tinggal di Berlin.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perihal Pasangan Sejenis: Cerita Teman, Cerita Tetangga

26 Januari 2016   18:05 Diperbarui: 27 Januari 2016   00:51 719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(meja kita, saya dapat hadiah malaikat kecil dari teman saya)


Sore itu, kita janjian ketemu di Alexanderplatz, Berlin. Langit biru Berlin sempat hampir membuatku terlambat untuk kembali ke restoran di bawah tv tower Alexanderplatz tepat waktu. Saya memang sempatkan angkat kamera berjalan menuju si merah balai kota berlin, gereja St. Mary dan air mancur Neptune di dekatnya. Selain jadi tempat yang paling tepat buat ngejepret tv tower dengan sempurna sampai ke puncaknya, senang saja rasanya duduk di jajaran kursi taman yang dipajang berjejer di sana. Geliat turis, selalu saja memberi kesan berbeda tiap saat, walau duduk di tempat yang sama di waktu yang berbeda.

Saya bergegas meninggalkan bangku taman panjang tersebut menuju restoran Italia tempat kami janjian. Benar saja, dia memang sudah berdiri di depan restoran dengan memegang tali seekor anjing imut. Kita bicara tentang hobi yang mempertemukan kita, membicarakan kabar teman-teman yang terakhir kita ketemuan dan membicarakan kegiatan terbaru masing-masing. Berhubung saya belum makan siang, saya pesan pizza currywurst Berlin serta bitter lemon, sementara dia memesan makanan Italia yang manis serta cappuccino. Oh ya, currwurst sangat terkenal untuk area Berlin. Kedengarannya aneh memang, currywurst, tapi masuk dalam kuliner Berlin.

(pizza currywurst, kuliner khas Berlin dan pesanan kita)

Ketika tiba saatnya membicarakan tentang kegiatan terbaru, (biasanya di sini) merujuk seputar liburan. Dia bercerita bahwa musim panas kemarin dihabiskan di Filipina. Lebih dari 5 minggu dia di sana. "Pantainya indah, saya lihat banyak pohon kelapa." katanya sembari menunjukkan foto-foto yang dia ambil selama liburan. Iya, pohon kelapa tidak ada di sini, jadi wajar itu poin penting buat dia. Haha. "Transportasinya ada yang seperti ini." ditunjukkan nya sebuah foto bus tua yang berjubel dengan orang, serta sebuah kendaraan mirip bajaj. "Kalau saya punya banyak uang, saya akan memilih tinggal di Asia. Cuacanya sangat menyenangkan sepanjang tahun." lanjutnya lagi.

Saya tidak mau kalah promosi cuaca dan alam Indonesia juga, mumpung dia sudah bawa tema ke sana. Pembicaraan menjadi kemana-mana. Sampai pada suatu foto lain, dia bilang, "ini (mantan) pacar saya!" dia menunjukkan sebuah foto. Saya melihat sebuah foto pria yang saya tebak baru dua puluhan, berpose miringin kepala, ala alay kata orang Indonesia. Saya coba pasang tampang tidak kaget, tetap dengan muka tenang walau dalam hati ada sejuta pertanyaan. "Dia yang saya kunjungi di Filipina. Tapi tidak sampai 2 minggu setelah kami ketemuan di sana, dia pergi." Setelah kalimat itu, baru saya berani bertanya "kenapa?"

"Dia bilang, merasa tidak cocok dengan saya. Dua tahun ini kami hanya berhubungan lewat internet. Skype dan facebook. Saya juga selalu mengirimkannya uang tiap bulan dengan teratur. Oh iya, saya kenal dia dari online dating." tambahnya lagi.

Kalau sudah masalah "hati" apalagi terselip "kecewa" seperti ini, saya mikir panjang untuk komentar kecuali ada pertanyaan. Karena itu, saya memilih untuk mendengarkan.

"Dia hanya mau uang saya!" bahasanya mulai tidak enak. Saya yang dengar dan saya yang orang Asia, makin merasa canggung untuk berkomentar.

"Tapi saya akan kembali lagi ke Filipina musim panas nanti. Saya ingin menikmati lagi pantai-pantai di sana." Dan saya pun mulai menarik nafas yang tadinya mulai sedikit tegang. Nada optimis ini membuatku merasa kalo dia sudah mengakhiri rasa kecewa, setidaknya, mencoba.

"Sudah, lupakan dia. Pasti kamu akan ketemu yang lebih baik!" hanya itu yang saya coba berani bilang. Nasehat umum, yang mungkin buat dia juga tidak lagi perlu ditampung.

Apa yang saya lihat dari pertemuan tersebut? Saya melihat bahwa teman saya merasa tidak berbeda, dengan kehidupan "homoseksual" yang dia jalani. Dia bahkan merasa baik-baik saja untuk mendiskusikan dengan saya. Dan satu hal lain yang saya pelajari, ketika kita menjalin hubungan dengan orang lain, tinggalkan yang baik. Lakukan yang baik. Pada akhirnya, ada kondisi dimana bukan saja hanya diri sendiri yang menanggung akibatnya. Nggak kebayang kalau ada yang memberi label, orang Filipina penipu, orang Indonesia penipu, karena kegagalan versi serupa bukan?

Oh ya, akhirnya saya juga tau, trend pasangan homo ini rupanya banyak juga mencari pasangan Asia. Saya lihat dari komunitas teman yang saya ceritakan tersebut. Dan, juga, si abang cerita bahwa tiga orang tetangga kami (dua di seberang gedung) dan satu orang lagi tinggal persis di lantai atas kami memilih kehidupan yang sama. Beberapa kali memang saya sudah perhatikan geliat tersebut dari tetangga di seberang, saat masak di dapur, atau menikmati duduk di dapur sembari memandang ke gedung sebelah, tertangkap adegan kecupan mesra mereka yang tembus lewat kaca. Kurang kerjaan, iya, saya!

(mereka, dua pasang tetangga kita di seberang jalan)

(cuma untuk mbayangkan, lewat kaca dapur yang tinggi ini saya biasanya melihat kehidupan yang semakin transparan di seberang jalan (nggak ketemu foto versi terangnya))

Beda hal nya dengan cerita seorang kawan, yang adalah seorang petinggi di universitas. Saat umur anak mereka dua tahun, istrinya terang-terangan mengatakan bahwa dia mau pergi karena menyukai perempuan lain. "Sangat kaget! kata teman saya. "Tapi itu pilihannya, saya harus menghormati."  Dia pun membesarkan anaknya sendirian. Sementara, saat ini sang mantan istri memang hidup dengan wanita lain. Dari pendidikan nya yang juga doktor, tentu kita tidak menyangka dia memilih jalan seperti itu. Lantas siapa yang salah? Keluarga? Agama?

Bagi pasangan sejenis ini, pegangan tangan bahkan memberi kecupan, selayaknya pacaran atau pasangan di tempat umum tidak jarang ditemukan. Bahkan yang mungkin menikah dan hidup bersama. Dan respon sekeliling, kita, biasanya hanya cukup tau. Pemikirannya sederhana, disamping mereka dewasa, keluarga yang lebih dulu tau, pasti sudah ada fase mengingatkan di awal. Pada akhirnya, urusan dengan Tuhan adalah urusan masing-masing. Mengingatkan tetap perlu, tapi bagian kita bukan untuk menghakimi tentunya. Tulisan saya ini dibuat berawal karena tulisan seorang teman kompasianer kemarin menanggapi UI perihal kehidupan pasangan sejenis, dan ini hanya menggambarkan sekilas tentang sisi kehidupan lain disini, tentang pasangan sejenis serta reaksi masyarakat terhadap mereka.

Salam hangat,

Denina

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun