Mohon tunggu...
Denny Boos
Denny Boos Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Perempuan asal Tobasa. Menyukai hal-hal sederhana. Senang jalan-jalan, photography, sepedaan, trekking, koleksi kartu pos UNESCO. Yoga Iyengar. Teknik Sipil dan Arsitektur. Senang berdiskusi tentang bangunan tahan gempa. Sekarang ini sedang ikut proyek Terowongan. Tinggal di Berlin.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perihal Pasangan Sejenis: Cerita Teman, Cerita Tetangga

26 Januari 2016   18:05 Diperbarui: 27 Januari 2016   00:51 719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang saya lihat dari pertemuan tersebut? Saya melihat bahwa teman saya merasa tidak berbeda, dengan kehidupan "homoseksual" yang dia jalani. Dia bahkan merasa baik-baik saja untuk mendiskusikan dengan saya. Dan satu hal lain yang saya pelajari, ketika kita menjalin hubungan dengan orang lain, tinggalkan yang baik. Lakukan yang baik. Pada akhirnya, ada kondisi dimana bukan saja hanya diri sendiri yang menanggung akibatnya. Nggak kebayang kalau ada yang memberi label, orang Filipina penipu, orang Indonesia penipu, karena kegagalan versi serupa bukan?

Oh ya, akhirnya saya juga tau, trend pasangan homo ini rupanya banyak juga mencari pasangan Asia. Saya lihat dari komunitas teman yang saya ceritakan tersebut. Dan, juga, si abang cerita bahwa tiga orang tetangga kami (dua di seberang gedung) dan satu orang lagi tinggal persis di lantai atas kami memilih kehidupan yang sama. Beberapa kali memang saya sudah perhatikan geliat tersebut dari tetangga di seberang, saat masak di dapur, atau menikmati duduk di dapur sembari memandang ke gedung sebelah, tertangkap adegan kecupan mesra mereka yang tembus lewat kaca. Kurang kerjaan, iya, saya!

(mereka, dua pasang tetangga kita di seberang jalan)

(cuma untuk mbayangkan, lewat kaca dapur yang tinggi ini saya biasanya melihat kehidupan yang semakin transparan di seberang jalan (nggak ketemu foto versi terangnya))

Beda hal nya dengan cerita seorang kawan, yang adalah seorang petinggi di universitas. Saat umur anak mereka dua tahun, istrinya terang-terangan mengatakan bahwa dia mau pergi karena menyukai perempuan lain. "Sangat kaget! kata teman saya. "Tapi itu pilihannya, saya harus menghormati."  Dia pun membesarkan anaknya sendirian. Sementara, saat ini sang mantan istri memang hidup dengan wanita lain. Dari pendidikan nya yang juga doktor, tentu kita tidak menyangka dia memilih jalan seperti itu. Lantas siapa yang salah? Keluarga? Agama?

Bagi pasangan sejenis ini, pegangan tangan bahkan memberi kecupan, selayaknya pacaran atau pasangan di tempat umum tidak jarang ditemukan. Bahkan yang mungkin menikah dan hidup bersama. Dan respon sekeliling, kita, biasanya hanya cukup tau. Pemikirannya sederhana, disamping mereka dewasa, keluarga yang lebih dulu tau, pasti sudah ada fase mengingatkan di awal. Pada akhirnya, urusan dengan Tuhan adalah urusan masing-masing. Mengingatkan tetap perlu, tapi bagian kita bukan untuk menghakimi tentunya. Tulisan saya ini dibuat berawal karena tulisan seorang teman kompasianer kemarin menanggapi UI perihal kehidupan pasangan sejenis, dan ini hanya menggambarkan sekilas tentang sisi kehidupan lain disini, tentang pasangan sejenis serta reaksi masyarakat terhadap mereka.

Salam hangat,

Denina

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun