Mohon tunggu...
Emma Malika
Emma Malika Mohon Tunggu... Guru - Blogger

"Kompasianer teraktif versi Komik Kompasiana tahun 2023" || Menulis dengan apa adanya dan berusaha menjalani hidup dengan baik agar kembali dengan Husnul khatimah aamiinn

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Menggali Keberagaman Tradisi Minangkabau Melalui Layar Film

10 November 2024   09:22 Diperbarui: 10 November 2024   09:25 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image source by Soraya Intercine Film via  IMDB 

Tenggelamnya Kapal Van der Wijck adalah sebuah film yang diadaptasi dari novel karya sastrawan Indonesia, Hamka, pertama kali diterbitkan pada tahun 1938. Film ini bercerita tentang cinta tragis antara Zainuddin, seorang pemuda keturunan Minang-Bugis, dan Hayati, gadis dari keluarga Minangkabau asli. Meski mereka saling mencintai, hubungan mereka terganjal oleh perbedaan adat, status sosial, dan perjuangan hidup yang penuh liku-liku.

Zainuddin merupakan seorang pria yang memiliki status sosial yang rendah di masyarakat Minang, karena bukan keturunan asli Minangkabau dimana sang bunda berasal dari suku Bugis. Sementara Hayati berasal dari keluarga terpandang. Konflik antara adat, cinta, dan kehormatan menjadi tema utamanya. Karena tekanan dari keluarga dan adat, Hayati akhirnya menikah dengan Aziz, pria kaya yang dianggap lebih pantas. Namun, pernikahan tersebut tidak membawa kebahagiaan bagi Hayati.

Kisah ini mencapai klimaks ketika Hayati berlayar dengan kapal Van der Wijck untuk menemui Zainuddin setelah mengalami kekecewaan berat dalam pernikahannya. Namun, tragisnya, kapal itu tenggelam di perairan Jawa, dan Hayati pun meninggal. Tenggelamnya kapal ini menjadi simbol dari kehancuran cinta mereka dan menggambarkan bagaimana konflik antara perasaan dan tradisi bisa mengakibatkan penderitaan yang mendalam.

Pada prinsipnya novel buah karya Hamka ini mengkritik keras adat yang dianggap menghalangi kebahagiaan individu, serta menghadirkan kritik sosial terhadap realitas masyarakat pada masa itu. Selain itu, gaya bahasa yang indah dan alur cerita yang penuh emosi menjadikan film ini salah satu tontonan yang menarik untuk disaksikan.

Film bertema kisah kasih yang tak sampai begitu menggoda, hal ini disebabkan karena mengandung elemen yang menyentuh sisi emosional manusia secara mendalam. Ada beberapa alasan mengapa tema ini sering menarik perhatian, karena isinya seperti, Tragis tapi Indah, harapan dan Ketidakpastian, kisah yang acap kali menggambarkan Kenyataan Hidup, Kedalaman Emosi, mengandung Simbolisme dan Filosofi Hidup dan Romantisme yang Abadi.

Itulah mengapa kisah kasih tak sampai, seperti film Tenggelamnya Kapal Van der Wijck atau kisah-kisah legendaris lainnya, terus diminati dan diingat. Secara tidak langsung kisah ini mengingatkan kita, bahwa cinta tak selamanya bersatu atau hanya tentang kebahagiaan, tetapi juga ada kerelaan dan keikhlasan untuk melupakannya.

Tantangan pria suku Minang yang menikah lintas budaya 

Adat dan tradisi di Indonesia sangatlah banyak dan beragam, termasuk salah satunya yaitu Suku Minang. Mengapa menjadi begitu berkesan di masyarakat? hal ini disebabkan oleh banyaknya penyair dan penulis urang awak yang mengangkat tema kehidupan keseharian dari suku ini. 

Suku Minang yang berpedoman pada "Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah" yang artinya ialah adat berpedoman pada syariat agama dan syariat agama berpedoman pada Al Qur'an, hal ini dikarenakan mayoritas masyarakatnya beragama Islam.

Image source by Soraya Intercine Film via  IMDB 
Image source by Soraya Intercine Film via  IMDB 

Di masyarakat Minangkabau, pernikahan antara seorang pria Minang dan perempuan dari suku lain, seperti suku Bugis dalam film diatas, dapat menghadirkan tantangan khusus karena perbedaan budaya dan sistem kekerabatan. Berikut beberapa pandangan umum dalam masyarakat Minang terkait pernikahan lintas budaya tersebut.

1. Sistem kekerabatan kaum 

Sistem Kekerabatan Suku Minang menganut sistem matrilineal (garis keturunan ibu), sedangkan suku Bugis biasanya mengikuti sistem patrilineal (garis keturunan ayah). Dalam pandangan Minang, suku dan harta diwariskan melalui garis ibu, sementara dalam sistem patrilineal Bugis, keturunan lebih banyak diakui dari garis ayah. Ini sering kali memengaruhi bagaimana anak-anak dalam pernikahan tersebut dipandang oleh masing-masing keluarga besar, serta bagaimana mereka akan mewarisi budaya dari kedua belah pihak.

2. Pentingnya Adat dan Ikatan Keluarga

Dalam adat Minang seperti pernikahan bukan hanya penyatuan dua individu, tetapi juga dua keluarga besar. Karena itu, pernikahan pria Minang dengan perempuan dari luar suku sering kali memerlukan musyawarah dan persetujuan dari keluarga besar, terutama kaum ibu yang berperan penting dalam adat Minang. Mereka biasanya akan mempertimbangkan bagaimana perbedaan budaya ini akan dikelola dalam kehidupan sehari-hari pasangan tersebut.

3. Kendala pada Sistem Warisan Pusaka dan Rumah Gadang

Karena budaya Minang matrilineal, kepemilikan rumah gadang dan harta pusaka tinggi khususnya, umumnya diwariskan kepada anak perempuan Minang. Dalam pernikahan campuran dengan perempuan dari suku lain, terutama jika tidak ada anak perempuan dalam keluarga tersebut, sering kali muncul tantangan terkait warisan adat ini. 

Oleh karena itu, dalam beberapa kasus, keluarga Minang mungkin berharap agar anak laki-laki Minang menikah dengan perempuan Minang agar harta adat tetap berada dalam garis keturunan Minang.

4. Penyesuaian dan Toleransi Budaya

Meski terdapat perbedaan, masyarakat Minang terkenal adaptif dan terbiasa dengan keberagaman, terutama karena banyak pria Minang yang merantau dan menikah di luar suku mereka. 

Banyak keluarga Minang yang cukup terbuka dan menghargai hubungan lintas budaya, asalkan pasangan tersebut tetap menghormati adat, budaya, dan nilai-nilai agama. Pernikahan campuran seperti ini biasanya akan mendorong kedua belah pihak untuk beradaptasi dan mencari kesepahaman baru dalam kehidupan berumah tangga.

5. Peran Agama sebagai Jembatan

Agama Islam memainkan peran besar dalam kehidupan suku Minang dan Bugis, sehingga dalam pernikahan campuran, agama sering kali menjadi titik temu yang memperkuat ikatan. 

Islam dapat menjadi jembatan yang menyatukan perbedaan adat, karena dalam pernikahan Muslim, banyak nilai-nilai yang serupa, seperti kewajiban suami untuk menafkahi, menghormati keluarga pasangan, serta menjaga keharmonisan rumah tangga.

Secara umum, masyarakat Minang pada dasarnya tidak menolak pernikahan campuran, tetapi keluarga besar cenderung berharap agar calon menantu tetap memahami dan menghormati adat Minang. Meskipun ada tantangan dari perbedaan budaya, masyarakat Minang juga memiliki fleksibilitas dalam menerima keberagaman, asalkan pasangan tersebut siap menjaga nilai-nilai keluarga besar dan adat, terutama dalam menjalani kehidupan sehari-hari. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun