Satu hal yang saya kurang sreg dari kewiraswastaan anak muda sekarang adalah begitu kecilnya skala dari bidang yang ditekuni. Skala yang dimaksud adalah dalam kuantitas bidang yang telah dikover oleh wiraswastawan muda Indonesia. Anda akan paham maksud saya jika melihat bahwa faktanya bisnis baru yang terus beranak pinak di Indonesia pada dasarnya ada di bidang lifestyle, yang mana dapat dibagi menjadi 'big 3' sub-bidang utama: fashion, kuliner, dan rekreasi. Lebih menariknya lagi adalah begitu mudahnya anak muda terbawa arus. Toko berbasis Instagram dan Facebook terus berlipat ganda jumlahnya, semua menggunakan pola yang sama, klise, tipikal.
Mengapa proliferasi di bidang lifestyle?
Ini sendiri masih pertanyaan untuk saya. Apakah memang betul bisnis bidang lifestyle ini faktanya berjamuran relatif terhadap bidang non-lifestyle? Ataukah lingkup kontak dan pengaruh media yang kita alami sehari-hari memiliki tendensi untuk menggiring kita kepada informasi akan bisnis di bidang tsb? Karena tentu bidang yang relatif lebih monoton tidak butuh meng'iklan'kan produknya terhadap pribadi yang tidak berkecimpung di bidang bersangkutan. Sudah jadi fenomena alamiah jika kita tidak tahu banyak mengenai bidang tsb. Memang eksistensi bias tidak dapat dipungkiri, yang mungkin membuat saya meng-overestimate fenomena ini, namun distilasi poin yang akan saya coba sampaikan tidak terikat secara dependen terhadapnya.
Atau mungkin ini akibat budaya konsumtif kelas menengah Indonesia yang notabene jumlahnya terus meningkat? Saya meragukan penjelasan ini. Sudah menjadi klise bahwa Indonesia memiliki budaya konsumtif. Buruk? Belum tentu. Masyarakat yang memancarkan optimisme merupakan sinyal terbaik untuk investor yang dimiliki suatu negara karena seperti kita ketahui perkembangan ekonomi didasarkan pada konsumerisme. Anyway, saya tidak yakin bahwa this alleged cause adalah penyebab utamanya, karena tingkat konsumsi produk lifestyle di Indonesia bahkan belum remotely mendekati kebanyakan negara maju yang lebih inovatif.
Saya pribadi tidak merasa ada yang salah dengan berkecimpung di bidang ini, karenain essence, wiraswastawan adalah pemicu utama dari value creation, which in itself, adalah gaya utama yang mendorong kemajuan kebudayaan dan kemakmuran suatu badan (negara, organisasi, dll). Namun saya menawarkan perspektif yang mungkin berbeda bagi anda yang masih berpikir untuk menekuni bisnis di bidang ini, yang saya harap dapat membantu anda menciptakan value dan konsekuensinya membantu usaha anda berkembang.
Game theory: Restaurants are the worst business, X is the best business
Competition is a fool's game. Ada suatu rancangan di pola pikir kebanyakan, bahwa berbisnis pada dasarnya adalah berkompetisi. Bagi saya, berbisnis adalah berusaha tidak menemukan kompetisi. Dari prinsip sederhana ini anda akan menemukan bahwa restoran adalah bisnis terburuk yang bisa anda miliki, 'Tapi bagaimana dengan restoran A, ngantrinya panjang banget tuh'. Betul memang, anda bisa saja berhasil membangun bisnis kuliner, tapi berapa kemungkinannya anda berhasil? Berapa lama anda bisa bertahan? Saya ingat sebuah statistik bahwa dari 3000 restoran, 10 tahun kemudian yang bertahan adalah kurang dari 10 unit. Bayangkan, 3 orde di bawah jumlah awal.
Dengan mudah kita dapat melihat, bahwa bisnis restoran memiliki saingan yang tidak terhitung jumlahnya. Saya berpendapat ada 1 hal yang menyebabkan jumlah pesaing yang banyak ini, yakni restoran adalah bisnis low-skill, low-insight dan low-capital (relatif terhadap banyak bisnis lain). When it comes down to it bisnis restoran memang relatif mudah untuk dimulai, dan semua keuntungan yang mungkin anda kantongi sudah habis di arena kompetisi. Restoran seunik apapun yang anda bangun, restoran fusion india-amerika-vietnam-laos, atau apapun itu juga, anda tetap berkompetisi di bisnis yang sama, yaitu bisnis kuliner.
Kompetisi mengakibatkan anda berlomba-lomba mengoptimasi kualitas maupun harga untuk pelanggan. Dalam sebuah dunia yang ideal, dimana distribusi informasi adalah sempurna dan pasar ada pada efisiensi maksimum, pihak yang akan mendapatkan semua pelanggan adalah pihak yang mengambil keuntungan 0, dimana ia menginvestasikan ulang seluruh keuntungan atau kemungkinan keuntungan di masa depan pada produknya kembali. Artinya ia memaksimalkan produk dengan tidak mengambil keuntungan, sehingga kualitas dan harga produk ada pada titik maksimal. Tentu kita hidup di dunia non-ideal, dimana informasi membutuhkan diseminasi. Di sini, anda bisa menang dari berbagai sisi (pemasaran, relasi, dll), namun sebuah teori adalah berharga karena memberi perspektif bagi anda. Dan teori ini memberi tahu anda pada dasarnya kompetisi menggerogoti keuntungan.
Adalah yang terbaik jika anda bisa menjadi seorang kontrarian, yakni orang yang tidak percaya kepada pandangan publik dan bisa melihat sisi lain dari argumen mayoritas. Semakin esoterik bidang bisnis anda, semakin maksimal pula rasio profit-effort yang ada, karena besarnya keuntungan potensial yang tersisa. Bisnis ideal ini saya sebut bisnis X, dimana anda tidak memiliki pesaing sama sekali, dimana anda memegang monopoli. Untuk membangun sesuatu yang luar biasa, temukanlah this ever elusive business X.
Anak muda di bisnis non-lifestyle
Jadi mengapa sebaiknya lebih banyak anak muda pindah haluan ke bisnis non-lifestyle? Saya melihat bahwa anak muda memiliki sesuatu yang tidak dimiliki generasi sebelumnya (khususnya di Indonesia), mereka memiliki sebuah competitive edge. Sesuatu ini pada dasarnya adalah segala aspek yang memang non-eksisten di generasi sebelumnya. Contoh: social media marketing, SEO, robotika, coding, atau apalah. Sayangnya saya pribadi masih jarang melihat kemampuan ini dikomersialisasikan. Saya merasa banyak yang belum melihat ilmu ini sebagai sebuah modal usaha, namun sebagai modal menjadi karyawan. Anak muda dapat memberikan napas baru pada bisnis low-tech tradisional. Saya pribadi merasa bahwa prinsip anti kompetisi dan kontrarianisme dapat diimplementasikan pada seluruh aspek kehidupan untuk memaksimalkan keuntungan, i.e: perkembangan pribadi anda.
QED?
Bahwa kompetisi merupakan sebuah gaya yang menghancurkan potensi keuntungan, dan bisnis ideal X ada pada suatu bidang yang bahkan mungkin belum eksis
Bahan bacaan relevan:
- Zero to One, Peter Thiel
- Game Theory, Drew Fudenberg
The Big Short, Michael Lewis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H