Kartini mencerminkan refleksi mendalam dari dinamika sosial yang berakar pada ketidakadilan dan diskriminasi, baik dalam konteks budaya, agama, maupun politik. Seperti halnya dalam sejarah panjang umat Islam, yang dipenuhi dengan peristiwa kekerasan dan pembentukan identitas berbasis norma tradisional yang sering kali menindas kaum perempuan, perjuangan Kartini adalah usaha untuk meruntuhkan struktur sosial yang telah membentuk pandangan bahwa perempuan memiliki tempat yang lebih rendah dibandingkan laki-laki.
Pada masa kehidupan Kartini, praktik-praktik budaya yang merugikan perempuan seperti poligami, pemingitan, dan pembatasan pendidikan terhadap perempuan begitu mengakar kuat. Seperti yang kita lihat dalam perjuangan umat Islam yang terjebak dalam pola kekerasan intelektual maupun fisik, ketidakadilan yang dialami perempuan pada waktu itu menjadi bagian dari struktur sosial yang terlegitimasi oleh kekuasaan dan tradisi. Kartini, dengan ketajaman penanya, memulai kritik terhadap hal ini, meskipun ia sendiri menjadi korban dari struktur tersebut, terutama dalam hal pemingitan yang ia alami.
Sebagaimana yang ia tuliskan dalam surat-suratnya, ia percaya bahwa perubahan akan datang, meskipun harus melewati perjuangan yang panjang. Kartini meyakini bahwa pendidikan sebagai senjata utama untuk mematahkan ketidakadilan, bukan hanya pendidikan dalam arti sempit, tetapi juga pendidikan yang membentuk kesadaran akan martabat perempuan sebagai manusia yang setara dengan laki-laki.
Dalam konteks globalisasi, teori globalisasi Giddens dapat diaplikasikan untuk menjelaskan bagaimana pemikiran Kartini, meskipun berakar kuat dalam konteks Indonesia, dapat terhubung dengan arus pemikiran feminis global pada zamannya. Surat-surat Kartini yang dikirimkan kepada teman-temannya di Belanda menunjukkan bagaimana ide-ide feminisme yang berkembang di dunia Barat mempengaruhi pemikirannya tentang hak-hak perempuan dan pendidikan.
Giddens menjelaskan bahwa globalisasi berhubungan dengan global time-space distantiation dan deterritorialization, yaitu proses di mana ide-ide dan praktik tidak lagi terikat oleh batasan geografi dan budaya lokal. Ini tercermin dalam bagaimana Kartini menerima dan menyebarkan ide-ide luar yang kemudian berkontribusi pada perjuangannya untuk kesetaraan gender di Indonesia. Melalui surat-suratnya, Kartini berinteraksi dengan pemikir-pemikir di Belanda dan India, mencerminkan bagaimana ide-ide global bisa membentuk kesadaran dan perubahan di tingkat lokal.
Pandangan Kartini tentang pemikiran agama dan tradisi juga relevan, terutama yang sering digunakan untuk membenarkan praktik-praktik diskriminasi. Hal ini sangat relevan dalam konteks kekerasan yang sering kali disandarkan pada alasan agama atau budaya, baik dalam masyarakat Islam maupun di Indonesia secara umum. Dalam hal ini, pemikiran Kartini memberikan perspektif yang berbeda, yaitu bahwa perempuan seharusnya tidak dipandang sebagai pihak yang lebih rendah, dan tafsir agama atau tradisi yang mendiskriminasi perempuan harus dipertanyakan dan diperbaiki.
Seiring dengan berjalannya waktu, relevansi pemikiran Kartini semakin nyata. Peringatan Hari Kartini setiap tahun mengingatkan kita untuk terus berjuang demi kesetaraan gender. Walaupun kita sudah banyak mengalami kemajuan dalam banyak aspek kehidupan, perjuangan untuk memerangi kekerasan terhadap perempuan, baik fisik maupun mental, masih sangat dibutuhkan. Kartini, dengan keberaniannya menentang kekuasaan dan tradisi yang menindas perempuan pada zamannya, tetap menjadi simbol perjuangan bagi hak-hak perempuan hingga saat ini.
Refleksi dari buku Neng Dara Affiah atas pemikiranya terkait dengan mengapa kita perlu memperingati hari Kartini, jika kita dibandingkan dengan kekerasan dalam bentuk lain yang terjadi dalam sejarah umat Islam, mengingatkan kita bahwa kekerasan tidak hanya dapat dilihat dalam konteks fisik, tetapi juga dalam bentuk-bentuk diskriminasi yang lebih halus namun merusak, seperti pengabaian terhadap hak-hak perempuan.
Dalam konteks kekerasan politik atau sosial, seperti yang terjadi pada masa dinasti-dinasti Islam yang mengarah pada pembunuhan pemikir-pemikir yang berani mengkritik tatanan yang ada, Kartini pun berusaha untuk menyuarakan pendapatnya meskipun ia berada dalam situasi yang terbatas. Ia mengkritik bukan hanya praktik poligami yang menindas perempuan, tetapi juga pembatasan-pembatasan lain yang berlaku di masyarakat, yang menurutnya, merugikan kaum perempuan dalam segala aspek kehidupan.
Begitu juga dengan pandangan Kartini terhadap pemikiran agama dan tradisi, yang sering kali dipergunakan untuk membenarkan praktek-praktek diskriminasi. Hal ini sangat relevan dalam konteks kekerasan yang sering kali disandarkan pada alasan agama atau budaya, baik dalam masyarakat Islam maupun di Indonesia secara umum. Dalam hal ini, pemikiran Kartini memberikan perspektif yang berbeda, yaitu bahwa perempuan seharusnya tidak dipandang sebagai pihak yang lebih rendah, dan tafsir agama atau tradisi yang mendiskriminasi perempuan harus dipertanyakan dan diperbaiki.
Seiring dengan berjalannya waktu, relevansi pemikiran Kartini semakin nyata. Peringatan Hari Kartini setiap tahun mengingatkan kita untuk terus berjuang demi kesetaraan gender dan hak-hak perempuan. Walaupun kita sudah banyak mengalami kemajuan dalam banyak aspek kehidupan, perjuangan untuk memerangi kekerasan terhadap perempuan, baik fisik maupun mental, masih sangat dibutuhkan.