Mohon tunggu...
Emilia Fatmawati
Emilia Fatmawati Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswi sejarah peradaban islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung

mahasiswi jurusan sejarah peradaban islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung, minat dan kesenangan di bidang sejarah dan syair.

Selanjutnya

Tutup

Seni

Guguritan: Keluhuran Sastra dalam Bingkai Islamisasi Tatar Sunda

1 Juli 2024   08:22 Diperbarui: 3 Juli 2024   19:56 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Topik agama dan kebatinan yang menjadi tema naskah-naskah guguritan pada zaman Belanda ini ditambah seperti topik kesehatan dan pertanian. Lewat guguritan prosedur dan metode tani yang dikehendaki pihak Belanda disampaikan. Hal tersebut agar lebih mudah diterima oleh masyarakat sunda, mengingat suku sunda cukup khas dengan tradisi tembangnya.

Diketahui bahwa perkembangan sastra dan budaya sunda dapat kembali bangkit pada masa kolonial Belanda dengan dipelopori oleh tokoh-tokoh sastrawan dan budayawannya. Sebagai contoh ada Karel Frederik Holle, dia adalah seorang Belanda pemilik perkebunan teh di daerah Garut. 

Walaupun berdarah kolonial Holle terkenal sebagai sahabat suku sunda, di samping kefasihannya dalam berbahasa sunda Holle juga berjasa menghidupkan kembali jiwa sunda yang terpengaruh Jawa selama penguasaan Mataram.

Bersama sahabatnya Muhammad Musa dia mengembangkan sastra sunda dengan menulis buku-buku dongeng sunda. Muhammad Musa sendiri terkenal sebagai penulis puisi dan prosa-prosa sunda. pada masa ini banyak tulisan sunda khususnya guguritan dimuat dalam berbagai majalah. Atas peran mereka identitas suku sunda yang hampir punah dapat kembali bangkit.

dokumentasi pribadi 
dokumentasi pribadi 

Selain menjadi media propaganda pihak Belanda guguritan sendiri menjadi media bagi kaum terdidik dalam mengkritik pemerintah. Seperti halnya guguritan yang banyak terbit dalam majalah dan surat kabar sekar roekoen, padjajaran dan siliwangi. Sebagai contoh ada guguritan berjudul "Lagu Garut Genjlong" yang berisi kritikan terhadap Bupati Garut kala itu, R moesa Kartalegawa.

Selanjutnya, memasuki masa pendudukan jepang kegiatan penulisan guguritan masih berlangsung sebagaimana mulanya. Namun mulai terganggu ketika jepang mengeluarkan pelarangan segala pencetakan surat kabar dan majalah dalam bahasa daerah yang salah satunya adalah bahasa sunda. Kebijakan tersebut sangat berpengaruh karena berdampak besar terhadap proses perkembangan sastra budaya sunda.

Bahkan bisa dikatakan bahwa sastra sunda pada masa jepang ini hampir punah lagi. Selain itu karena kondisi perang saat itu membuat harapan hidup para penulis guguritan pun menjadi kecil. 

Ditambah lagi hadir kesalahpahaman dalam memaknai sumpah pemuda. Yang seharusnya menjunjung bahasa indonesia sebagai bahasa persatuan malah menjadi 'mengaku berbahasa satu, bahasa indonesia'. Hal tersebut seolah tidak memberi ruang terhadap bahasa lain yang dalam konteks ini adalah bahasa daerah untuk turut masuk berkembang.

Walau demikian, memasuki masa revolusi sastra sunda mulai menampakkan geliatnya lagi. Narasi-narasi guguritan mulai terbit kembali di berbagai majalah seperti Lingga, Sunda, Kalingga dan Tjandra. 

Namun karena perkembangan bahasa indonesia kala itu juga turut pesat maka para penulis syair dan puisi juga banyak menggunakan bahasa indonesia. Hal tersebut seolah menjadi ciri karena biasanya para penulis wawacan dan guguritan lebih banyak dari generasi sebelum perang sedangkan para penulis sajak bahasa indonesia didominasi generasi pasca-perang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun