Mohon tunggu...
Emilianus Elip
Emilianus Elip Mohon Tunggu... Human Resources - Direktur Yayasan Nawakamal Mitra Semesta (https://nawakamalfoundation.blogspot.com)

Berlatar pendidikan Antropologi. Menulis....supaya tidak gila!!! Web: https://nawakamalfoundation.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Stigma Sosial, Emang Menyakitkan!

3 Maret 2023   16:56 Diperbarui: 3 April 2023   23:19 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alasan para tetangga meminta agar si ODDP untuk dipasung, ternyata bukan hanya karena masalah keamanan kalu dia mengamuk. Memang banyak kasus-kasus amuk semacam ini yang sampai melukai bahkan membunuh tetangga atau saudaranya sendiri. Alasan yang lain adalah supaya tidak menumbuhkan rasa malu yang lebih luas bagi komunitas masyarakat yang anggotanya ada ODDP. Jika si ODDP menggelandang sampai ke dusun atau desa lain, masyarakat desa lain itu akan bertanya "ini anak dari desa mana sih....". Lebih lanjutnya mereka cerewet bertanya "kok nggak diurus sih sama orang tuanya, apa tetangganya pada diam saja, bagaimana sih....". Stigma negatif akhirnya merembet menjadi lebih luas.

Mengapa masyarakat cuek saja, tidak menggubris, atau tidak empati kepada ODDP dan keluarganya? Karena di dalam persepsi benak mereka ODDP adalah anak haram, anak tidak diinginkan orang tuanya, anak yang terlahir dan membawa dosa atau kesalahan sosial dari orang tua atau kakek-neneknya. Lebih dari itu masyarakat juga menganggap mau diapakan anak ini. Bergaul tidak bisa, kadang suka marah-marah, ngomong tidak jelas, bekerja pasti tidak bisa apalagi ikut sekolah, apa bisa punya keluarga, anak dan suami/istri.... Pada kelompok-kelompok masyarakat yang sama sekali belum pernah ada sosialisasi tentang ODDP dan kesehatan mental, menjadi jelas kalau mereka cenderung tidak peduli. Bahkan mereka merasa ikut menanggung beban "persepsi negatif" jika ada anggota masyarakatnya yang ODDP. Itulah sebabnya pula, bahwa institusi-institusi pemerintah dan sosial lainnya, dari tingkat desa sampai mungkin kabupaten, tidak terbiasa, atau tidak tahu, atau tidak ada dalam benak pikiran mereka bagaimana mengembangkan sesuatu untuk para ODDP dan keluarganya.

Jangan kaget, banyak dari ODDP itu yang tidak tercatat di dalam KK (Kartu Keluarga). Maka kemudian si ODDP sulit mendapat KTP. Karena tidak tercatat dalam KK dan tidak ada KTP, bagaimana mungkin mereka mendapatkan akses layanan dan program Pemerintah untuk kaum miskin, seperti BPJD, PKH, Kartus Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, dll. Jelaslah akibat lainnya lagi adalah tidak terpenuhinya hak-hak lain sebagai warga negara.

Sejauh pengamatan saya, mengurus ODDP ini tidaklah mudah bahkan sangat berat bagi sebuah keluarga. Banyak penelitian mengatakan bahwa anggota keluarga yang paling sering merawat ODDP (yang biasanya disebut caregiver), memiliki stressor (tekanan psikologis) yang tinggi menjadi depresi saking ruwet dan lelahnya mengurus. Merawat ODDP bisa dikatakan sebagai kegiatan sepanjang hayat hidup si ODDP. Butuh ketekunan dan kedisiplinan luar biasa, meski dalam bayang-bayang tekanan stigma sosial. Secara spiritual mungkin lebih tepatnya membutuhkan kepasrahan, semangat melayani, dan cinta kasih tanpa batas sepanjang hayatnya. Tidak bisa para ODDP ini kita titipkan di panti rehabilitasi atau rumah sakit jiwa selamanya. Institusi ini memiliki keterbatasan dalam banyak hal. Termasuk keterbatasan waktu rawat inap.

Sementara itu seperti ditulis Garry R. Bond dan Sandra G. Resnick (Psychiatric Rehabilitation, dalam buku Handbook of Rehabilitation Psychology: Maret 2002, American Psychological Association), berdasarkan banyak hasil penelitian terhadap pelayanan rehabilitasi psikologis untuk ODDP, bahwa setelah mendapatkan pelayanan rehabilitasi mendasar di rumah sakit rehabilitasi, para ODDP ini akan lebih efektif proses pemulihannya jika dirawat dikembalikan ke keluarganya atau komunitasnya. Mengapa begitu?! Karena tujuan akhir dari pelayanan rehabilitasi ODDP adalah pemulihan agar si ODDP dapat berperan seperti layaknya orang lain meski hanya sangat terbatas di masyarakatnya. Tujuan yang baik ini, saya ingin mengatakannya tujuan yang mulia, ternyata memiliki implikasi aspek yang amat amat luas dan multidimensi.

Keluarga atau keluarga luas ODDP harus siap, punya pengetahuan dasar mengapa dan apa sebabnya mengalami gangguan jiwa, punya pengetahuan dasar merawat ODDP, harus disiplin memberi atau mengingatkan minum obat, dll. Kader kesehatan desa dan para tetangga harus memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang sama, dan memiliki kepedulian tentang bagaimana mendeteksi gejala gangguan jiwa, mendeteksi gejala kambuh, memberi bantuan/pelayanan dasar bagi ODDP, dll. Pemerintah desa dan institusi sosial lainnya di desa hendaknya memberikan perhatian dan dukungan pendanaan untuk ODDP dan keluarganya. Puskesmas harus memiliki Unit Kesehatan Jiwa, memiliki ketrampilan yang dibutuhkan, dan rutin memantau para ODDP di wilayahnya dan kader-kader desa yang sudah dilatih. Dts...dst...dst...  Itulah yang disebut dukungan sosial (social support). Tanpa dukungan sosial --bisa diterjemahkan sebagai dukungan masyarakat-- konsep pemulihan ODDP adalah mimpi. Melayani, merawat, dan berbagai tujuan lainnya seperti bekerja, berperan sosial, bergaul, advokasi kebijakan yang akomodatif, dll untuk ODDP dimasyarakat adalah sebuah strategi yang disebut community based rehabilitation (CBR) untuk ODDP.

Jika ODDP sudah dirawat di rumah sakit jiwa dan dinyakan boleh pulang, namun keluarga dan masyarakat belum "siap", maka bisa dipastikan sangat besar kemungkinannya untuk "kambuh", dan kembali lagi ke rumah sakit rehabilitasi jiwa. Semakin sering kasus kumat/kambuh terjadi, maka semakin sulit merawat ODDP mencapai pemulihannya. Kasus-kasus kambuh ini amat sering terjadi. Yang dulu di pasung, kemudian dirawat di rumah sakit jiwa, kembali ke keluarganya dan beberapa bulan atau 1 tahun kemudian di pasung kembali. Ini terjadi salah satunya, adalah stigma negatif dari masyarakat yang masih kuat, apalagi jika kurang disiplin mengingatkan ODDP untuk minum obat dan kontrol rutin ke Puskesmas atau rumah sakit rehabilitasi jiwa. Bagaimana kalau ODDP mengamuk lagi? Siapa yang harus mengurusnya untuk dibawa ke rumah sakit rehabilitasi jiwa?

Itulah salah satunya, dukungan sosial dibutuhkan. Jika perlu di tingkat desa dan atau kecamatan dibentuk semacam tim yang peduli terhadap ODDP, dan tim itu disahkan melalui SK Kepala Desa atau SK Camat. Hampir tidak mungkin kita hanya mengandalkan keluarga si ODDP. Tim harus bertindak cepat, datang ke rumah ODDP bersama kader setempat, sebagian menyiapkan transportasi, dll. Tim semacam ini juga harus dilatih, karena tidak mudah menangani ODDP yang sedang mengamuk. Bisa-bisa mengancam diri sendiri. Dan saya sangat paham, tidak mudah memilih orang-orang menjadi tim semacam ini, yang memerlukan dedikasi, pengorbanan, dan tentu saja rasa cinta kasih sesama yang tidak mungkin terukur. Kementerian Kesehatan sudah mengeluarkan keputusan menteri untuk membuat tim semacam itu di daerah-daerah dengan Kepmenkes No. 220/SK/III/2002 tentang Pedoman Umum Tim Pembina, Tim Pengarah, Tim Pelaksana Kesehetan Jiwa Masyarakat (TPKJM). Lebih dari itu Pemerintah juga sudah mengeluarkan UU No. 18 Tahun 2014  Tentang Kesehatan Jiwa dan UU. No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Kita tidak bisa hanya mengandalkan petugas Puskesmas dan rumah sakit jiwa untuk menangani kasus-kasus yang multi aspek dan berdimensi komplek seperti ini. Meskipun memang para institusi pemerintah ini perlu dikembangkan kapasitas pelayanan dan programnya. Di Jawa saja masih kualahan dalam menangani ODDP, apalagi di luar Jawa yang untuk mencapai rumah sakit jiwa (yang biasanya berbasis di provinsi) butuh waktu berjam-jam, lebih sari satu hari, atau bahkan harus menyeberangi pulau. Belum lagi ketersediaan obat psikofarmaka (jenis obat-obatan yang dibutuhkan untuk orang dengan gangguan jiwa). Obat-obatan ini seringkali langka di provinsi --terutama di luar Jawa-- karena tidak ada data pasti jumlah orang dengan gangguan jiwa yang ada di suatu wilayah.

Tetapi apa mau dikata, hampir semua institusi Pemerintah mulai tingkat bawah sampai provinsi, semua institusi sektor swasta, CSR, LSM lokal maupun LSM Internasional di Indonesia, memandang isu kesehatan jiwa dan masalah ODDP ini sebagai isu "pinggiran". Isu tidak seksi, isu remeh-temeh, isu kecil, isu tidak menggelegar, mungkin juga dianggap isu tidak menguntungkan bagi kebesaran nama lembaga/institusinya, dll. Atau, jangan-jangan, masih ada ruang "stigma" di sudut benak otak kita masing-masing. [###]

Catatan: Jika Anda ingin mengetahui lebih banyak tentang ODGJ/ODDP dan program Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat untuk mereka, silahkan kontak nawakamalfoundation@gmail.com  kami akan menerima dengan senang hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun