Stigma Sosial, Emang "Menyakitkan"!
Oleh: Emilianus Elip dan Aspi Kristiati
https://nawakamalfoundation.blogspot.com
Lima orang dengan disabilitas prikologis (ODDP) atau sering disebut ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa) ini baru ditemukan atau dilaporkan oleh Puskesmas pada Januari 2021. Tiga ODDP yang pertama adalah Ratno (26 -- bukan nama sebenarnya), Jumangi (24), dan yang perempuan Rusmiah (22). Mereka tinggal di desa di wilayah Kabupaten Gunungkidul bagian Barat. Sementara dua ODDP berikutnya yaitu Pangkur (27 -- bukan nama sebenarnya) dan Trimo (28), tinggal di desa di wilayah Kabupaten Kulonprogo bagian Utara. Yang menarik adalah, mengapa baru sekarang (di Januari 2021) mereka ini ditemukan atau dilaporkan oleh masyarakat, dan kemudian diketahui oleh Puskesmas, dan akhirnya kabar tersebut sampai ke Tim RS Jiwa Ghrasia-Yogyakarta dan Tim Nawakamal. Padahal jika melihat penampilan fisik dan cara komunikasi para ODDP ini --ketika tim melakukan home visite dan assessment-- mereka sudah mengalami gangguan kejiwaan cukup lama. Mengapa?
Kisah ini secara khusus tidak banyak menyinggung soal medis-psikologis gangguan mental, tetapi ingin menyoroti dari sudut budaya khususnya "stigma sosial negatif" yang di-cap-kan atau dilebelkan oleh masyarakat kepada para ODDP dan keluarganya. Stigma sosial adalah penolakan atau diskriminasi terhadap seseorang berdasarkan karakteristik sosial atau tingkah laku tertentu yang membedakan mereka dari anggota masyarakat lainnya. Hal ini bisa juga disebut labeling (memberi cap tertentu) yang mengaitkan seseorang dengan serangkaian karakteristik yang tidak diinginkan masyarakat. (https://pallipedia.org/social-stigma/). Stigma sosial amat berhubungan dengan budaya masyarakat. Mereka yang ter-stigmatisasi, sadar maupun tidak, akan disingkirkan, dijauhi, diremeh, dll. Salah satu ahli sosial yang memulai mengkaji tentang stigma sosial ini adalah Emile Durkeim, dengan konsep awalnya yang disebut "deviance" (https://socialsci.libretexts.org/).
Pada setiap kelompok budaya masyarakat, memiliki istilah atau penamaan yang berbeda-beda. Di Jawa umumnya para ODDP ini dilabeling dengan istilah orang gila, wong edan, orang sinting, wong ora genep (orang yang pikirannya tidak lengkap), wong ngengngleng (orang yang melamun terus), dll. Itu dari sudut istilah, tetapi jika dilihat dari sudut persepsi kultural, para ODDP ini dipandang sebagai anak haram, anak yang tidak diinginkan, atau orang tuanya dan nenek moyangnya dianggap memiliki dosa-dosa dan kesalahan sosial yang parah. Dari aspek ini saja sudah jelas dampak sosialnya, mereka dianggap orang kelas dua, tidak berguna, bahkan mungkin dianggap tidak memiliki hak sosial apa-apa.
Keluarga yang memiliki anggota keluarga ODDP pasti akan malu, sangat malu secara sosial. Kondisi seperti ini tidak hanya dialami orang desa saja. Para pejabat bahkan bangsawan, yang memiliki anggota keluarga ODDP pun juga merasakan sangat malu. Mereka rata-rata akan menyingkirkan "anak" ini ke tempat atau kota lain dititipkan ke panti rehabilitasi. Atau kalau tidak, akan disekap di dalam rumah dan jangan sampai ketahuan masyarakat umum. Bagi orang desa yang rata-rata hidup pas-pasan atau miskin, dengan rumah yang tidak begitu besar, tetangga yang relatif berdekatan, serta pola kehidupan sosial yang masih erat, tidak bisa tidak pasti akan diketahui khalayak jika memiliki anggota keluarga ODDP. Itulah sebabnya bagi orang desa ini, tekanan stigma sosial negatif terasa menjadi beban sangat berat. Â
Apa dampak selanjutnya bagi keluarga di pedesaan yang memiliki ODDP? Yang mereka pikirkan hanya satu: bagaimana dan dengan cara apapun si anak ODDP ini harus sembuh! Apa artinya sembuh? Sembuh seperti anak atau orang "normal" lainnya! Mereka belum sepenuhnya sadar dan percaya dengan model pengobatan rehabilitasi medis. Atau mungkin belum pernah mendengar bagaimana pegobatan medis untuk ODDP tersebut, karena penyadaran tentang isu kesehatan mental ini juga masih sangat minim dilakukan pemerintah. Maka yang mereka lakukan adalah menjual harta benda dan tanah untuk berburu "dukun" kemanapun yang dipandang mujarab. Semuanya itu dilakukan demi menghilangkan rasa "malu" stigma sosial negatif.
Apakah masih ada dampak lain bagi keluarga? Masih sangat banyak dan berat. Anggota keluarga, bahkan melibatkan keluarga besar, akan saling menyalahkan satu sama lain. Sangat memungkinkan terjadi perpecahan keluarga, perceraian orang tua si anak ODDP, jatuh miskin karena harta benda dan tanah ludes, dll. Belum lagi si ODDP, jika mengidap skizofrenia akut, tidandai dengan ciri gejala mudah marah, berteriak-teriak, atau terus menerus melamun, bahkan menggelandang dan mengganggu keamanan dan ketenteraman tetangga (memang tidak semua bergejala seperti ini). Maka para tetangga pasti akan mendesak orang tua si ODDP agar dia di pasung saja. Kebanyakan orang tua tidak tahan terhadap preasure para tetangga ini, dan kemudian memasung si anak di dalam kamar khusus atau dibuatkan rumah kecil tersendiri dari papan atau bambu dan dikunci dari luar. Tidak ada kamar mandi dan toilet. Kalau masih sering mengamuk tidak jarang si ODDP di rantai kakinya, atau tangan, atau kedua-duanya.
Alasan para tetangga meminta agar si ODDP untuk dipasung, ternyata bukan hanya karena masalah keamanan kalu dia mengamuk. Memang banyak kasus-kasus amuk semacam ini yang sampai melukai bahkan membunuh tetangga atau saudaranya sendiri. Alasan yang lain adalah supaya tidak menumbuhkan rasa malu yang lebih luas bagi komunitas masyarakat yang anggotanya ada ODDP. Jika si ODDP menggelandang sampai ke dusun atau desa lain, masyarakat desa lain itu akan bertanya "ini anak dari desa mana sih....". Lebih lanjutnya mereka cerewet bertanya "kok nggak diurus sih sama orang tuanya, apa tetangganya pada diam saja, bagaimana sih....". Stigma negatif akhirnya merembet menjadi lebih luas.
Mengapa masyarakat cuek saja, tidak menggubris, atau tidak empati kepada ODDP dan keluarganya? Karena di dalam persepsi benak mereka ODDP adalah anak haram, anak tidak diinginkan orang tuanya, anak yang terlahir dan membawa dosa atau kesalahan sosial dari orang tua atau kakek-neneknya. Lebih dari itu masyarakat juga menganggap mau diapakan anak ini. Bergaul tidak bisa, kadang suka marah-marah, ngomong tidak jelas, bekerja pasti tidak bisa apalagi ikut sekolah, apa bisa punya keluarga, anak dan suami/istri.... Pada kelompok-kelompok masyarakat yang sama sekali belum pernah ada sosialisasi tentang ODDP dan kesehatan mental, menjadi jelas kalau mereka cenderung tidak peduli. Bahkan mereka merasa ikut menanggung beban "persepsi negatif" jika ada anggota masyarakatnya yang ODDP. Itulah sebabnya pula, bahwa institusi-institusi pemerintah dan sosial lainnya, dari tingkat desa sampai mungkin kabupaten, tidak terbiasa, atau tidak tahu, atau tidak ada dalam benak pikiran mereka bagaimana mengembangkan sesuatu untuk para ODDP dan keluarganya.
Jangan kaget, banyak dari ODDP itu yang tidak tercatat di dalam KK (Kartu Keluarga). Maka kemudian si ODDP sulit mendapat KTP. Karena tidak tercatat dalam KK dan tidak ada KTP, bagaimana mungkin mereka mendapatkan akses layanan dan program Pemerintah untuk kaum miskin, seperti BPJD, PKH, Kartus Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, dll. Jelaslah akibat lainnya lagi adalah tidak terpenuhinya hak-hak lain sebagai warga negara.
Sejauh pengamatan saya, mengurus ODDP ini tidaklah mudah bahkan sangat berat bagi sebuah keluarga. Banyak penelitian mengatakan bahwa anggota keluarga yang paling sering merawat ODDP (yang biasanya disebut caregiver), memiliki stressor (tekanan psikologis) yang tinggi menjadi depresi saking ruwet dan lelahnya mengurus. Merawat ODDP bisa dikatakan sebagai kegiatan sepanjang hayat hidup si ODDP. Butuh ketekunan dan kedisiplinan luar biasa, meski dalam bayang-bayang tekanan stigma sosial. Secara spiritual mungkin lebih tepatnya membutuhkan kepasrahan, semangat melayani, dan cinta kasih tanpa batas sepanjang hayatnya. Tidak bisa para ODDP ini kita titipkan di panti rehabilitasi atau rumah sakit jiwa selamanya. Institusi ini memiliki keterbatasan dalam banyak hal. Termasuk keterbatasan waktu rawat inap.
Sementara itu seperti ditulis Garry R. Bond dan Sandra G. Resnick (Psychiatric Rehabilitation, dalam buku Handbook of Rehabilitation Psychology: Maret 2002, American Psychological Association), berdasarkan banyak hasil penelitian terhadap pelayanan rehabilitasi psikologis untuk ODDP, bahwa setelah mendapatkan pelayanan rehabilitasi mendasar di rumah sakit rehabilitasi, para ODDP ini akan lebih efektif proses pemulihannya jika dirawat dikembalikan ke keluarganya atau komunitasnya. Mengapa begitu?! Karena tujuan akhir dari pelayanan rehabilitasi ODDP adalah pemulihan agar si ODDP dapat berperan seperti layaknya orang lain meski hanya sangat terbatas di masyarakatnya. Tujuan yang baik ini, saya ingin mengatakannya tujuan yang mulia, ternyata memiliki implikasi aspek yang amat amat luas dan multidimensi.
Keluarga atau keluarga luas ODDP harus siap, punya pengetahuan dasar mengapa dan apa sebabnya mengalami gangguan jiwa, punya pengetahuan dasar merawat ODDP, harus disiplin memberi atau mengingatkan minum obat, dll. Kader kesehatan desa dan para tetangga harus memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang sama, dan memiliki kepedulian tentang bagaimana mendeteksi gejala gangguan jiwa, mendeteksi gejala kambuh, memberi bantuan/pelayanan dasar bagi ODDP, dll. Pemerintah desa dan institusi sosial lainnya di desa hendaknya memberikan perhatian dan dukungan pendanaan untuk ODDP dan keluarganya. Puskesmas harus memiliki Unit Kesehatan Jiwa, memiliki ketrampilan yang dibutuhkan, dan rutin memantau para ODDP di wilayahnya dan kader-kader desa yang sudah dilatih. Dts...dst...dst... Â Itulah yang disebut dukungan sosial (social support). Tanpa dukungan sosial --bisa diterjemahkan sebagai dukungan masyarakat-- konsep pemulihan ODDP adalah mimpi. Melayani, merawat, dan berbagai tujuan lainnya seperti bekerja, berperan sosial, bergaul, advokasi kebijakan yang akomodatif, dll untuk ODDP dimasyarakat adalah sebuah strategi yang disebut community based rehabilitation (CBR) untuk ODDP.
Jika ODDP sudah dirawat di rumah sakit jiwa dan dinyakan boleh pulang, namun keluarga dan masyarakat belum "siap", maka bisa dipastikan sangat besar kemungkinannya untuk "kambuh", dan kembali lagi ke rumah sakit rehabilitasi jiwa. Semakin sering kasus kumat/kambuh terjadi, maka semakin sulit merawat ODDP mencapai pemulihannya. Kasus-kasus kambuh ini amat sering terjadi. Yang dulu di pasung, kemudian dirawat di rumah sakit jiwa, kembali ke keluarganya dan beberapa bulan atau 1 tahun kemudian di pasung kembali. Ini terjadi salah satunya, adalah stigma negatif dari masyarakat yang masih kuat, apalagi jika kurang disiplin mengingatkan ODDP untuk minum obat dan kontrol rutin ke Puskesmas atau rumah sakit rehabilitasi jiwa. Bagaimana kalau ODDP mengamuk lagi? Siapa yang harus mengurusnya untuk dibawa ke rumah sakit rehabilitasi jiwa?
Itulah salah satunya, dukungan sosial dibutuhkan. Jika perlu di tingkat desa dan atau kecamatan dibentuk semacam tim yang peduli terhadap ODDP, dan tim itu disahkan melalui SK Kepala Desa atau SK Camat. Hampir tidak mungkin kita hanya mengandalkan keluarga si ODDP. Tim harus bertindak cepat, datang ke rumah ODDP bersama kader setempat, sebagian menyiapkan transportasi, dll. Tim semacam ini juga harus dilatih, karena tidak mudah menangani ODDP yang sedang mengamuk. Bisa-bisa mengancam diri sendiri. Dan saya sangat paham, tidak mudah memilih orang-orang menjadi tim semacam ini, yang memerlukan dedikasi, pengorbanan, dan tentu saja rasa cinta kasih sesama yang tidak mungkin terukur. Kementerian Kesehatan sudah mengeluarkan keputusan menteri untuk membuat tim semacam itu di daerah-daerah dengan Kepmenkes No. 220/SK/III/2002 tentang Pedoman Umum Tim Pembina, Tim Pengarah, Tim Pelaksana Kesehetan Jiwa Masyarakat (TPKJM). Lebih dari itu Pemerintah juga sudah mengeluarkan UU No. 18 Tahun 2014 Â Tentang Kesehatan Jiwa dan UU. No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Kita tidak bisa hanya mengandalkan petugas Puskesmas dan rumah sakit jiwa untuk menangani kasus-kasus yang multi aspek dan berdimensi komplek seperti ini. Meskipun memang para institusi pemerintah ini perlu dikembangkan kapasitas pelayanan dan programnya. Di Jawa saja masih kualahan dalam menangani ODDP, apalagi di luar Jawa yang untuk mencapai rumah sakit jiwa (yang biasanya berbasis di provinsi) butuh waktu berjam-jam, lebih sari satu hari, atau bahkan harus menyeberangi pulau. Belum lagi ketersediaan obat psikofarmaka (jenis obat-obatan yang dibutuhkan untuk orang dengan gangguan jiwa). Obat-obatan ini seringkali langka di provinsi --terutama di luar Jawa-- karena tidak ada data pasti jumlah orang dengan gangguan jiwa yang ada di suatu wilayah.
Tetapi apa mau dikata, hampir semua institusi Pemerintah mulai tingkat bawah sampai provinsi, semua institusi sektor swasta, CSR, LSM lokal maupun LSM Internasional di Indonesia, memandang isu kesehatan jiwa dan masalah ODDP ini sebagai isu "pinggiran". Isu tidak seksi, isu remeh-temeh, isu kecil, isu tidak menggelegar, mungkin juga dianggap isu tidak menguntungkan bagi kebesaran nama lembaga/institusinya, dll. Atau, jangan-jangan, masih ada ruang "stigma" di sudut benak otak kita masing-masing. [###]
Catatan: Jika Anda ingin mengetahui lebih banyak tentang ODGJ/ODDP dan program Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat untuk mereka, silahkan kontak nawakamalfoundation@gmail.com  kami akan menerima dengan senang hati.
Emilianus Elip: Direktur Yayasan Nawakamal. Berlatar belakang pendidikan Antropologi. Lebih dari 20 tahun bergiat dalam bidang pemberdayaan masyarakat dan penelitian di bidang sosial-budaya.
Aspi Kristiasti: Berlatar belakang pendidikan Master Psikologi Sosial. Lebih dari 20 tahun bekerja di RSJ Ghrasia Prov. DIY, dan malang melintang melayani dan membantu seluruh Puskesmas di seluruh DIY. Sering membantu di Yayasan Nawakamal, dan pengajar di salah satu universitas swasta di Yogya.
https://www.kompasiana.com/emil-e-elip/623819e8cfca511f11370c73/tarmin-ibu-bolehkah-aku-punya-istri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H