Mohon tunggu...
Emilianus Elip
Emilianus Elip Mohon Tunggu... Human Resources - Direktur Yayasan Nawakamal Mitra Semesta (https://nawakamalfoundation.blogspot.com)

Berlatar pendidikan Antropologi. Menulis....supaya tidak gila!!! Web: https://nawakamalfoundation.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kisahku Mengalami Toleransi

16 Februari 2022   20:53 Diperbarui: 16 Februari 2022   20:57 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kisahku Mengalami Toleransi

Oleh: Emilianus Elip

Saya hampir tidak percaya jika dikatakan bahwa bangunan rasa toleransi di Indonesia akhir-akhir ini retak. Apalagi retak parah hampir pecah. Selama lebih dari 15 tahun terakhir saya keluar masuk hampir diseluruh wilayah Indonesia, entah dalam rangka membantu kegiatan lembaga sosial atau kegiatan-kegiatan dari institusi-institusi pemerintah di Pusat. Mulai dari Jayapura, Wamena, seluruh kabupaten di Kupang, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Tengah, Kalimantan Selatan, seluruh Jawa, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Utara, bahkan saya yang Katolik ini pernah menjelajah Aceh selama 3 tahun di pusat-pusat komunitas Muslim paling dalam seperti Lhokseumawe, Pidie, Pidie Jaya, Aceh Besar, Kab. Bener Meriah dan Aceh Tengah, serta Kota Banda Aceh.

Saya ingin katakan, bukan saja karena (mungkin) saya mencoba berpandai-pandai membawakan diri di seluruh masyarakat yang saya pernah hidup tadi, tetapi tentu saja saya percaya "ada sebuah ruang terbuka" di hati para masyarakat itu untuk menerima kehadiran orang lain diluar adat, kebiasaan, dan religiusitas mereka. Saya amat percaya itu!

Saya terkadang terperanjat. Terkejut campur penasaran. Oleh karena ketidaktahuan saya atas adat, kebiasaan setempat sehari-hari, atau aturan-aturan dalam adat religiusitas mereka, kesalahan-kesalahan saya malah justru "ditertawakan", menjadi lelucon bagi mereka. Saya ditertawakan, tetapi kemudian diberitahu jangan begini atau begitu, sebaiknya begini sebaiknya begitu.... Anehnya tidak ada amarah ketika pertama kali saya muncul dalam masyarakat-masyarakat yang saya sebutkan tadi.

Mereka ternyata punya hati "reserve" (ruang terdalam dalam hati mereka) untuk sesungguhnya mampu memaafkan atas orang lain yang tidak tahu. Saya selama bergaul di berbagai komunitas dan institusi pemerintah di Aceh misalnya, kadang tidak melakukan salam seperti kebiasaan saudara Muslim kalau membuka diskusi atau rapat, tetapi saya --maafkan jika tidak sidang pembaca tidak berkenan-- kadang mengutip salam saudara-saudara saya yang Muslim. Dan tokoh agama, tokoh pemerintahan daerah, tokoh adar, serta rekan-rekan saya di Aceh tidak memcibir apalagi marah terhadap saya.

Semua ini karena mereka tahu saya seorang Katolik, non Muslim. Tapi bagi saya jelas bisa saya rasakan, bahwa tidak sampai hati atau tidak terpikir dibenak mereka untuk mengatakan bahwa saya "kafir". Kalau mereka menganggap saya kafir, pasti sejak beberapa bulan pertama saya di Aceh, saya sudah disuruh pergi keluar dari Aceh. Dan saya.... 3 tahun bergerak hampir diseluruh kabupaten di Aceh dalam rangka tugas saya. Yang hendak saya katakan adalah bahwa, meskipun sebagian besar masyarakat Indonesia adalah Muslim, mereka sadar bahwa di lingkungan mereka ada kelompok lain non Muslim. Saudara-saudara kita Muslim dipelosok-pelosok tanah air ini, adalah orang-orang bersahaja dalam meyakini religiusitas mereka dan oleh karena itu "tidak beringas" atas apapun perbedaan yang ada.

 * * *

Ini kisah menarik yang ingin saya bagikan buat Anda... Ketika tiba waktunya hari Jum'at, dimana sahabat-sahabat Muslim harus Sholat di Masjid, saya sering terpaksa beristirahat diwarung karena perjalanan pulang ke kantor saya masih jauh. Saya pikir lebih baik duduk di warung dari pada berkeliaran di jalanan yang pasti amat sepi karena semua orang Sholat di Masjid. Warung itu terletak di sebuah pasar, di Kec. Redelong, Kabupaten Bener Meriah, Aceh. Dan Masjid itu berdiri hanya dibalik pasar. Saya non-muslim dibelantara hutan masyarakat Muslim, Aceh lagi!

Si empunya warung tidak mengusir saya. Justru dia bertanya "Bapak non-Muslim?, bapak duduk di sini saja, tidak apa-apa, justru saya titip warung saya". Kemudian si empunya warung menutup pintu warung dengan korden. Tentu orang lain di luar warung tahu bahwa di dalam masih ada saya, yang sedang jajan. Dan sepertinya semua orang paham bahwa ada seorang non-muslim sedang jajan di warung itu. Saya tidak takut atau resah sedikit pun, seakan-akan saya tahu persis bahwa pasti tidak akan terjadi "hukum rajam" kepada saya. Setelah Sholat Jum'at selesai, warung kembali penuh orang yang jajan sesuai menunaikan ibadah.

Orang-orang yang saya temui tadi di warung sebelum Jum'atan pun datang lagi...mereka senyum-senyum saja kepada saya, bahkan satu dua mulai mengajak saya bicara dari mana, ada keperluan apa, apa kerjanya, sudah lamakah di Aceh, di Aceh tinggal di mana, sudah berkeluarga atau belum.....dll. Semua terjadi begitu saja...mengalir indah...tak satupun bermuka amarah..... Hal seperti ini tidak hanya satu atau dua kali saja, tapi berpuluh-puluh kali hampir disemua kota kabupaten di Aceh yang pernah saya kunjungi...

Setelah saya pulang ke Jawa, semua kenangan di Aceh kira-kira lebih 10 tahun silam masih sangat membekas di hati saya. Bekas kenangan kehidupan yang harmonis, indah, penuh rasa saling pengertian (toleran), tidak khawatir, dll.

Contoh lain kehidupan toleransi itu bisa juga di lihat dalam pelaksanaan upacara arak-arakan Samanasanta di Larantuka Flores. Upara ini adalah upacara tradisi Katolik di wilayah ini yang sudah berlangsung ratusan tahun. Upacara itu adalah upacara prosesi patung Bunda Maria ini, beserta rangkaian upacara lainnya, biasanya berlangsung selama 1 minggu. Upacara ini dikunjungi tidak saja umat Katolik dari sekitar NTT, tetapi hampir seluruh Indonesia, dan manca negara.

Uniknya... ketika upacara itu dilaksanakan, saudara-saudara Muslim ikut berpartisipasi (bahkan dalam bentuk panitia besar yang tidak main-main) untuk menjaga keamanan, menjaga lintasan prosesi upacara, dan kelancaran jalannya prosesi itu, bahkan rumah-rumah mereka dibuka untuk para tamu yang akan ziarah karena hotel-hotel yang jumlahnya sedikit di Larantuka itu pasti...pasti sudah penuh di-booking sebulan atau dua bulan sebelumnya. Kalau begitu maka partisipasi toleransi itu pasti sudah berjalan sangat sangat lama....

Kalau Anda sempat bermain ke Pulau Alor beberapa hari dan Anda berdiri menghadap ke laut di Kota Kalabahi (ibu kota Alor), maka jika Anda melakukan perjalanan  sampai ke ujung-ujung pulau di jalur disebelah kanan akan Anda temui (katakanlah 90%) komunitas-komunitas Muslim lengkap dengan Masjid, pesantren, sekolah muslim, pasar, Mushola, banyak perempuan berhijab, lelaki berpeci dan berkain sarung, dll. Tetapi jika Anda melakukan perjalanan kemanapun ke arah sebelah kiri Anda sampai ke pelosok-pelosok gunung, akan Anda temui (katakanlah 90%) komunitas Kristen dan Katolik lengkap dengan gereja yang berderet-deret lengkap dengan sekolah-sekolahnya.

Perbedaan lokasi dan karakteristik itu begitu jelas dapat dilihat dengan mata. Tetapi uniknya, menurut masyarakar di sana, hampir tidak ada tawuran atau pertempuran antar komunitas-komunitas itu. Peselisihan kecil-kecil tentu saja ada, tapi tidak ada kata saling serang, adu parang, bakar rumah, dll. Jika kita amati lebih dalam maka para pedagang akan didominasi oleh saudara Muslim, entah Muslim pendatang maupun orang Alor Muslim. Sementara saudara-saudara kristen dan katolik mendominasi di jajaran pemerintahan atau para petani dari gunung-gunung di Alor. Segala perbedaan ini sangat mencolok, tetapi tidak menjadi persoalan. Begitulah...seakan akan satu kelompok memahami kekuatan kehidupan kelompok lain dan saling menghormati. Kabarnya, kalau Bupatinya seorang Kristen maka wakil Bupati pasti saudara kita Muslim. Ahhh....indah sekali. Bukan konsumsi mata...tetapi konsumsi mata hati.

* * *

Saya terkadang menjadi amat muaakkk...kalau ada Pilkada Bupati, Gubernur, Walikota, apalai pilihan Presiden, kehidupan toleransi bangsa ini lalu menjadi tampak kacau retak, seperti barang dagangan, amat mudah diual-belikan....seakan-akan bangsa kita bangsa "rendahan", bangsa tempe (kata Soekarno), sebagian kelompok menjadi teramat sangat bodoh mudah termakan isu!!!. Pada sisi lain saya juga menjadi amat sangat khawatir. Tetapi saya percaya bahwa itu terjadi karena agama diseret-seret ditunggangi menjadi alat politik, alat ambisi pribadi, dll. Saya tetap percaya bahwa agama dan bekehidupan agama yang tepat, tidak akan pernah beringas, apalagi saling bunuh, agama itu menenteramkan umatnya masing-masing.

Agama yang diseret-seret menjadi alat politik, apalagi tampak sebagai chaos, perang, disintegrasi, dan intoleransi...mestinya harus dihentikan secara tegas oleh negara. Jangan lupa!!! Kelompok yang memanfaatkan dogma-dogma agama itu hanya sebagian kecil, kecil sekali, dari seluruhnya masyarakat di Indonesia. Negara menjadi sangat tidak adil kalau mau memberikan previlese-previlese tertentu kepada kelompok kecil itu. Mengapa harus didengar koar-koarnya orang mereka hanyalah kelompok sangat kecil, dan tidak bisa dikatakan mewakili (representasi) bangsa Indonesia.

Dalam sejarah manusia perang antar masyarakat kelompok agama, adalah peristiwa yang paling menyakitkan dan memilukan, peristiwa yang tidak pernah selesai sampai kini. Perang yang saya maksud, bukan saja perang antara agama A dan agama B, tetapi bisa juga perang antar kelompok sekter/aliran di dalam satu jenis agama. Saya ingin percaya seratus persen bahwa semua agama adalah baik adanya. Tetapi saya kadang tergoda jatuh dalam keraguan, jika menilik sejarah bahwa konflik antar agama atau keyakinan tertentu sama tuanya dengan umur manusia, dan tak pernah surut hingga kini.

Sebuah artikel berjudul The Dark Side of Religion 1880-1947 oleh Morris (Raphael) Cohen, mengulas sisi kelabu agama sebagaimana saya kutib di atas. Kata Morris bahwa sejarah religiusitas manusia sebelum datangnya agama resmi yang kita kenal saat ini, bahkan sampai awal-awal terbentuknya agama resmi ini dan pola ekspansinya, ditandai dengan human sacrify (pengorbanan manusia). Tidak sampai disitu saja wajah tanda --katakanlah-- kejamnya agama. Pencarian pengikut, umat, atau perluasan teritorial pengaruh agama,  dari setiap bentuk kepercayaan dan agama itu ditandai dengan ancaman, pemaksaan, bahkan pertempuran, saling bunuh, genocide, pembakaran kota, rumah-rumah, dll.

Beberapa bagian dari The Dark Side of Religion ini, hendak mengatakan bahwa agama sendiri di dalam dirinya tidak mampu menolak atau meniadakan "kekerasan/kekejaman". Saya sendiri jika ditanya, tidak percaya dengan pikiran Cohen. Cohen nampaknya memang sengaja mengungkap atau menelaah sisik buruk dari sejarah persebaran dan ekspansi agama, agama manapun. Dia tidak mau, atau mungkin sengaja dihindari, mengkaji sisi positif setelah suatu agama menetap (settle) di suatu tempat. Bagaimana adaptasinya dengan budaya lokal, pengetahuan lokal, keharmonisan sosial yang mempu tercipta, saling berdagang, bahkan kawim-mawin, dll.


* * *

Kalau kita merefleksikan ulang, dengan demikian toleransi yang terjadi di di wilayah-wilayah Indonesia antar kelompok masyarakat agama, sebagaimana saya ceritakan di atas, terus bagaimana posisinya? Bukankah itu terjadi juga karena kreasi manusia beragama di Indonesia. Toleransi tersebut dengan sengaja diciptakan dan dijaga oleh kelompok masing-masing agama, agar hidup menjadi lebih nyaman, indah, menyenangkan. Bukankah begitu? Mencari rejeki menjadi dimudahkan, mau pergi kesana kemari merasa tenang, jika kelompok tertentu tidak mampu memproduksi sesuatu maka bisa beli atau barter dengan kelompok lain yang lebih ahli membuat barang tersebut, dsb. Hebatnya bahkan di beberapa daerah, toleransi antar umat beragama itu dijaga bersama dari ancaman pihak lain manapun yang ingin merusak. Ini semua kenyataan yang amat berbeda sebagaimana dikhawatirkan Cohen dalam bukunya itu.

Tetapi, kita semua harus sadar bahwa kondisi toleransi itu teramat mudah rusak jika ada ancaman yang terus menerus...terus menerus...berulang ulang...berulang ulang tanpa henti...mengganggu kondisi kesepakatan toleransi yang sudah tercipta. Kita harus realistis bahwa kehidupan beragama di masyarakat kita Indonesia belum sampai taraf "urusan pribadi/individu", sebagian besar masih bersifat "urusan sosial bersama-sama". 

Itulah sebabnya hal-hal yang kontra produktif terhadap toletansi, yang terussss menerusss didengungkan dan digerakkan perlu segera dihentikan dengan paksa. Untuk apa kita memberi kesempatan kepada sekelompok kecil saja dengan resiko mengorbankan kelompok besar masyarakat Indonesia yang telah menciptakan kondisi toleransi beratus tahun lamanya!!! Terlalu mahal harganya....

 

Toleransi itu indah bukan?!

 

Diambil dari kumpulan essay lama 2017-2020

https://nawakamalfoundation.blogspot.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun