Mohon tunggu...
Emilianus Elip
Emilianus Elip Mohon Tunggu... Human Resources - Direktur Yayasan Nawakamal Mitra Semesta (https://nawakamalfoundation.blogspot.com)

Berlatar pendidikan Antropologi. Menulis....supaya tidak gila!!! Web: https://nawakamalfoundation.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kisahku Mengalami Toleransi

16 Februari 2022   20:53 Diperbarui: 16 Februari 2022   20:57 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah saya pulang ke Jawa, semua kenangan di Aceh kira-kira lebih 10 tahun silam masih sangat membekas di hati saya. Bekas kenangan kehidupan yang harmonis, indah, penuh rasa saling pengertian (toleran), tidak khawatir, dll.

Contoh lain kehidupan toleransi itu bisa juga di lihat dalam pelaksanaan upacara arak-arakan Samanasanta di Larantuka Flores. Upara ini adalah upacara tradisi Katolik di wilayah ini yang sudah berlangsung ratusan tahun. Upacara itu adalah upacara prosesi patung Bunda Maria ini, beserta rangkaian upacara lainnya, biasanya berlangsung selama 1 minggu. Upacara ini dikunjungi tidak saja umat Katolik dari sekitar NTT, tetapi hampir seluruh Indonesia, dan manca negara.

Uniknya... ketika upacara itu dilaksanakan, saudara-saudara Muslim ikut berpartisipasi (bahkan dalam bentuk panitia besar yang tidak main-main) untuk menjaga keamanan, menjaga lintasan prosesi upacara, dan kelancaran jalannya prosesi itu, bahkan rumah-rumah mereka dibuka untuk para tamu yang akan ziarah karena hotel-hotel yang jumlahnya sedikit di Larantuka itu pasti...pasti sudah penuh di-booking sebulan atau dua bulan sebelumnya. Kalau begitu maka partisipasi toleransi itu pasti sudah berjalan sangat sangat lama....

Kalau Anda sempat bermain ke Pulau Alor beberapa hari dan Anda berdiri menghadap ke laut di Kota Kalabahi (ibu kota Alor), maka jika Anda melakukan perjalanan  sampai ke ujung-ujung pulau di jalur disebelah kanan akan Anda temui (katakanlah 90%) komunitas-komunitas Muslim lengkap dengan Masjid, pesantren, sekolah muslim, pasar, Mushola, banyak perempuan berhijab, lelaki berpeci dan berkain sarung, dll. Tetapi jika Anda melakukan perjalanan kemanapun ke arah sebelah kiri Anda sampai ke pelosok-pelosok gunung, akan Anda temui (katakanlah 90%) komunitas Kristen dan Katolik lengkap dengan gereja yang berderet-deret lengkap dengan sekolah-sekolahnya.

Perbedaan lokasi dan karakteristik itu begitu jelas dapat dilihat dengan mata. Tetapi uniknya, menurut masyarakar di sana, hampir tidak ada tawuran atau pertempuran antar komunitas-komunitas itu. Peselisihan kecil-kecil tentu saja ada, tapi tidak ada kata saling serang, adu parang, bakar rumah, dll. Jika kita amati lebih dalam maka para pedagang akan didominasi oleh saudara Muslim, entah Muslim pendatang maupun orang Alor Muslim. Sementara saudara-saudara kristen dan katolik mendominasi di jajaran pemerintahan atau para petani dari gunung-gunung di Alor. Segala perbedaan ini sangat mencolok, tetapi tidak menjadi persoalan. Begitulah...seakan akan satu kelompok memahami kekuatan kehidupan kelompok lain dan saling menghormati. Kabarnya, kalau Bupatinya seorang Kristen maka wakil Bupati pasti saudara kita Muslim. Ahhh....indah sekali. Bukan konsumsi mata...tetapi konsumsi mata hati.

* * *

Saya terkadang menjadi amat muaakkk...kalau ada Pilkada Bupati, Gubernur, Walikota, apalai pilihan Presiden, kehidupan toleransi bangsa ini lalu menjadi tampak kacau retak, seperti barang dagangan, amat mudah diual-belikan....seakan-akan bangsa kita bangsa "rendahan", bangsa tempe (kata Soekarno), sebagian kelompok menjadi teramat sangat bodoh mudah termakan isu!!!. Pada sisi lain saya juga menjadi amat sangat khawatir. Tetapi saya percaya bahwa itu terjadi karena agama diseret-seret ditunggangi menjadi alat politik, alat ambisi pribadi, dll. Saya tetap percaya bahwa agama dan bekehidupan agama yang tepat, tidak akan pernah beringas, apalagi saling bunuh, agama itu menenteramkan umatnya masing-masing.

Agama yang diseret-seret menjadi alat politik, apalagi tampak sebagai chaos, perang, disintegrasi, dan intoleransi...mestinya harus dihentikan secara tegas oleh negara. Jangan lupa!!! Kelompok yang memanfaatkan dogma-dogma agama itu hanya sebagian kecil, kecil sekali, dari seluruhnya masyarakat di Indonesia. Negara menjadi sangat tidak adil kalau mau memberikan previlese-previlese tertentu kepada kelompok kecil itu. Mengapa harus didengar koar-koarnya orang mereka hanyalah kelompok sangat kecil, dan tidak bisa dikatakan mewakili (representasi) bangsa Indonesia.

Dalam sejarah manusia perang antar masyarakat kelompok agama, adalah peristiwa yang paling menyakitkan dan memilukan, peristiwa yang tidak pernah selesai sampai kini. Perang yang saya maksud, bukan saja perang antara agama A dan agama B, tetapi bisa juga perang antar kelompok sekter/aliran di dalam satu jenis agama. Saya ingin percaya seratus persen bahwa semua agama adalah baik adanya. Tetapi saya kadang tergoda jatuh dalam keraguan, jika menilik sejarah bahwa konflik antar agama atau keyakinan tertentu sama tuanya dengan umur manusia, dan tak pernah surut hingga kini.

Sebuah artikel berjudul The Dark Side of Religion 1880-1947 oleh Morris (Raphael) Cohen, mengulas sisi kelabu agama sebagaimana saya kutib di atas. Kata Morris bahwa sejarah religiusitas manusia sebelum datangnya agama resmi yang kita kenal saat ini, bahkan sampai awal-awal terbentuknya agama resmi ini dan pola ekspansinya, ditandai dengan human sacrify (pengorbanan manusia). Tidak sampai disitu saja wajah tanda --katakanlah-- kejamnya agama. Pencarian pengikut, umat, atau perluasan teritorial pengaruh agama,  dari setiap bentuk kepercayaan dan agama itu ditandai dengan ancaman, pemaksaan, bahkan pertempuran, saling bunuh, genocide, pembakaran kota, rumah-rumah, dll.

Beberapa bagian dari The Dark Side of Religion ini, hendak mengatakan bahwa agama sendiri di dalam dirinya tidak mampu menolak atau meniadakan "kekerasan/kekejaman". Saya sendiri jika ditanya, tidak percaya dengan pikiran Cohen. Cohen nampaknya memang sengaja mengungkap atau menelaah sisik buruk dari sejarah persebaran dan ekspansi agama, agama manapun. Dia tidak mau, atau mungkin sengaja dihindari, mengkaji sisi positif setelah suatu agama menetap (settle) di suatu tempat. Bagaimana adaptasinya dengan budaya lokal, pengetahuan lokal, keharmonisan sosial yang mempu tercipta, saling berdagang, bahkan kawim-mawin, dll.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun