Mohon tunggu...
Emilianus Elip
Emilianus Elip Mohon Tunggu... Human Resources - Direktur Yayasan Nawakamal Mitra Semesta (https://nawakamalfoundation.blogspot.com)

Berlatar pendidikan Antropologi. Menulis....supaya tidak gila!!! Web: https://nawakamalfoundation.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

“Ipin-Upin”: Ruarrrrr … Biasa!!

29 Juli 2010   10:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:29 500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

"IPIN-UPIN": RUARRRRR ... BIASA!!

Oleh: Emil E. Elip

Meski sudah tua begini saya suka sekali nonton tayangan televisi serial kartun anak "Ipin-Upin", yang ditayangkan oleh TPI hampir setiap malam sekitar pukul 19:00. Semula hanya anak-anak saya yang nonton tayangan itu, namun lama kelamaan saya pun tertarik nonton secara rutin karena memang jalinan cerita "lucu-menarik". Saya kira anak-anak Indonesia juga akan tertarik menonton serial ini, kecuali cannel tv-nya rebutan serta dikuasai sama anak-anak dewasa dan orangtuanya.

Setelah Si Unyil eranya Pak Raden menghilang, saya kira tidak ada lagi tayangan serial televisi untuk anak-anak dalam jenis "animasi" dengan media kartun atau boneka yang bercerita mengenai dan untuk dunia kanak-kanak. Ada sih serial anak-anak namun content ceritanya dipaksakan memainkan content cerita orang dewasa. Atau ada pula tayangan-tayangan yang content ceritanya untuk konsumsi anak dewasa dan orang tua, namun obyek utama jalinan ceritanya memanfaatkan anak-anak. Misalnya saja dendam rebutan anak, cerita anak haram yang mencari orang tuanya, atau pasangan orang tua yang menolak kehadiran atau kelahiran anaknya karena si anak cacat, dll.

Saya kira tidak mudah memang membuat cerita, buku, drama, film, atau serial cerita kartun tentang "dunia anak-anak" dalam isi dan alur cerita yang khas anak-anak. Mungkin memang sulit....tetapi jika demikian berarti pernah berusaha dibuat. Masalahnya adalah jika produksi mengenai cerita dan edukasi tentang anak ini sengaja dihindari karena takut tidak laku, tidak banyak memberikan keuntungan... Kalau benar yang kedua ini yang terjadi di insan-insan produksi penyiaran televisi, maka sudah diambang "rusak" dunia anak kita...

Edukasi Agama "Ipin-Upin"

Mengajarkan pengertia dasar-dasar berperilaku berdasarkan asas dogma agama ternyata tidak harus "berkotbah", berceramah monolog. Mengajarkan hal tersebut ternyata juga tidak langsung mengutip ayat lalu disampaikan langsung, namun bisa dibalut memlalui kejadian cerita tertentu baru nilai dogma agama itu dihadirkan belakangan. Cerita Ipin-Upin menghadirkan edukasi mengenai agama.

Keluarga saya adalah keluarga Kristen, namun anak-anak saya, saya sendiri, dan istri sangat menikmati serial Ipin-Upin dalam bulan Ramadhan. Diceritakan bahwa kalau anak-anak boleh puasa setengah hari, tetapi juga harus menahan nafsu keinginan untuk lebih banyak makan atau jajan. Ipin-Upin lantas sering lapar kalau malam hari, dan termaksa mengambil makanan di lemari makan. Padahal makanan ini mau disiapkan bibik dan oma mereka untuk saur. Nah...ketika saur dan bibik serta oma mereka mendapati beberapa makanan yang mau digoreng kembali sebagian hilang...mereka tidak marah. Makan saur tetap berlanjut, dan Ipin-Upin hadir di meja makan dengan wajah sangat mengantuk dan tidak antusias karena masih kenyang.

Mulailah dialog terjadi saat saur di meja makan....bibik dan oma mereka tidak langsung menduduk "pencuri". Tetapi mereka memakai analogi mengapa harus mengambil makan secara sembunyi-sembunyi. Diceritakan anak-anak memang saatnya makan untuk pertumbuhan Tidak boleh dibiarkan perut kosong bagi anak-anak. Jadi mengapa harus diam-diam...akhirnya Ipin-Upin mengaku. Tetap saja bibik dan oma mereka tidak marah, namun menyarankan untuk berterung-terang, jujur, bahkan akan disiapkan karena anak-anak tidak boleh lapar. Baru selanjutnya bibik dan oma mereka mengajarkan kaitan antara Ramadhan dan puasa, menahan hawa nafsu dan kejujuran...dengan cara bukan cerita dogmatis namun memakai analogi yang khas temperamen, psikologi, dan ranah dunia pemikiran kanak-kanak.

Terus terang kami yang keluarga Kristen, pun menikmati cerita itu. Menikmati nilai kejujuran dan keterusterangan. Anak-anak saya bisa menangkap nilai-nilai itu, sebuah nilai yang universal dimanapun-siapapun kita. Sementara di sisi lain, kamipun bertambah pemahaman kami mengenai dunia bulan puasa dan masa Ramadhan, apa maknanya bagi sahabat-sahabat para Muslim. Itu tentu menambah wawasan anak-anak yang bagaimana sebaiknya bertingkah laku nantinya dihadapan teman-temannya yang Muslim saat bulan Ramadhan. Cerita Ipin-Upin mengenai serial Ramadhan itu pun, tidak ada menyinggung apapun harapan mereka terhadap umat agama lain pada saat bulan Ramadhan. Namun cerita yang dibalut indah dalam konteks estetika yang kuat itu, justru menghadirkan nilai-nilai keihklasan kita untuk dengan sendiri juga "tidak menuruti hawa nafsu" saat bulan Ramadhan, yang dalam intepretasi lain sering disebut turut menghormati masa Ramadhan.

Edukasi Multikulturalisme "Ipin-Upin"

Serial kartun cerita anak Ipin-Upin dibuat oleh produser (rumah produksi) Malaisia, sebuah negara yang mirip dengan Indonesia, berbasis budaya Melayu dengan diwarnai oleh berbagai suku bangsa baik Melayu, India, Cina, dan keturunan Eropa. Dari karakter wajah dan logat bicaranya, kita sudah bisa menduga anak-anak tersebut anak dari keturunan mana Cinakah, Indiakah, Melayukah, dll.

Untuk memberi pendidikan tentang harmonisasi pergaulan antar etnis di dunia anak ini, serial Ipin-Upin tidak mengambil alur cerita dengan memunculkan konflik diantara mereka berkaitan dengan etnis yang kemudian dibelakang diselesaikan dengan saling menyadari satu sama lain, dan berkesimpulan bahwa kita perlu perdamaian. Mengapa begitu? Mungkin karena pemikirannya adalah dunia kanak-kanak adalah "kanvas putih". Pada dasarnya anak-anak tidak mengenal konflik etnis, atau konflik yang mempermasalahkan berbedaan wajah dan warna kulit, bahkan yang mungkin mempermasalahkan status ekonomi. Orang dewasalah yang bermasalah terkait dengan sentimen etnis ini, dan kemudian hendak mereproduksinya secara turun temurun termasuk kepada anaknya dalam bentuk sentimen etnis. Jadi adalah keliru secara ideologis menghadirkan ide konflik sentimen etnis dalam cerita anak-anak, meski di akhir cerita diselesaikan dengan saling damai.

Dibeberapa seri diceritakan bagaimana anak-anak ini saling kerja sama baik di sekolah, waktu bermain, atau bersama keluarga mereka. Bagaimana mereka saling berkunjung ke keluarga-keluarga lainnya. Konflik yang ada tetap konflik dunia "kekanak-kanakan", misalnya saja saling bersaing membuat pesawat dari kertas dan siapa yang paling bagus terbangnya. Diceritakan pula bahwa suatu saat Ipin-Upin ingin bermain dan kemudian nyamperin ke rumah anak lain. Si anak masih sibuk membantu membersihkan rumah orang tuanya. Ipin-Upin ikut membantu agar cepat selesai dan di anak segera diperbolehkan ikut bermain.

Tanpa perlu dogmatis tekstual cerita, Ipin-Upin mampu menghadirkan edukasi mengenai multikulturalisme. Karakter wajah dan logat bahasa yang ada di dalam sudah menunjukkan "multikulture", dan tanpa dibenturkan menjadi konflik (karena konflik memang dunia ontologi anak-anak) pun kita sudah bisa mencerna betapa sejuknya multikultur yang harmanis.

Edukasi Lingkungan dan Sosialitas Kampung

Satu ciri khas kuat, yang sering disangkah para pembuat cerita film, adalah bahwa Ipin-Upin konsisten menghadirkan konteks cerita mengenai "kampung". Setting cerita Ipin-Upin adalah di pedesaan Malaisia yang disebut kampung, lengkap dengan bentuk rumah-rumah panggung, ada lapangan, persawahan, hutan, perkebunan, ada warung kapung, ada hewan sapi dan macam-macam. Produser Ipin-Upin tidak mau terjebak dengan mitos, bahwa hanya setting metropolis yang bisa membawa cerita itu menarik dan laku dijual.

Menurut saya hanya para seniman cerita serial film yang bodoh dengan ilmu cinematografi yang belum suntuk, yang berpendapat bahwa setting metropolis itu menjamin cerita akan menarik pemirsa. Bahkan saya yakin kalaupun orang-orang ini membuat cerita dengan setting metropolis pun, kadar edukasinya akan tetap kering. Mereka hal baru dan sensasi itulah pengetahuan. Aduh...ini cara pikir yang amat mengenaskan. Dari para cenimatrografer yang semacam ini mengapa sebabnya transformasi kebudayaan kita, didunia film dan serial film, tidak berkembang dan justru mematikan kekayaan intelektual budaya. Bayangkan saja apa yang sedang dibangun secara ideologis bagi generasi muda bangsa ini, jika semua stasiun tv membeli dan menayangkan produksi-produksi para cenimatografer kelas ini berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun, satu dasawarsa, bahkan mungkin lebih.

Dan Ipin-Upin menawarkan sesuatu yang lain, yang sederhana. Dia mengajarkan betapa asrinya kampung. Meski asri tapi bisa rusak jika anak-anak tidak suka menanami kebunnya atau membiarkannya kosong. Dan masih banyak ide lain terkait dengan promosi sosialitas dan menjaga lingkungan kampung (desa).

Apapun alasannya, saya harus tetap mengatakan "sayang": sayang karena Ipin-Upin itu bukan dibuat oleh orang Indonesia. Tetapi dibuat oleh rumah produksi di Malaisia sana dan dibeli orang Indonesia untuk orang Indonesia. Bukannya saya mau sentimen temperamen etnis terhadap Malaisia, namun mau mengatakan Malaisia itu mirip dengan Indoneisa, berbasis Melayu, fasilitas yang ada katakanlah sama dengan yang kita punya, kekayaan tradisi dan cerita sama dengan kita punya .... tetapi sayang (mungkin) kekuatan memegang visi edukasi dan pengabdian untuk anak-anak, moral kita masih dibelakang.... [e.e]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun