"IPIN-UPIN": RUARRRRR ... BIASA!!
Oleh: Emil E. Elip
Meski sudah tua begini saya suka sekali nonton tayangan televisi serial kartun anak "Ipin-Upin", yang ditayangkan oleh TPI hampir setiap malam sekitar pukul 19:00. Semula hanya anak-anak saya yang nonton tayangan itu, namun lama kelamaan saya pun tertarik nonton secara rutin karena memang jalinan cerita "lucu-menarik". Saya kira anak-anak Indonesia juga akan tertarik menonton serial ini, kecuali cannel tv-nya rebutan serta dikuasai sama anak-anak dewasa dan orangtuanya.
Setelah Si Unyil eranya Pak Raden menghilang, saya kira tidak ada lagi tayangan serial televisi untuk anak-anak dalam jenis "animasi" dengan media kartun atau boneka yang bercerita mengenai dan untuk dunia kanak-kanak. Ada sih serial anak-anak namun content ceritanya dipaksakan memainkan content cerita orang dewasa. Atau ada pula tayangan-tayangan yang content ceritanya untuk konsumsi anak dewasa dan orang tua, namun obyek utama jalinan ceritanya memanfaatkan anak-anak. Misalnya saja dendam rebutan anak, cerita anak haram yang mencari orang tuanya, atau pasangan orang tua yang menolak kehadiran atau kelahiran anaknya karena si anak cacat, dll.
Saya kira tidak mudah memang membuat cerita, buku, drama, film, atau serial cerita kartun tentang "dunia anak-anak" dalam isi dan alur cerita yang khas anak-anak. Mungkin memang sulit....tetapi jika demikian berarti pernah berusaha dibuat. Masalahnya adalah jika produksi mengenai cerita dan edukasi tentang anak ini sengaja dihindari karena takut tidak laku, tidak banyak memberikan keuntungan... Kalau benar yang kedua ini yang terjadi di insan-insan produksi penyiaran televisi, maka sudah diambang "rusak" dunia anak kita...
Edukasi Agama "Ipin-Upin"
Mengajarkan pengertia dasar-dasar berperilaku berdasarkan asas dogma agama ternyata tidak harus "berkotbah", berceramah monolog. Mengajarkan hal tersebut ternyata juga tidak langsung mengutip ayat lalu disampaikan langsung, namun bisa dibalut memlalui kejadian cerita tertentu baru nilai dogma agama itu dihadirkan belakangan. Cerita Ipin-Upin menghadirkan edukasi mengenai agama.
Keluarga saya adalah keluarga Kristen, namun anak-anak saya, saya sendiri, dan istri sangat menikmati serial Ipin-Upin dalam bulan Ramadhan. Diceritakan bahwa kalau anak-anak boleh puasa setengah hari, tetapi juga harus menahan nafsu keinginan untuk lebih banyak makan atau jajan. Ipin-Upin lantas sering lapar kalau malam hari, dan termaksa mengambil makanan di lemari makan. Padahal makanan ini mau disiapkan bibik dan oma mereka untuk saur. Nah...ketika saur dan bibik serta oma mereka mendapati beberapa makanan yang mau digoreng kembali sebagian hilang...mereka tidak marah. Makan saur tetap berlanjut, dan Ipin-Upin hadir di meja makan dengan wajah sangat mengantuk dan tidak antusias karena masih kenyang.
Mulailah dialog terjadi saat saur di meja makan....bibik dan oma mereka tidak langsung menduduk "pencuri". Tetapi mereka memakai analogi mengapa harus mengambil makan secara sembunyi-sembunyi. Diceritakan anak-anak memang saatnya makan untuk pertumbuhan Tidak boleh dibiarkan perut kosong bagi anak-anak. Jadi mengapa harus diam-diam...akhirnya Ipin-Upin mengaku. Tetap saja bibik dan oma mereka tidak marah, namun menyarankan untuk berterung-terang, jujur, bahkan akan disiapkan karena anak-anak tidak boleh lapar. Baru selanjutnya bibik dan oma mereka mengajarkan kaitan antara Ramadhan dan puasa, menahan hawa nafsu dan kejujuran...dengan cara bukan cerita dogmatis namun memakai analogi yang khas temperamen, psikologi, dan ranah dunia pemikiran kanak-kanak.
Terus terang kami yang keluarga Kristen, pun menikmati cerita itu. Menikmati nilai kejujuran dan keterusterangan. Anak-anak saya bisa menangkap nilai-nilai itu, sebuah nilai yang universal dimanapun-siapapun kita. Sementara di sisi lain, kamipun bertambah pemahaman kami mengenai dunia bulan puasa dan masa Ramadhan, apa maknanya bagi sahabat-sahabat para Muslim. Itu tentu menambah wawasan anak-anak yang bagaimana sebaiknya bertingkah laku nantinya dihadapan teman-temannya yang Muslim saat bulan Ramadhan. Cerita Ipin-Upin mengenai serial Ramadhan itu pun, tidak ada menyinggung apapun harapan mereka terhadap umat agama lain pada saat bulan Ramadhan. Namun cerita yang dibalut indah dalam konteks estetika yang kuat itu, justru menghadirkan nilai-nilai keihklasan kita untuk dengan sendiri juga "tidak menuruti hawa nafsu" saat bulan Ramadhan, yang dalam intepretasi lain sering disebut turut menghormati masa Ramadhan.
Edukasi Multikulturalisme "Ipin-Upin"