Mohon tunggu...
Mh. Djuniar Margani
Mh. Djuniar Margani Mohon Tunggu... -

Lelaki yang bernama lengkap Muhammad Djuniar Margani dan biasa disapa Bang Djun ini adalah seorang data analyst juga evaluator, di samping sebagai motivator pada berbagai event pemberdayaan guru yang dilakukan oleh LP3SEP (Lembaga Pengkajian, Pengembangan, dan Pelatihan Sistem Evaluasi Pendidikan). Di samping itu, ia juga seorang ghostwriter dan konsultan independen untuk riset S1, S2, dan S3. Dari istrinya, R.A. Juli Winarno, Bang Djun dikaruniai empat orang amanah ilahiyat (Inal, Nisa, Dienel dan Ucha), dua orang cucu (Keisha dan Khansa), dan menantu (Wulan).

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Modernisasi Sistem Pendidikan Islam

23 Februari 2010   14:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:46 1314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menilik judul di atas pada tahun 2010 ini sepertinya kita harus berpikir ulang dan mengajukan sebuah pertanyaan sederhana, "gerangan apa yang terjadi dengan sistem pendidikan Islam?" Apalagi dikaitkan dengan modernisasi. Sungguh menjadi pem-bicaraan yang mungkin ‘basi' bila mempertimbangkan arus global pemikiran yang sudah lama meninggalkan idiom-idiom kemoderenan, bahkan pada era reformasi sekarang ini sekali pun, pembicaraan mengenai postmodernisme atau yang sejenisnya menjadi tidak relevan lagi. Benarkah demikian adanya?

Namun demi memuaskan dahaga intelektual para pemikir muda, diskusi pendek ini dengan tema di atas akhirnya disajikan. Untuk menghindari metabasis pembahasan dan perdebatan yang mungkin timbul, perlu disepakati term-term berikut.

Berangkat dari judul di atas, maka kajian ini lebih menukik pada persoalan sistem, yang seharusnya lebih dekat pada substansi daripada aksesoris-aksesoris yang tidak jarang menyesatkan cara pandang, dalam konteks pendidikan Islam. Apapun aksesoris yang melekat pada lembaga yang dapat disebut sebagai lembaga penyelenggara pendidikan Islam harus ditanggalkan. Hal itu antara lain mencakup; seragam, nama, mekanisme pelayanan (boarding school, full-day school), dan sebagainya.

Modernisme versus Tradisionalisme

Judul di atas memberi kesan seolah selama ini sistem pendidikan Islam tidak berjalan dalam atau di atas rel kemoderenan. Dengan kata lain, masih berada dalam jalur tradisional, demikian para pemikir biasa menyandingkan secara diametral antara modern dengan tradisional.

Cara pandang diametral tersebut telah lama ditinggalkan dalam batas-batas tertentu. Namun penulis masih sepakat dengan pemaknaan tradisi sebagai amar ma'ruf. Dalam konteks inilah seharusnya menjadi titik berangkat pembahasan kita. Dalam hal ini tradisionalisme sebagai sebuah cara berpikir dan bertindak tidak dilihat dalam dirinya sendiri, melainkan dideterminasi oleh faktor-faktor eksternalnya seperti konstelasi politik, dan ekonomi. Begitu pula halnya dengan modernisme sebagai sebuah cara berpikir dan bertindak, lengkap dengan kelebihan dan kekurangnya masing-masing.

Dengan menempatkan ‘tradisi' sebagai amar ma'ruf mungkin kita akan selamat dari jebakan culture shock yang menjadi residu dari kemoderenan yang cenderung hedonis. Lihatlah anak-anak muda dan remaja kita yang gagap memaknai kemoderenan lewat gaya hidup "triple f" yaitu; food, fun, dan freedom (dalam segala hal).

Culture-shock pun kini ikut meramaikan penyelenggaraan pendidikan Islam di sini. Sehingga fun and cool-nya komunitas sekolah Al-Azhar misalnya tak dapat dijadikan parameter sampel bagi kemoderenan pendidikan Islam. Demikian halnya dengan boarding dan full-day school sebagaimana dikemukakan sebelum ini.

Contoh-contoh yang mengerubungi kita, dan terus saja mencekoki pikiran kita dengan ‘iklan-iklan' serba islami kadangkala membuat kita lelah, dan akhirnya berujar, "o, memang seperti itulah seharusnya pendidikan islam yang modern!" Kalau Anda termasuk orang yang lelah itu, sebaiknya cepat-cepat ‘bangun' dan buka mata lebar-lebar. Jangan terkecoh dengan atribut dan aksesoris. Carilah substansinya!

Kemoderenan ‘dan' Ketradisionalan

Dalam kerangka nilai-menurut penulis-kemoderenan dapat saja direpresentasikan sebagai sesuatu yang ‘baru', dan ketradisional sebagai sesuatu yang ‘lama', namun bukan sesuatu yang ‘usang'. Pergulatan antara keduanya yang sangat dialektis justru akan memberi ‘ruh' baru bagi dinamika berislam kita, sebab Islam bukanlah sesuatu yang ‘selesai'. Islam adalah sebuah dynamic movement.

Dalam meningkahi isu modernisasi pada pembenahan sistem pendidikan Islam, langkah paling bijak adalah menengok ke ‘dalam' khazanah intelektual dan historis pembelajaran yang dilakukan oleh komunitas muslim berabad-abad, dan secara signifikan berkontribusi bagi peradaban dunia. Artinya, mengejar kemoderenan semata adalah bentuk ‘rendah diri' yang berkepanjangan. Sedangkan bertahan dengan ketradisionalan sama artinya menyerahkan hidup pasrah kepada waktu dan siap menjadi fosil. Begitu saja!***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun