Telah satu pekan umat islam menunaikan ibadah shaum. Seputar shaum ini sangatlah penting untuk diketahui aspek privat dan (dampak) publiknya. Agar dirasa lengkap dan termotivasi dalam menunaikan ibadah ini, di kesempatan yang lain insyaallah saya akan menuliskan aspek kesehatan dari ibadah shaum ini, dan yang terpokok bahwa tujuan pertama pembebanan shaum ini kepada muslim adalah takwa.
Takwa melekat pada (dampak) sosial sekaligus sebenarnya adalah peribadatan. Sebagaimana qishas dan berwasiat, shaum (arti sempitnya adalah puasa) pun diwajibkan dan dikaitkan dengan ketakwaan. Ketakwaan yang tidak membedakan ketiganya, tidak memisahkan di antaranya. Tidak dibenarkan menilai ini penting sedangkan yang lain tidak penting. Ini bermanfaat, sedangkan yang lain tidak. Tapi, hikmahnya Allah lebih mengetahui.
Ketiganya menjadi pembebanan yang diharap untuk dimiliki pada masyarakat muslim yang sedang tumbuh di Madinah, yaitu periode dakwah setelah hijrah, demikian Sayyid Quthb menerangkan.
Agar hemat dan fokus selanjutnya lebih kepada pembahasan tentang shaum. Dalam Fi Zilalil Qur’an disebutkan bahwa puasa diwajibkan pada tahun 2 Hijriah.
Seruan puasa ditujukan kepada orang yang beriman, karena identitas (iman) memiliki konsekuensi bahwa yang bersangkutan akan mau menerima segala sesuatu yang datang dari allah, demikian Sayyid Qutbh menerangkan. Ia melanjutkan, Allah memanggil mereka untuk memberitahukan bahwa Allah telah mewajibkan shaum (arti sempitnya adalah puasa).
Maka panggilan ini untuk memotivasi di antara muslim wal muslimat dengan keimanannya. Tidak heran, meski memanggil dengan Ya Ayyuhalladzi na-Aamanu ini shaum dibebankan kepada seluruh umat muslim.
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (yaitu) beberapa hari yang tertentu (bulan Ramadhan)” (QS. al-Baqarah [2]:183-184)
Pembebanan puasa dimulai dengan panggilan yang penuh kecintaan kepada orang-orang mukmin, yang mengingatkan kepada mereka akan hakikat yang pokok. Kemudian ditetapkan kepada mereka bahwa puasa itu merupakan kewajiban sejak dahulu bagi orang-orang yang beriman kepada Allah. Dan, bahwa tujuannya yang pertama adalah memperiapkan hati mereka untuk bertakwa, menjadi lebih sensitif, dan takut kepada Allah.
Takwa, takwalah yang menaga hati sehingga tidak merusak puasanya dengan maksiat, walaupun cuma berupa getaran hati untuk berbuat maksiat.
Kemudian ditetapkan bahwa kewajiban puasa itu hanya dalam beberapa hari tertentu, bukan kewajiban sumur hidup dan tugas sepanjang masa.
Di samping itu diharapkan untuk tidak menunaikannya bagi orang-orang yang sakit kecuali mereka sehat, bagi para musafir kecuali mereka tiba kembali di rumahnya. Ini sebagai suatu penegasan untuk memberi kemudahan sebagaimana Allah berfirman,
“ … maka siapa sakit atau dalam perjalanan maka (wajib mengganti sebanyak hari yang ditinggalkan) pada hari-hari yang lain dan wajib atas orang-orang yang berat menjalankan puasa (membayar) fidyah (yaitu memberi) makan orang miskin ,maka siapa yang sukarela mengerjakan kebaikan (melebihi fidyah) maka itu lebih baik baginya dan bahwa kamu berpuasa (itu) lebih baik (daripada tidak berpuasa) bagi kamu jika kamu mengetahui.” (Al-Baqarah [2]:184)
Mujahid radiyallhu’anhu mengatakan, bahwa ayat ini (Al-Baqarah [2]:184) diturunkan pada Qais bin as-Sa’ib yang sudah sangat tua tetapi memaksa tetap berpuasa. Lalu, Qais tidak berpuasa dengan konsekuensi memberi makan satu orang miskin setiap hari (ia tidak berpuasa). (HR. Ibnu Sa’ad,)
Beratnya berpuasa ini sebagaimana dialami orang terdahulu, tapi mengagumkan, di balik beratnya berpuasa Allah memberikan hikmah yaitu dekat kepada Allah dan terkabulnya do’a.
“dan jika bertanya kepadamu (Muhammad) hamba-hambaKu tentang aku maka sungguh Aku sangat dekat (dengan mereka), Aku menjawab do’a orang yang meminta apabila ia meminta kepada-Ku, maka hendaklah mereka menjawab (seruan)Ku dan hendaklah mereka beriman kepadaKu agar mereka mendapatkan petunjuk (kebaikan agama dan dunia)” (Al-Baqarah [2]:186)
Peristiwa apa yang beraitan dengan turunnya ayat ini (QS. al-Baqarah [2]:186)? Simaklah keterangan berikut.
Áli radiyallahu’anhu mengatakan, bahwa Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda, “Janganlah kalian berhenti berdo’a, karena sesungguhnya Allah telah berfirman kepadaku, Berdo’alah kamu kepadaKu, niscaya Aku akan menjawab (mengabulkan) kamu”. Seorang sahabat lalu bertanya kepada Rasulullah Shollallahu’alaihiwasallam, Wahai Rasululllah, Apakah Tuhan kita mendengar do’a kita? Bagaimana caranya?” Lalu Allah menurunkan ayat ini. (HR. binu ‘Asakir) “dan jika bertanya kepadamu (Muhammad) hamba-hambaKu tentang Aku maka sungguh Aku sangat dekat (dengan mereka), Aku menjawab do’a orang yang meminta apabila ia meminta kepada-Ku, maka hendaklah mereka menjawab (seruan)Ku dan hendaklah mereka beriman kepadaKu agar mereka mendapatkan petunjuk (kebaikan agama dan dunia) ” [rujuklah tafsir Ibnu Katsir]
Sayyid Quthb melanjutkan, do’a akan dikabulkan pada waktunya nanti sesuai ketentuan-Nya yang bijaksana. Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda,
“Akan dikabulkan do’a seseorang dari kamu asalkan dia tidak tergesa-gesa, yaitu mengatakan aku sudah berdo’a, tapi tidak juga dikabulkan (HR Bukhari dan Muslim).
“Ada tiga orang yang tidak akan ditolak do’anya, yaitu pemimpin (penguasa) yang adil, orang yang berpuasa sehinga dia berbuka, dan orang yang dianiaya. Do’a mereka itu diangkat Allah di bawah awan pada hari kiamat dan dibukakan untuknya pintu-pintu langit, dan allah berfirman, Demi keagunganKu, Aku akan menolongmu walaupun sesudah suatu waktu (HR. Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah)
“Sesungghnya Allah ta’ala malu kalau hamba-Nya menengadahkan kedua tangannya kepada-Nya untuk meminta suatu kebaikan, lalu Dia meolaknya dengan hampa” (HR. Abu Dawud, tirmidzi, dan Ibnu Majah)
“Tidak ada seorang muslim pun di muka bumi yang memanjatkan suatu do’a kepada Allah, melainkan Allah akan mengabulkannya atau menghindarkan suatu keburukan yang sepadan dengan itu darinya, asalkan dia tidak berdo’a dengan suatu dosa atau memutuskan hubungan kekeluargaan” (HR Tirmidzi dan Ahmad).
Keutamaan puasa sebagaimana disebutkan dalam hadits, bahwa Rasulullah Shollallhu’alaihiwasallam bersabda
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan disertai keimanan dan harapan kepada Allah, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang terdahulu. Dan barangsiapa menghidupkan malam lailatul qadar (dengan ibadah) disertai keimanan dan harapan kepada Allah, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu (HR. Bukhari).
Kita dapat mengambil hikmah dari puasa, di antaranya sebagaimana ditulis Dr. Jamal Elzaky:
Pertama. Puasa merupakan media untuk mensyukuri nikmat, karena dengan berpuasa kita menahan nafsu untuk makan dan minum, berhubungan badan, yang semuanya merupakan nikmat yangplaing besar dan paling diinginkan manusia. Nikmat-nikmat itu sering dilupakan. Manusia baru mengingat nikmat itu ketika kehilangan atau tak lagi merasakan nikmat-nikmat itu. Jadi, puasa mengajarkan manusia untuk mensyukuri nikmat tersebut.
Kedua, puasa mengantar kaum muslimin menuju takwa. Jika nafsu dapat dikendalikan sehingga manusia dapat menahan diri dari sesuatu yang halal karena mengharap ridho Allah dan takut akan siksa-Nya yang pedih, maka insyaallah manusia akan terbiasa untuk menahan diri dari segala yang haram.
Ketiga, puasa engendalikan syahwat. Karena lapar mencegah diri dari syahwat.
Keempat, puasa akan melahirkan rasa cinta, kasih sayang dan kelembutan kepada orang miskin atau kurang mampu. Sebab orang yang berpuasa merasakan bagaimana kondisi mereka yang sering lapar.
Kelima, puasa memiliki kekuatan untuk mengusir setan, karena media untuk menyesatkan dan mencelakan manusia adalah syahwatnya.
Khalid Ahmad Abu Syadi pernah mengatakan bahwa puasa melatih seseorang untuk ‘menundukkan’ pandangannya (terkendalinya syahwat melihat yang haram).
Seolah puasa ini sebagai limpahan spiritual dari Allah. Ibnu ‘Atha’illah pernah berkata tentang limpahan spiritual, “Allah subhanahuwata’ala memberikan limpahan spiritual kepda engkau agar Dia bisa menyelamatkan engkau dari cengkeraman orang lain dan membebaskan engkau dari perbudakan materi.” Pada titik ini pun kelihatan dampak publik dari shaum.
Ya, puasa pun membebaskan seseorang dari perbudakan oleh materi seperti makan dan minum yang tidak terkendali. Perbudakan materi akan menghalangi seseorang untuk mengetahui rahasia-rahasia ilahi, demikian disampaikan Pakih Sati Lc.
Salam Shaum Sahabat Kompasiana :)
Reference:
Tafsir Ibnu Katsir (Ibnu Katsir)
Fi Zilalil Qur’an (Sayyid Quthb)
Buku Induk Mukjizat Kesehatan Ibadah (Dr. Jamal Elzaky)
Syarah al-Hikam Ibnu ‘Atha’illah (D.A. Pakih Sati, Lc)
Targhib wa Tarhib: Anjuran dan Peringatan (Khalid Ahmad Abu Syadi)
Tafsir Qur’an Per Kata (Dr. Ahmad Hatta)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H