Mohon tunggu...
Mahendra
Mahendra Mohon Tunggu... Administrasi - Sejarah mengadili hukum dan ekonomi, sebab sejarah adalah takdir, di satu sisi. *blog: https://mahendros.wordpress.com/ *Twitter: @mahenunja *FB: Mahendra Ibn Muhammad Adam

Sejarah mengadili hukum dan ekonomi, sebab sejarah adalah takdir, di satu sisi. *blog: https://mahendros.wordpress.com/ *Twitter: @mahenunja *FB: Mahendra Ibn Muhammad Adam

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Puasa: Aspek Privat dan (Dampak) Publiknya

25 Juni 2015   07:47 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:13 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“ … maka siapa sakit atau dalam perjalanan maka (wajib mengganti sebanyak hari yang ditinggalkan) pada hari-hari yang lain dan wajib  atas orang-orang yang berat menjalankan puasa (membayar) fidyah (yaitu memberi) makan orang miskin ,maka siapa yang sukarela mengerjakan kebaikan (melebihi fidyah) maka itu lebih baik baginya dan bahwa kamu berpuasa (itu) lebih baik (daripada tidak berpuasa) bagi kamu jika kamu mengetahui.” (Al-Baqarah [2]:184)

Mujahid radiyallhu’anhu mengatakan, bahwa ayat ini (Al-Baqarah [2]:184) diturunkan pada Qais bin as-Sa’ib yang sudah sangat tua tetapi memaksa tetap berpuasa. Lalu, Qais tidak berpuasa dengan konsekuensi memberi makan satu orang miskin setiap hari (ia tidak berpuasa). (HR. Ibnu Sa’ad,)

Beratnya berpuasa ini sebagaimana dialami orang terdahulu, tapi mengagumkan, di balik beratnya berpuasa Allah memberikan hikmah yaitu dekat kepada Allah dan terkabulnya do’a.

“dan jika bertanya kepadamu (Muhammad) hamba-hambaKu tentang aku maka sungguh Aku sangat dekat (dengan mereka), Aku menjawab do’a orang yang meminta apabila  ia meminta kepada-Ku, maka hendaklah mereka menjawab (seruan)Ku dan hendaklah mereka beriman kepadaKu agar mereka mendapatkan petunjuk (kebaikan agama dan dunia)”  (Al-Baqarah [2]:186)

Peristiwa apa yang beraitan dengan turunnya ayat ini  (QS. al-Baqarah [2]:186)? Simaklah keterangan berikut.

Áli radiyallahu’anhu mengatakan, bahwa Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda, “Janganlah kalian berhenti berdo’a, karena sesungguhnya Allah telah berfirman kepadaku, Berdo’alah kamu kepadaKu, niscaya Aku akan menjawab (mengabulkan) kamu”. Seorang sahabat lalu bertanya kepada Rasulullah Shollallahu’alaihiwasallam, Wahai Rasululllah, Apakah Tuhan kita mendengar do’a kita? Bagaimana caranya?” Lalu Allah menurunkan ayat ini. (HR. binu ‘Asakir)  “dan jika bertanya kepadamu (Muhammad) hamba-hambaKu tentang Aku maka sungguh Aku sangat dekat (dengan mereka), Aku menjawab do’a orang yang meminta apabila  ia meminta kepada-Ku, maka hendaklah mereka menjawab (seruan)Ku dan hendaklah mereka beriman kepadaKu agar mereka mendapatkan petunjuk (kebaikan agama dan dunia) ”  [rujuklah tafsir Ibnu Katsir]

Sayyid Quthb melanjutkan, do’a  akan dikabulkan pada waktunya nanti sesuai ketentuan-Nya yang bijaksana. Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda,

“Akan dikabulkan do’a seseorang dari kamu asalkan dia tidak tergesa-gesa, yaitu mengatakan aku sudah berdo’a, tapi tidak juga dikabulkan (HR Bukhari dan Muslim).

“Ada tiga orang yang tidak akan ditolak do’anya, yaitu pemimpin (penguasa) yang adil, orang yang berpuasa sehinga dia berbuka, dan orang yang dianiaya. Do’a mereka itu diangkat Allah di bawah awan pada hari kiamat dan dibukakan untuknya pintu-pintu langit, dan allah berfirman, Demi keagunganKu, Aku akan menolongmu walaupun sesudah suatu waktu (HR. Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah)

“Sesungghnya Allah ta’ala  malu kalau hamba-Nya menengadahkan kedua tangannya kepada-Nya untuk meminta suatu kebaikan, lalu Dia meolaknya dengan hampa” (HR. Abu Dawud, tirmidzi, dan Ibnu Majah)

“Tidak ada seorang muslim pun di muka bumi yang memanjatkan suatu do’a kepada Allah, melainkan Allah akan mengabulkannya atau menghindarkan suatu keburukan yang sepadan dengan itu darinya, asalkan dia tidak berdo’a dengan suatu dosa atau memutuskan hubungan kekeluargaan” (HR Tirmidzi dan Ahmad).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun