Klontang!
Kaleng bekas minuman itu ditendangnya dengan sekuat tenaga.
"Kehidupan macam apa, ini? Bede bah! Selalu saja orang miskin dipandang sebelah mata. Apakah kalau kaya berarti punya hak untuk semena-mena!" Sehabis menendang apapun yang ada di depannya, Â pemuda itu lantas mengumpat-umpat sekena hati.
Namanya Bardi, Pemuda kampung yang kini tengah frustasi sebab ditolak lamarannya oleh orang tua kekasihnya. Perkataan mereka yang menyebut Bardi orang kere, gelandangan, dan tak punya masa depan, jelas sangat menyakiti hatinya. Ia sudah begitu lelah selalu dihina orang-orang selama ini.
"Awas saja kalau aku jadi orang kaya nanti, orang-orang yang menyepelekan akan aku balas. Kalau perlu, mulut mereka yang suka menghina itu aku beli." Bardi semakin meracau tak karuan.
Lalu kembali ia melanjutkan menyepak apapun yang ia jumpai di sepanjang jalan.
Sakit hati itu masih sangat terasa di dadanya. Seakan menancap begitu kuat dan mencabik-cabik jiwanya sehingga berantakan. Bagaimanapun, ia punya harga diri sebagai manusia.
Begitulah keadaan Bardi saat ini. Pulang dari rumah kekasihnya, di sepanjang jalan ia mengumpat-umpat tidak jelas. Setiap berpapasan dengan orang-orang, ia pelototi seakan-akan ingin menantang berkelahi.
"Sabar saja, Bardi," ucap Kang Sarjo, salah seorang tetangganya, ketika melihat Bardi bersikap seperti orang gila di jalanan.
"Sabar? Sabar itu tahi kucing, Kang!" jawabnya sinis.
"Barangkali kamu miskin, itu yang terbaik buat kamu, meski kamu tidak suka," hibur Kang Sarjo.