Mohon tunggu...
M Riadus Sholiqin
M Riadus Sholiqin Mohon Tunggu... Lainnya - Nitizen budiman

Tumbuh dan besar di desa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menziarahi Gandhi

23 Desember 2021   15:03 Diperbarui: 23 Desember 2021   15:13 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Buku ini rasanya termasuk menjadi buku yang telat saya baca. Mestinya 20an tahun lalu. Di saat usia masih lebih muda. Usia yang lagi butuh pengetahuan tentang menu dan asupan gizi kejiwaan yang mendalam. Ibarat perjalanan, usia 20 tahun lalu itu adalah awal atau permulaan kaki mengayunkan langkah dan harus kemana muka dihadapkan.


Sosok ini sudah lama saya dengar. Barangkali sejak saya SD dalam pelajaran sejarah. Namun demikian, sebagaimana tokoh lain, tokoh ini juga biasa saja dibenak saya hingga beberapa waktu. Hingga kemudian saya tahu, sosok ini menjadi salah satu sosok yang dikagumi Gus Dur. Karena itulah, sejak saat itu, saya sudah lama ingin mengenal sosok ini lebih jauh.

Buku ini mengisahkan bagaimana sosok besar ini mengatasi segala keterbatasannya. Ia sebut kemudian dengan istilah eksperimen-eksperimen. Tidak saja keterbasan secara materi tapi juga mental.

Ia pemalu. Serba bimbang dan gamang atas apa yang ia hadapi saat itu. Mungkin semua itu disebabkan oleh perasaan minder. Namun semua itu, sebagaimana pengakuannya sendiri, tertolong oleh keinginan dan hasrat kuatnya atas kebenaran. Kemudian mengantarkannya seperti yang dikenal hari ini.

Karena saking pemalunya, ia pernah tidak hanya sekali tapi beberapa kali gagal mengucapkan kata saat ia sudah di podium untuk berbicara di hadapan banyak orang. Meski sudah dipersiapkan berupa teks pidato yang mestinya tinggal dibacanya saja. Naas, mulutnya seperti disumpal dan gagal mengeluarkan suara.

Hingga pada satu kesempatan, atas keterbatasannya itu, ia menyiapkan teks pidato lagi.  Dengan menuliskan pada pembukaanya berupa kisah yang dianggapnya lucu. Dengan begitu ia berharap bisa memulai pidatonya dengan mudah.

Kisah itu tentang tokoh inggris dalam satu kesempatan berpidato. Juga di hadapan banyak orang, tentu saja, sang tokoh mengalami kemacetan pidatonya. Dalam pidato itu, sang tokoh terganjal pada kata "terkandung" hingga diulangi tiga kali. Tidak lama, salah satu peserta, seorang badut, menyela dan berkata: "orang ini sudah "mengandung" tiga kali tapi tak sekalipun ia lekas melahirkan." Tentu saja sergahan itu disambut tawa riuh hampir semua hadirin.

Usia 18 tahun ia bersekolah di Inggris. Menempuh sekolah ilmu hukum di University College, London. Saat itu tahun 1888. Meninggalkan anak istri. Ya, ia telah menikah di usia yang terlalu dini. Di usia 13 tahun. Begitulah tradisi masyarakatnya saat itu. Untuk pergi ke Inggris bukan hal yang mudah baginya, tentu saja. Ia bukan termasuk orang yang istimewa secara sumberdaya maupun sosial. Inggris yang ia akan tuju dibayangkan sebagai tempat yang segala dilarang oleh kepercayaan komunitasnya, dilakukan di sana.

Untuk itu, agar mendapat restu keluarga terutama ibunya, ia harus bersumpah tidak akan melakukan apa pun yang dilarang oleh kepercayaan keluarga dan masyarakatnya. Ia tidak boleh makan daging, minum minuman keras dan perilaku melanggar lainnya. Tentu saja ia butuh perjuangan keras untuk menepati janjinya itu. Lebih2 soal makan daging. Tapi dengan usaha yang barangkali tidak mudah, dia sepertinya mampu melaluinya dengan gemilang. Setidaknya itu yang saya dapati pada apa yang ia jelaskan dalam lembar buku yang belum tuntas saya baca ini.

Buku ini memang telat saya baca. Tapi karena telat itulah barangkali yang menjadikan sensasinya begitu menggema saat membacanya. Bagaimana tidak. Buku ini bercerita tentang kehidupan di tahun 1880-an. Ditulisnya pada 1926. Diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia 1970-an. Dan saya baca pada 2021 ini. Ia meninggal dunia pada 1948 pada usia 78 tahun.

Membacanya seperti menyeret imaji yang kompleks. Tentang masa lalu, karena konteksnya memang tentang masa yang telah lalu. Tentang saat ini, karena berisi tentang kedirian manusia yang bersifat universal dan absolut itu.

Memanglah tidak ada gading yang tak retak, sebagaimana tidak ada manusia sempurna. Tapi setidaknya, ketidak sempurnaan tokoh besar sepertinya tetap saja banyak pelajaran yang bisa dipetik.

Jadi, soal keterbatasan, bisa saja setiap orang mengidapnya. Tidak terkecuali tokoh besar kita ini. Hanya saja ia mampu melaluinya. Mestinya kita juga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun