Tol Cikampek dan Tol Cipali yang baru, menjengkelkan.
Inilah pengalaman melintas sebagian dari tol Cipali, menjelang H-4 Hari Raya Lebaran 1 Syawal 1436H. Melintas tanpa rencana maupun kesengajaan khusus untuk melintasinya. Terasa terpaksa, bahkan pulang pergi melewatinya, karena keteledoran dan suasana terbawa emosi saat mengendara, oleh beberapa kejadian yang menimpa sebelumnya. Akibatnya, secara tak sengaja mengetest dan mencoba seperempat bagian atau sepotong dari Tol Cipali, sekaligus dengan greget dan kedongkolan saat melewatinya. Inilah ceriteranya.
Minggu, tanggal 12 Juli 2015, entah kenapa pada hari itu secara berturut turut, terjadi hal yang sungguh tak menyenangkan sama sekali. Pertama tama, malam sebelumnya, di hari minggu malam, terjadi keteledoran yang tak seharusnya terjadi, bila saja cukup teliti mau membaca surat undangan perkawinan yang dikirim lewat SMS. Undangan perkawinan putra rekanan sejawat seangkatan dari jurusan yang berbeda. Entah karena malas, membaca undangan lewat SMS dengan monitor yang kecil, yang walaupun bisa diperbesar, namun perlu kosentrasi dan waktu untuk membacanya.
Akibat, dari kemalasan dan mengandalkan memori yang juga sudah mengalami degenerasi, jelas berakibat fatal. Apa yang kuingat, hanyalah hari undangan, yaitu hari Minggu, saat, dan lokasi perkawinan, detail tanggal tak diingat. Padahal asal saja mau menggunakan komon sens aja, pasti ga bakal terjadi kelinglungan tersebut. Yaitu ga mungkin ada acara perkawinan selain bukan lingkungan muslim, maka ketika sampai di lokasi undangan, walah kok sepi dan kosong melompong, kukira salah alamat.
Setelah di cek isi SMS undangan tersebut, astaganaga, ternyata memang salah tanggal....malunya itu lho. Untung ga ada yang tahu dan melihat muka melas ini! Padahal, demi undangan tersebut, perlu menyempatkan diri ke Jakarta dari Bandung sehari sebelumnya.
Pelajaran pertama, jangan percaya dan mengandalkan ingatan, selalu lakukan cek dan recek.
Selanjutnya, Senin sore, tanggal 13 Juli 2015, di jalan sempit yang hanya cukup untuk dua mobil berhimpitan saat ditikungan tajam patah, dengan para ibu ibu dan kaum lelakinya duduk bercengkerama tepat disudut ujung kanan tikungan, mereka tak mau menyingkir atau bergeming dari posisi nyamannya. Dari arah depan muncul motor bergoncengan dan mempersempit sudut kanan depan tikungan. Untuk menambah sensasi, tepat di ujung sudut kiri tikungan diparkir pula sebuah mobil baru gress. Eh ladalah, si motor, tak mau mengganggu ibu ibu rumpi tadi, justru menyusup ke ruang kosong sebelah kiri antara mobil parkir disudut kiri tersebut, dan mobilku. Alhasil, sudut manuver kanan dibatasi oleh kelompok rumpi tepat disudut kanan tikungan, sedangkan sebelah kiri disumbat oleh keberadaan motor sialan tadi.
Akibatnya, pertama kali, menggerus motor, oleh karena keburu timbul emosi dan jengkel karena ulah simotor disisi kiri, semakin tak terlalu memperhatikan dan mengontrol jarak sisi kiri mobil, hingga selanjutnya berakibat menggerus mobil parkir tersebut pula, yang menyumbat sisi kiri. Sang motor kabur dengan meninggalkan baret di mobil, dan selanjutnya mobilku membuat baret tambahan akibat menggerus pula mobil yang sedang parkir tadi. Apa boleh buat, berani berbuat berani bertanggung jawab, sesudah salaman dengan empunya mobil selanjutnya, perjalananpun dilanjutkan ke Bandung. telpon dan lapor ke Bandung, saya menyerempet mobil dan mengganti kerusakannya.
Pelajaran kedua, dalam siituasi yang memecah perhatian (Ujung kanan ibu ibu dan bapak bapak rumpi, kiri motor menyusup ruang kosong anatara portal dan mobil disudut kiri tikungan dan mobil parkir tepat disisi kiri tikungan, dengan ujung kanan 5 meter didepannya terparkir motor lagi), jangan lengah dan selalu fokus serta tetap pada posisi pengemudi defensif jangan agresif.
Tol Cilampek
Perjalanan menuju Bandungpun kembali dilanjutkan. Karena sudah H-4 hari Lebaran, situasi jalan tol Cikampek cukup ramai dan padat, terutama kendaraan berat dan truk memenuhi jalanan sepanjang arah ke Bandung dan lain lainnya. Sambil mengendarai mobil, masih menyimpan emosi dan ingatan, betapa egoisnya ibu ibu dan bapak bapak yang tak mau beringsut sedikitpun dari zona kenyamanannya, ditambah pengemudi motor pendek akal justru memanfaatkan ruang sempit menutup ruang manuver disebelah kiri, dan penambah faktor tingkat kesulitan, kok ada parkir mobil yang parkir menutup sudut sempit dikiri tikungan, bodohnya pula, kok kulewat jalan itu. Itulah ingatan yang mengaduk aduk di alam pikiran sepanjang jalan menuju Bandung.
Akibatnya, jelas dampak beruntun dan bertubi tubi. Perlu diketahui, bahwa belokan ke Bandung Tol Cikampek adalah di kilometer 66, dan petunjuk kilometer tersebut, kadang terhalang oleh kendaraan jalur cepat. Petunjuk kedua biasanya 1 kilometer dan 500 meter menjelang tikungan sim salabim tersebut. Kenapa sim salabim tersebut, sebab memang selalu tersembunyi oleh desain irit dan hemat tikungan jalan, yang ditambah juga komplikasinya oleh iringan kendaraan besar berat yang mengambil jalur kiri untuk selalu tetap berada dijalur tersebut.
Tetap lurus ke arah Purwakarta dan tol Cipali. Jika kita di jalur tengah, dan bermaksud memotong jalur kendaraan besar dapat dibayangkan tingkat risiko keamanannya, karena akan memotong iringan kendaran besar tanpa lokasi stop atau berhenti di tikungan, siap mengambil risiko memotong jakur laju kendaraan besar. Kalaupun kita, berada dijalur lambat, dengan membuntuti belakang kendaraan besar, jelas kita bakal kehilangan pandangan ke kiri atau ke kanan utk melihat titik kilometer yang ada dikanan jalur cepat. Sedangkan belokan pendek kekiri terhalang oleh bis dan truk, sungguh sebuah desain enginering jalur lalu lintas karya anak bangsa kita yang cemerlang bagi keselamatan pengendara.
[caption caption="Cipali"]
Kalau zaman dulu, kala zaman sepi sigh, 10 kilometer juga ga ada kendaraan, sehingga bisa dilihat dari jauh belokannya. Tetapi kalau dibelakang dan terhalang truk, tak ada atau diberi jalur khusus masuk jalur belokan memasuki kelokan ke Bandung, yang dikhususkan agar tak dilewati oleh truk dan bus jalur Cikkampek, Purwakarta, Cipali (misalnya seperti saat memasuki gerbang tol Cikunir/lingkar luar). Edan emang.!. Siapa sigh yang merancang belokan ini, tanpa tanda mencolok bahwa kita akan menikung, memotong jalur lambat lintas Tol. Gak punya danakah, sehingga tak dibuatkan jalur khusus bagi yang akan berbelok ke arah Bandung, yang seharusnya tak digunakan oleh kendaraan lain yang bukan ke arah Bandung. Inilah akibat negara tanpa standard, sehingga hidup tergantung pada survival rasa dan reflek alias ilmu agak agak.
Kemalangan yang terus berlanjut dan menerus, sebagai akibat terbawa emosi dan ketidak tahuan adanya perubahan baru jalan tol Cikampek Cipali. Karena kebablasan terlewatnya tikungan mengarah ke Bandung, menyebabkan harus dikoreksi dengan berbalik arah. Untuk itu kita harus keluar ke arah pintu tol Cikopo Cikampek/Purwakarta. Untuk berbalik dan memasuki kembali pintu tol Cikopo lagi dari arah Cikampek/Purwakarta.
Karena jengkel akibat kilometer 66 terlewat, ditambah kedongkolan sebelumnya ditambah peristiwa terakhir ini, semakin membuat jengkel, dan hilang kosentrasi saat menuju gerbang tol keluar sekitar 6 kilometer lagi. Maka dipaculah ke arah gerbang tersebut, untuk segera dapat berbalik arah, dan kembali ke simpang kilometer 66 yang terlewati sebelumnya tadi. Itu rencananya, tapi ternyata kenyataan taklah seperti yang diharapkan.
Tol Cipali
Ooops, tak beberapa lama sampailah ke sebuah persilangan jalan exit. Ini pemandangan baru, sebelumnya belum pernah kulihat belokan ke Cikampek seperti ini, Ga ada tanda menyolok atau jelas exit belok atau keluar ke arah Cikampek, dan jalan lurus lebih lebar dan mulus. Bukankah belokan ke Cikampek jalan mulus. Sialan, akhirnya belokan itupun kembali terlewat, lantaran kendaraan dari arah belakang dan depan terbilang sibuk. OK, biarlah mungkin masih di depan lagi. Aku tak begitu ingat, belokan ke Cikampek ada di kilometer berapa?. GPSpun belum diset up untuk menuju sasaran ini, karena memang lalu lintas sibuk dan jarak gerbang Cikampek yang memang tak terlalu jauh dari belokan kilometer 66. Sial, berarti sekarang aku bakal masuk tol Cipali, semoga didepan ada jalur berbalik arah di depan.
Pelajaran ketiga, jangan menambah emosi walaupun kegagalan pertama menyebabkan dan menimbulkan rasa jadi pecundang. Tetap tenang dan kuasai diri.
Waktu telah di rembang petang, tampak luar sudah mulai remang remang tak terlampau jelas lagi. Kilometer demi kilometer telah terlewat, menit demi menitpun telah dilalui, jalan gelap dan terasa sempit karena jalan lurus dengan tiang pancang dan pembatas jalan kanan kiri di jalan lurus terasa sempit menjepit, ada rasa terintimdasi oleh kelurusan jalan dengan rasa sempit tadi. Akhirnya, sampailah ke pintu tol Cipali, sambil tetap berharap bakal ada exit atau jalan putar balik ke arah Bandung. Saat ditanyakan, dimana exit ke Bandung, dijawab harus keluar di gerbang exit Kali jati, dimana gerbang Kalijati, masih 30 kilometer lagi, dan bapak jangan berbalik, karena akan di denda Rp. 105,000, katanya.
Parah ini tol, tak memperhitungkan kemungkinan kendaraan salah jalan seperti saat ini. Memerah kesempatan lagi! Seharusnya di tiap gerbang tol disiapkan pintu exit berbalik baik dari dua arah, dari depan atau berlawanan arah, setidaknya beberapa kilometer dari titik titik yang memang rawan kendaraan tersesat jalur.
Dengan segala sumpah serapah, kujalani juga lintasan tol Cipali ini. Terhibur sedikit, oleh rasa bakal mencicipi barang baru, walaupun tak jelas pemandangan yang terlihat karena sudah petang hari. Jalan memang lurus, namun masih nampak sebagai pekerjaan yang belum tuntas penuh, misalnya galangan tengah yang masih ada berupa gundukan dan belum ditanami rumput semua. Oh ya karena dari Jakarta, saat masuk gerbang tol Cipali harus membayar dulu biaya tol Cikampek di gerbang Cikopo sebesar Rp. 9000, selanjutnya di beri kartu tol untuk jarak tempuh berikutnya, karena itu petugasnya bisa mengancam, awas klo putar balik didenda!.
Telpon ke rumah, bahwa saya kesasar terlewat belokan ke Bandung malah ke Kalijati maka akan sampai di Bandung sekitar jam 9 atau 10 malam.
Jalur lintasan Cipali di H-4 ini memang belum terlalu padat, masih bisa di tempuh dengan santai tapi mengesalkan, sebab tak ada rencana sedikitpun untuk melintasi jalan ini, bayar lagi! Tak ada pemandangan yang bisa dinikmati, karena sudah gelap dan jalananpun tak berlampu, parah emang untuk tol termahal dengan standard tol dunia ketiga! Ngapain pake lampu klo mobil juga udah ada lampu, atau ngapain gali gorong gorong pake traktor, klo bisa gotong royong pake sendok. Mental ngirit dan hidup susah terbiasa hidup seadanya. Ga perlu standard, apalagi standard tinggi, repot dan mahal (Padahal punya duwitnya). Sama seperti standard trotoir maupun gorong gorong kota kota di Indonesia. Besok berantakan, pecah belah ataupun seperti jalur lintas alam dan gunung, naik turun malah bikin cape kakek nenek sampe dengkol lemes, ga ada perlunya standarisasi tinggi dan lebarnya, salah ndiri punya dengkul letoy. Lah file PLN, PBB, Ledeng, Telepon, Akta, dll aja kudu disimpan sendiri, ente kudu jadi kantor file negara, tanpa bayar,...eh apa urusannya ama jalan tol, ini.
Maklum lagi kesel dan kheki banget hari ini! Pokoknya sumpah serapah ke PU, Negara, Jokowi, Prabowo dll...kesel..kesel banget gwa! Coba gwa jadi Jokowi, atau Prabowo, bakal gua omelin semua birokrat dan kapitalis jalanan dipinggir tol Cipali, baru nyaho! Kebayang gak, sepanjang jalan ke pintu tol Kalijati gwa sumpah serapah sendirian dalam mobil. Gara gara ngirit dan mental kere menghemat biaya, eh gayanya sigh maintenance&operating cost, untuk bayar papan petunjuk tiap persilangan dan exit tol ga mampu. Bukankah penumpang punya mata dan mulut buat bertanya? Makanya, ada pepatah, malu bertanya sesat di jalan!
Akhirnya sampailah ke pintu tol Kalijati, bayar Rp 16,000 gak ridho. Gwa di jebak harus mengendarai 30 kilometer menghabiskan bensin 2.5 liter ditambah biaya tol, benar benar bisnis kesempatan dalam kesempitan. Kan cuma elo yang teledor, kok marah marah? Eits, ntar dulu, di negeri beradab, umumnya selalu dibuatkan exit atau jalur putar jika ada kendaraan yang salah masuk, itu negeri yang punya standard dan punya duit, ga mental ngirit, tapi cari untung. Belum lagi desain persilangan berbelok, dengan jalur lambat tetap digunakan untuk kendaraan berat dan besar jalur lurus, negeri "survival of the fitest:.
Berikutnya, cari jalan putar balik ke arah Bandung. Ga jelas petunjuknya, padahal jalan persimpangan simpang tiga. Kiri, atau kanan ga jelas mana ke arah Bandung. Sudahlah pake mental primitip dan perasaan saja, putar balik masuk gerbang tol semula. Tanya, mana arah Bandung. Lurus ajah...okay, berarti benar. Tapi sebelumnya untuk bayar tol, walai mengantri hanya dua mobil didepan, lamanya minta ampun, lantaran petugasnya sedang melayani telepon, entah dari atasan atau temannya. namun saat saya didiamkan karena ia masih terus melayani telpon. Saya sentak dia, bung...jangan menelpon, di belakang saya ada ambulans yang sedang menunggu. Jelas secara aturan, ia harus cepat melayani ambulans yang sedang dalam keadaan emergensi.
Parah emang negeri ini layanan pada rajanya, alias pelanggan dianggap kacung semua. Padahal, jelas, sang ambulans berbunyi nyaring dengan lampu kedap kedip. eh sang petugas tolnya, anteng manteng aje menerima telepon sejak mobil pertama didepan tadi, ga perduli orang yang menunggu. Tol Cipali ini, H-4 gimana ntar lebaran? Ga heran klo manusia bukan urusan pengelola tol Cipali, yang terlihat hanya duitnya. Bayar lagi Rp 16,000 dan kembali menghabiskan bahan bakar 2.5 liter kembali, tanpa rencana dan niat setitikpun.
Pelajaran keempat, biarkanlah apa yang sudah terjadi, terjadilah, jangan disesali dan membebani hati maupun pikiran lagi. Saatnya fokus dan kosentrasi pada apa yang bakal terjadi berikutnya. Kesasar lagi ntar!
Berhasil kembali ke arah Jakarta, untuk selanjutnya berputar balik ke arah Bandung kembali, dengan mengandalkan GPS dan setelah masuk kembali ke jalur yang sangat kukenal, karena dahulu sering dilewat tiap akhir minggu, namun karena emosi jadi terlewat. Bahkan sampai terjadi dua kali, sungguh suatu peristiwa diluar akal sehat, keledai saja tak bakal terperosok dua kali. Namun, memang desain belokan kilometer 66 sungguh desain belokan buatan anak STM mungkin? Perlu kesiagaan dan keberhati hatian yang cukup tinggi, karena bila mengandalkan papan kilometer jelas sering terhalang kendaraan jalur cepat. Zaman Belanda, sering dipasang di sebelah kiri jalan, karena disekolah kita diajarkan harus selalu berjalan disebelah kiri. Nah kan, demi ngirit biaya, dipasang saja sebuah dijalur tengah, lumayah bukan, bisa ngirit patok separuh jalan.
Papan petunjuk 1 kilometer dan 500 meter menjelang dipasang tinggi di atas dan jika kita dibelakang kendaraan besar jelas bakal tertutup pandangan oleh bak truk atau bis, demikian juga menjelang dekat belokan tak ada ciri atau warna apapun yang dapat membedakan agar bersiap membelok. Namun rata sejajar jalur ke Cirebon. Nah saat siap siap berbelok dengan suasana monoton tersebut,....wusss, terlewat dan tak tersedia alternatif jalur putar balik selain ke pintu tol Cikampek, atau bagi yang memang berjiwa santai, langsung putar balik Kalijati.
Terasa primitip deh jadinya, salah anda sendiri, ga siaga dan hati hati. Padahal sering bolak balik Jakarta Bandung tiap akhir pekan, tetap saja sudah beberapa kali terjadi terlewat kilometer 66, terutama saat malam hari karena penuh rendengan bus dan truk. Tak ada ciri khas atau lampu penerangan yang menunjukkan ...awaaasssss...ini belokan ke Bandung, dll! Pasang kek, lampu kedap kedip atau Banner, dlsbnya di belokan atau 50 meter di titik belokan tersebut. Mahal ngkali ongkosnya ya, urusan orang lain lagi? Bukan urusan gwa, Jasa Marga,PU atau negara buat rakyat yang suka teledor seperti elo! Walau lu rakyat, bayar pajak dan pajak kendaraan, memang dilarang menunggak.
Akhir kata, sampai juga ke Bandung, yang semula direncanakan bakal sampai jam delapan malam, akhirnya dengan jalan inspeksi tol Cipali berhasil tiba dirumah jam sepuluh malam. Disambut cucu TK yang langsung bertanya, kakung, mana yang salah kakung atau motornya, lalu mana yang keserempet motornya. Tanyanya sambil mencari bagian yang tergores dan tergerus motor dan mobil. Oooo...katanya. Huh..hilang seketika gereget dan emosi oleh kemalangan yang menimpa hari itu, akibat betapa empaty dan perhatian sang cucu, anak gadis TK Taman Lalu Lintas tersebut.
Akirnya, pelajaran kelima, seburuk apapun pengalaman yang terjadi, diujungnya selalu ada pelajaran, hiburan dan kegembiraan tak terduga, bahkan dari anak TK sekalipun. Buset banyak banget kesalahan hari itu yang terjadi, sehingga dapat lima pelajaran, dasar murid bandel ndableg mungkin ya?
Saran saya pada Jasa Marga maupun perusahaan pengelola jasa Tol, juga Negara, PU, dan lain lainnya, agar meningkatkan standard tinggi keselamatan dan kenyamanan berkendaraan di jalan Tol (Pakailah standard negeri maju, kita bukan underdevelop country lagi), misalnya dengan menambah jalur putar atau exit di titik penting pada lintasan atau belokan ke kota kota,dan berbagai titik titik penting. Jalur berbalik bagi kemungkinan pengendara yang terlanjur terlewat 500 meter atau 1 km di setiap belokan penting. Pasang marka atau lampu peringatan tiap persilangan atau di jalan tol yang memerlukan penerangan untuk membedakan sisi kiri dan kanan jalan, maupun adanya kelokan dan belokan.Eh, ini bukan saran, tapi ini wajib, karena rakyat sudah membayar pajak, pph, pbb, pajak kendaraan, konsumtip, tol, dll!.
Catatan:
Ini cerita H-4 menjelang mudik dan balik lebaran, jadi belum benar benar menjajal seluruh lintasan Cipali, baru sepertiganya, walaupun pulang pergi. Tak mengalami, terutama saat macet atau bumpetnya Cikampek dan Cipali saat mudik lebaran, yang dapat mencapai 20 jam di jalan antara Jakarta Magelang saat H-1, menurut kabar saudaraku.
Bandung, 20 Juli 2015.
Cerah, 26ºC
Gambar modifikasi dari brosur tol Cipali,
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H