Ooops, tak beberapa lama sampailah ke sebuah persilangan jalan exit. Ini pemandangan baru, sebelumnya belum pernah kulihat belokan ke Cikampek seperti ini, Ga ada tanda menyolok atau jelas exit belok atau keluar ke arah Cikampek, dan jalan lurus lebih lebar dan mulus. Bukankah belokan ke Cikampek jalan mulus. Sialan, akhirnya belokan itupun kembali terlewat, lantaran kendaraan dari arah belakang dan depan terbilang sibuk. OK, biarlah mungkin masih di depan lagi. Aku tak begitu ingat, belokan ke Cikampek ada di kilometer berapa?. GPSpun belum diset up untuk menuju sasaran ini, karena memang lalu lintas sibuk dan jarak gerbang Cikampek yang memang tak terlalu jauh dari belokan kilometer 66. Sial, berarti sekarang aku bakal masuk tol Cipali, semoga didepan ada jalur berbalik arah di depan.
Pelajaran ketiga, jangan menambah emosi walaupun kegagalan pertama menyebabkan dan menimbulkan rasa jadi pecundang. Tetap tenang dan kuasai diri.
Waktu telah di rembang petang, tampak luar sudah mulai remang remang tak terlampau jelas lagi. Kilometer demi kilometer telah terlewat, menit demi menitpun telah dilalui, jalan gelap dan terasa sempit karena jalan lurus dengan tiang pancang dan pembatas jalan kanan kiri di jalan lurus terasa sempit menjepit, ada rasa terintimdasi oleh kelurusan jalan dengan rasa sempit tadi. Akhirnya, sampailah ke pintu tol Cipali, sambil tetap berharap bakal ada exit atau jalan putar balik ke arah Bandung. Saat ditanyakan, dimana exit ke Bandung, dijawab harus keluar di gerbang exit Kali jati, dimana gerbang Kalijati, masih 30 kilometer lagi, dan bapak jangan berbalik, karena akan di denda Rp. 105,000, katanya.
Parah ini tol, tak memperhitungkan kemungkinan kendaraan salah jalan seperti saat ini. Memerah kesempatan lagi! Seharusnya di tiap gerbang tol disiapkan pintu exit berbalik baik dari dua arah, dari depan atau berlawanan arah, setidaknya beberapa kilometer dari titik titik yang memang rawan kendaraan tersesat jalur.
Dengan segala sumpah serapah, kujalani juga lintasan tol Cipali ini. Terhibur sedikit, oleh rasa bakal mencicipi barang baru, walaupun tak jelas pemandangan yang terlihat karena sudah petang hari. Jalan memang lurus, namun masih nampak sebagai pekerjaan yang belum tuntas penuh, misalnya galangan tengah yang masih ada berupa gundukan dan belum ditanami rumput semua. Oh ya karena dari Jakarta, saat masuk gerbang tol Cipali harus membayar dulu biaya tol Cikampek di gerbang Cikopo sebesar Rp. 9000, selanjutnya di beri kartu tol untuk jarak tempuh berikutnya, karena itu petugasnya bisa mengancam, awas klo putar balik didenda!.
Telpon ke rumah, bahwa saya kesasar terlewat belokan ke Bandung malah ke Kalijati maka akan sampai di Bandung sekitar jam 9 atau 10 malam.
Jalur lintasan Cipali di H-4 ini memang belum terlalu padat, masih bisa di tempuh dengan santai tapi mengesalkan, sebab tak ada rencana sedikitpun untuk melintasi jalan ini, bayar lagi! Tak ada pemandangan yang bisa dinikmati, karena sudah gelap dan jalananpun tak berlampu, parah emang untuk tol termahal dengan standard tol dunia ketiga! Ngapain pake lampu klo mobil juga udah ada lampu, atau ngapain gali gorong gorong pake traktor, klo bisa gotong royong pake sendok. Mental ngirit dan hidup susah terbiasa hidup seadanya. Ga perlu standard, apalagi standard tinggi, repot dan mahal (Padahal punya duwitnya). Sama seperti standard trotoir maupun gorong gorong kota kota di Indonesia. Besok berantakan, pecah belah ataupun seperti jalur lintas alam dan gunung, naik turun malah bikin cape kakek nenek sampe dengkol lemes, ga ada perlunya standarisasi tinggi dan lebarnya, salah ndiri punya dengkul letoy. Lah file PLN, PBB, Ledeng, Telepon, Akta, dll aja kudu disimpan sendiri, ente kudu jadi kantor file negara, tanpa bayar,...eh apa urusannya ama jalan tol, ini.
Maklum lagi kesel dan kheki banget hari ini! Pokoknya sumpah serapah ke PU, Negara, Jokowi, Prabowo dll...kesel..kesel banget gwa! Coba gwa jadi Jokowi, atau Prabowo, bakal gua omelin semua birokrat dan kapitalis jalanan dipinggir tol Cipali, baru nyaho! Kebayang gak, sepanjang jalan ke pintu tol Kalijati gwa sumpah serapah sendirian dalam mobil. Gara gara ngirit dan mental kere menghemat biaya, eh gayanya sigh maintenance&operating cost, untuk bayar papan petunjuk tiap persilangan dan exit tol ga mampu. Bukankah penumpang punya mata dan mulut buat bertanya? Makanya, ada pepatah, malu bertanya sesat di jalan!
Akhirnya sampailah ke pintu tol Kalijati, bayar Rp 16,000 gak ridho. Gwa di jebak harus mengendarai 30 kilometer menghabiskan bensin 2.5 liter ditambah biaya tol, benar benar bisnis kesempatan dalam kesempitan. Kan cuma elo yang teledor, kok marah marah? Eits, ntar dulu, di negeri beradab, umumnya selalu dibuatkan exit atau jalur putar jika ada kendaraan yang salah masuk, itu negeri yang punya standard dan punya duit, ga mental ngirit, tapi cari untung. Belum lagi desain persilangan berbelok, dengan jalur lambat tetap digunakan untuk kendaraan berat dan besar jalur lurus, negeri "survival of the fitest:.
Berikutnya, cari jalan putar balik ke arah Bandung. Ga jelas petunjuknya, padahal jalan persimpangan simpang tiga. Kiri, atau kanan ga jelas mana ke arah Bandung. Sudahlah pake mental primitip dan perasaan saja, putar balik masuk gerbang tol semula. Tanya, mana arah Bandung. Lurus ajah...okay, berarti benar. Tapi sebelumnya untuk bayar tol, walai mengantri hanya dua mobil didepan, lamanya minta ampun, lantaran petugasnya sedang melayani telepon, entah dari atasan atau temannya. namun saat saya didiamkan karena ia masih terus melayani telpon. Saya sentak dia, bung...jangan menelpon, di belakang saya ada ambulans yang sedang menunggu. Jelas secara aturan, ia harus cepat melayani ambulans yang sedang dalam keadaan emergensi.
Parah emang negeri ini layanan pada rajanya, alias pelanggan dianggap kacung semua. Padahal, jelas, sang ambulans berbunyi nyaring dengan lampu kedap kedip. eh sang petugas tolnya, anteng manteng aje menerima telepon sejak mobil pertama didepan tadi, ga perduli orang yang menunggu. Tol Cipali ini, H-4 gimana ntar lebaran? Ga heran klo manusia bukan urusan pengelola tol Cipali, yang terlihat hanya duitnya. Bayar lagi Rp 16,000 dan kembali menghabiskan bahan bakar 2.5 liter kembali, tanpa rencana dan niat setitikpun.