Di satu sisi, ahli makrifat mengenal Allah sebagai Keindahan dan Keagungan, yang melahirkan mahabbah. Keindahan yang dikenal adalah Keindahan Dzat-Nya dan Keindahan Sifat-Nya dan Perbuatan-Nya. Karena itu mereka merasakan keindahan dalam amal (ihsan), yakni seperti dikatakan Nabi kepada Jibril, “Engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya; dan jika engkau tidak melihat-Nya, bagaimanapun Dia melihatmu.” Yakni, melihat setiap kualitas positif dan indah dari Dzat-Nya yang termanifestasi dalam setiap lokus tajalli, mikrokosmos dan makrokosmos. Syekh Al-Akbar Ibnu ‘Arabi menulis:
Penyebab cinta adalah Keindahan (jamal) yang merupakan milik-Nya, karena Keindahan dicintai lantaran dirinya sendiri (keindahan itu sendiri). “Allah itu Mahaindah dan Dia mencintai Keindahan.” Jadi Dia mencintai Diri-Nya sendiri dan penyebabnya adalah tindakan memperindah (ihsan). Tidak ada tindakan memperindah kecuali dari Allah dan tidak ada yang menjadikan indah kecuali Allah. Jadi ketika aku mencintai tindakan (amal) keindahan, aku hanya mencintai Allah semata, karena Dialah yang menciptakan keindahan (Muhsin); dan ketika aku mencintai keindahan (itu sendiri) aku tak mencintai sesuatu pun selain Allah karena Dia adalah Yang Mahaindah (Jamil). Jadi dalam setiap aspek dihubungkan hanya kepada Allah.
Di sisi lain, cinta menyebabkan orang semakin ingin mengenal yang dicintainya. Cinta dalam tingkat tertentu melahirkan makrifat. Ketika sang pencinta makin mengenal Yang Dicintai, terbitlah isyq (rindu dan cinta membara). Inilah saat ketika ruh-ruh manusia yang pada dasarnya suci kembali ke kondisi kefitriannya, diselimuti oleh Keindahan dan Keagungan Ilahi, dan lebur dalam Kesempurnaan-Nya yang Serba Menyatukan (tauhid). Saat ini terjadi maka Allah akan mempertontonkan Keindahan-Nya (Jamal) kepada kesadaran terdalam sang Sufi, yang menyebabkannya Sufi “jatuh cinta” di mana seluruh perhatiannya hanya pada Yang Dicintai sehingga Dia tak lagi melihat kepada yang lain, bahkan kepada dirinya sendiri.
Sebagian Sufi yang tenggelam dalam cinta mendalam ini mengalami guncangan dahsyat hingga mencapai ekstase, mengucapkan syatahat yang menggemparkan: ana al-haqq (Akulah Kebenaran)!; la ilaha illa al-isyq (tiada tuhan selain Cinta); subhani maa adzama syaani (Mahasuci aku, alangkah besarnya keagungan-Ku)!; laisa jubbatin siwa Allah (Tiada yang ada dalam jubahku kecuali Allah)!; anna rabbakum fa’ buduunii (Akulah Tuhanmu, taatilah aku). Jadi, ketika “keakuan” Sufi keluar atau sirna (fana), maka “Ke-Aku-an” Tuhan yang abadi akan masuk sehingga “mengabadikan” sang Sufi (baqa) bahkan sebelum Sufi itu meninggalkan dunia, mereka telah merealisasikan perintah Nabi, mutu qabla an tamutu—”matilah engkau sebelum engkau mati.” Kematian berarti leburnya sifat-sifat seseorang dalam Sifat-sifat Tuhan. Karenanya ada pepatah Sufi mengatakan “Tiada kebaikan dalam cinta tanpa kematian.”
Ketika engkau jatuh cinta, kata sebagian sufi, engkau tidak boleh berpaling kepada selain Kekasih. Sang Kekasih akan cemburu jika cinta diduakan. Tuhan tidak akan memperkenankan apa pun berbagi dengan-Nya, karena hal itu adalah syirik. Jadi, “Tuhan adalah pencemburu,” kata Wali Allah yang agung, ratunya para pencinta Tuhan, Rabi’ah Al-Adawiyah. Menyembah-Nya demi surga atau lari dari neraka menandakan seseorang masih menduakan Tuhan, demikian pandangan Rabi’ah Al-Adawiyah. Dengan kata lain, orang yang beribadah demi surga berarti masih menginginkan sesuatu untuk dirinya sendiri. Ia masih mengandaikan dirinya ada. Padahal, kata Al-Hallaj, “keberadaanmu adalah dosa yang tiada bandingannya.” Dan karenanya dia berdoa agar “aku” yang menghalanginya dari “Aku” dihilangkan oleh-Nya. Ia berseru dalam sajaknya:
Antara Aku dan Kau ada sebuah ‘Aku’ yang menyiksaku.
Ambillah, demi Aku‑Mu Sendiri, milikku diantara kita.
Bunuhlah aku, o sahabat-sahabatku yang terpercaya!
Karena dalam kematianku terdapat kehidupanku.
Imam Al-Ghazali, dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, mengisahkan cerita yang mengharukan mengenai “kematian” ini. Suatu ketika Nabi Ibrahim dipanggil oleh malaikat maut, namun beliau menolak mengikutinya, karena beliau tidak bisa mempercayai bahwa Tuhan akan membunuh seseorang yang begitu cinta kepada‑Nya. Tetapi malaikat mengatakan kepadanya; adakah orang mencintai menolak untuk pergi kepada kekasihnya? Setelah didengar kata‑kata itu, dengan rela beliau menyerahkan nyawanya kepada malaikat maut. Seperti dikatakan Schimmel
Pencinta yang sudah belajar menerima kematian sebagai jembatan kepada yang dicintai seharusnya menyerahkan ‘nyawanya dengan senyum seperti bunga mawar’ (Rumi); itulah sebabnya Al‑Hallaj menari‑nari dengan tangan terbelenggu ketika dibawa untuk dihukum mati. Kaum Sufi yakin akan firman Tuhan: Jangan sebut mati mereka yang terbunuh karena Tuhan; tidak, sesungguhnya mereka hidup (QS. 3:163). Kata la dalam bagian pertama syahadat yang diumpamakan pedang itulah yang membunuh sang pencinta; kemudian tak ada yang tinggal kecuali Tuhan.
Sulthan Al-Muhibbin Maulana Jalaluddin Rumi menggambarkan keadaan cinta yang menyatukan dengan cara lain yang tak kalah eloknya:
Seseorang mengetuk pintu kekasihnya;
sang kekasih bertanya, “siapakah itu?”
Ia menjawab “aku”.
“Pergilah,” kata kekasihnya. “Engkau terlalu cepat! Di mejaku tidak ada tempat untuk yang mentah. Bagaimana yang mentah akan masak kecuali dalam api ketidakhadiran?”
Ia pun pergi dengan sedih, dan api perpisahan membakarnya sampai habis. Lalu ia kembali dan mondar-mandir di depan pintu sang kekasih.
Ia mengetuk pintu dengan memendam seratus kecemasan dan harapan, agar jangan ada ucapan kasar dari bibir sang kekasih.
“Siapa itu?” tanya sang kekasih. Ia menjawab, “Engkau, wahai pemikat segala hati.”
“Masuklah,” kata sang kekasih, “karena engkau adalah aku, masuklah. Tidak ada tempat untuk dua ‘aku’ di rumah ini.”
Syekh Sulthan al-Awliya Abu Hasan as-Syadzili mengatakan, “Sempurnalah kewalian orang yang mencintai Allah dan mencintai untuk Allah.” Syekh Qamaruzzaman al-Husaini pernah mengatakan kepada penulis bahwa beliau mencapai kedudukannya hanya karena mahabbah, Cinta Ilahi, sehingga beliau bahkan tak bisa berhenti berzikir, sebab sedetik saja beliau berhenti berzikir, nafasnya akan sesak. Seseorang yang mencintai Allah hingga ke titik tertinggi akan bisa “bercakap” langsung dengan Allah azza wa jalla, tanpa huruf dan tanpa kata.
Menurut Syekh Athaillah, ada empat tingkatan cinta: cinta untuk Allah, cinta karena Allah, cinta dengan Allah dan cinta dari Allah. Awalnya adalah cinta untuk Allah dan akhirnya cinta dari Allah – murid (yang menginginkan) menjadi murad (yang diinginkan, seperti telah dijelaskan di atas dan di bab lain buku ini). Syekh Athaillah selanjutnya menjelaskan dalam Lathaif al-Minan:
Cinta untuk Allah adalah mengutamakan Allah ketimbang selain-Nya. Cinta karena Allah adalah mencintai Wali Allah karena Allah. Cinta dengan Allah adalah mencintai orang atau sesuatu tanpa hawa nafsu. Dan cinta dari Allah adalah Dia menarikmu dari segala sesuatu sehingga hanya Dia yang kau cintai ... [Syekh Abu Hasan] menyatakan bahwa cinta adalah Allah menarik hamba-Nya dari segala sesuatu selain Dia. Ia akan selalu taat, akalnya dilindungi ma’rifat, ruhnya terserap ke dalam hadirat-Nya, dan sirr-Nya sibuk menyaksikan-Nya ... Ia mendapatkan segala hakikat dan pengetahuan, dan karenanya “Para Wali Allah adalah pengantin Allah.”