Aku ditakdirkan berada di sini, menyaksikan keranda datang silih berganti memasuki pemakaman. Aneka drama dan kamuflase tentang kematian para jenazah tak pernah luput dari perhatianku.
Hari ini matahari tepat berada di atas kepala para pengantar jenazah. Sinarnya terik mencubit kulit mereka yang tidak tertutupi baju yang dikenakannya. Wajah mereka seakan bersedih melepas kepergian jenazah laki-laki ini.
Keranda berbalut kain hijau itu terlihat oleng saat diusung. Tinggal sepertiga jalan lagi tiba di liang lahat yang telah digali sebelumnya.Â
Namun, para lelaki pengusung keranda itu tak sanggup lagi menopangnya, keringat mulai bercucuran di pelipis mereka. Akhirnya, keranda pun diturunkan dengan sedikit dibanting hingga keranda berhasil mencium tanah.
Ibu-ibu berbisik satu sama lain. Berlomba-lomba mengorek aib sang jenazah. Perilaku buruk jenazah semasa hidup ditelanjangi habis-habisan oleh mereka.
"Pantesan kerandanya berat ya. Waktu hidup kan dia pelitnya kagak ketulungan." Satu ibu melontarkan kalimat itu. Sementara ibu lainnya mengangguk tanda mengiyakan. Akhirnya terciptalah desas-desus berujung kericuhan.
Kericuhan terhenti saat para lelaki pengusung peti jenazah berusaha kembali mengangkat keranda yang sempat mencium tanah. Kali ini personil ditambah dua orang. Akhirnya keranda itu berhasil diusung, walaupun masih dengan langkah oleng. Tapi setidaknya tidak separah sebelumnya.
Prosesi pemakaman lelaki itu telah berakhir. Satu per satu keluarga dan pengantar jenazah meninggalkan pemakaman. Hanya keheningan yang tersisa.
Gerimis yang sedari tadi mengiringi sinar matahari perlahan mengucapkan selamat tinggal. Angin sepoi-sepoi memberi isyarat bahwa petang akan bertandang dan siang akan melangsir pergi.Â
Namun, istri dari jenazah laki-laki itu masih bertahan di pemakaman. Air matanya tiba-tiba secepat kilat mengering. Sementara gundukan tanah yang menutupi jenazah suaminya itu masih basah oleh air mata.