Andai aku menjadi Tarum, aku ingin menemanimu dalam waktu panjangmu. Kamu dan aku telah menyatu, seperti atap bagi rumah. Rumah tidak bisa dikatakan rumah jika tanpa atap. Itulah mengapa di dalam namamu tersemat namaku, Ci Tarum. Ci adalah namamu yang bersanding dengan namaku Tarum. Namun kamu lebih suka jika dipanggil Citarum, tanpa jeda setelah Ci.
Ci pada namamu memiliki arti air atau sungai, sementara Tarum kamu ambil dari namaku. Ya, Tarum adalah aku. Aku adalah sahabatmu yang mampu menghasilkan zat warna indigo dari daun-daunku. Indigo adalah warna biru alami atau dalam banyak tulisan, mereka menamaiku Nila.
Aku tahu terasa berat bagimu berada di zaman yang semakin modern. Tinggal di atap kota yang semakin padat dengan segala riuh rendah dan dinamikanya. Kamu pernah mengeluh ingin mengakhiri hidup. Namun keinginan itu segera kamu kubur dalam-dalam. Keinginan itu selalu kalah oleh rasa cintamu pada bumi yang amat membutuhkanmu.
Satu waktu juga, kamu pernah terlihat kalut menyaksikan kawan-kawanmu dari sejenisku yang dibumihanguskan lantas digantikan oleh rumah dengan mesin-mesin yang menghasilkan limbah dan asap tebal menyesakkan dada.
Itulah yang menyebabkan alasanku ingin menjadi Tarum. Aku ingin menjadi sahabat dan penyokongmu dalam suka dan duka. Aku ingin melengkapimu dalam kekuranganmu. Begitu pun sebaliknya, kamu melengkapi aku dalam kekuranganku.
Kamu dan aku adalah contoh hubungan yang menguntungkan. Mereka yang pintar-pintar itu menyebutnya dengan istilah simbiosis  mutualisme. Tidak perlu aku jelaskan. Mereka pasti menguasai teori tentang simbiosis mutualisme.
Kamu menguntungkan bagiku. Kamu menyediakan air yang melimpah untuk dahagaku, hingga aku bisa menyambung hidup. Sementara aku membalas dengan membentengimu dari erosi yang menyebabkan kedalamanmu menjadi dangkal. Namun sayang, saat ini memang kedalamanmu semakin dangkal, karena aku kini sendiri. Sementara jenisku yang lain sudah tak sanggup lagi berada di pesisirmu.
Di kala tenang, saat kamu tidak disibukkan dengan derasnya hujan kamu ceritakan tentang masa lalu penuh bahagia. Kamu menceritakan nenek moyangku yang setia mendampingimu melewati sejarah penting tentang kerajaan  di tanah Sunda. Kamu ceritakan bagaimana Kerajaan Taruma harus terbelah sehingga membentuk kerajaan Pasundan dan kerajaan Galuh. Bahkan kamu sebagai sungai terpanjang dan terbesar di tanah Sunda menjadi batas sebagai tanda pembagian wilayah kedua kerajaan itu.
*****
"Tarum, sekarang bukan musim penghujan, tapi awan membisikkan padaku bahwa akan turun hujan yang begitu deras. Aku sudah tidak sanggup menahan debit air hujan yang terlalu melimpah. Entah apa yang akan terjadi. Apakah banjir akan melanda lagi?" Kamu menyampaikan kegelisahanmu itu dengan suara riakmu yang lirih.
"Sudah. Tidak usah terlalu berpikir keras. Tugasmu saat ini hanya menampung guyuran hujan itu semampumu. Biarkan saja mereka yang pintar-pintar itu mengatasinya. Toh, banjir juga terjadi karena ulah mereka juga kan?" Aku hanya membalas kegelisahanmu dengan santai.
Padahal aku juga takut dan sedih. Tapi aku tidak ingin menunjukkan itu. Aku tidak ingin melihatmu semakin gelisah dan merasa bersalah.
Ya, mereka sering menyalahkan kamu atas banjir yang terjadi. Tidak sedikit dari mereka mengutukmu. Bahkan mereka mengobatimu dengan berbagai uji coba untuk mengatasi banjir. Mereka mengira kamu yang sakit. Mereka kira banjir adalah penyakitmu. Padahal sejatinya pola pikir, kebiasaan, dan jiwa mereka yang sakit.
Mereka menghujanimu dengan sampah plastik abadi. Mencemarimu dengan limbah, hingga ikan yang hidup bersamamu harus mati terkapar. Itu artinya mereka yang sakit, bukan kamu kan?
Citarum, sebenarnya bukan hanya kamu yang sedih untuk bumi ini
.Tapi aku juga. Bagiku langit kini tak lagi tak secerah dulu. Sinar matahari lebih sering malu-malu untuk berbagi, bahkan tak sampai kepada mulut daunku. Akibatnya, aku menjadi kekurangan makanan, karena aku tidak bisa membuat makanan tanpa sinar matahari.Betapa sedihnya aku saat kamu menceritakan tentang kematian masal nenek moyangku. Mati dengan sia-sia. Mati dibakar dan hanya meninggalkan abu yang tertiup angin.Padahal nenek moyangku menginginkan mati yang bermanfaat. Mati yang meninggalkan bekas, bahkan untuk mereka yang pintar-pintar itu. Mati meninggalkan karya. Karya yang terlukis pada batik atau pada kain tenun penuh warna nan cantik.
*****
Citarum puserna cai
Kudu dijaga ku Siliwangi
Cirata nu mawa beja
Bayangkara nu ngariksa
Kuring titip amanat Gusti
Ngajaga lembur supaya makmur
Caina herang rakyat ge seneng
Sabilulungan nu jadi ciri
Sayup-sayup dua bait tembang sunda Cutarum Harum* mulai terdengar mendekat. Aku hafal suara yang menyanyikannya. Ya dia Ujang Asep pemuda asli Dayeuh Kolot yang seorang pemulung. Ia rela meluangkan waktu di sela lelahnya untuk mulai menanam jenisku kembali. Ya,  menanam Tarum atau Indigofera  tinctoria**.
Ia berharap kelak aku akan manjadi primadona kembali. Seperti pada saat kerajaan Taruma berjaya. Aku tumbuh subur di pesisir Citarum. Ia berharap aku dan kamu tidak akan hilang ditelan keserakahan mereka yang pintar-pintar itu. Lenyap tak bersisa.
*)Lagu Sunda tentang sungai Citarum yang dipopulerkan Fanny Sabila
**)Nama ilmiah dari tanaman Tarum
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H