Pada sebuah medio. Musim ikut berganti. Titik hujan yang tertahan di dahan pohon yang rimbun - kemudian jatuh di atas kepala sekumpulan orang. Mereka tak bisa menghindar. Benar, saat itu memang musim hujan. Mereka berkumpul di bawah pohon rindang. Tepat di sebuah taman.
Hari-hari itu adalah hari yang bakalan panjang. Hari dengan penuh tugas dan tanggung jawab. Itu ada di tahun 2012 akhir. Mereka adalah kumpulan jurnalis Balai Kota DKI Jakarta yang setiap jam menunggu pergerakan Gubernur DKI Jakarta periode itu Joko Widodo.
Saya mengambil bagian dalam hari-hari yang panjang itu. Saya ditugaskan sebagai jurnalis di desk tersebut - dari sebuah redaksi harian ekonomi nasional - bersama sahabat dari media lain. Tugas kami hanya satu, mengikuti pergerakan Pak Jokowi.
Pak Jokowi memang menjadi "media darling" -sebuah sebutan buat narasumber berita yang apapun informasinya tentang beliau pasti menjadi heboh. Demikianlah, Pak Jokowi adalah media darling sejak saat itu. Entah karena kesederhanaannya atau apapun, kami harus selalu meliputnya.
Waktu kemudian berganti. Demikianlah, Pak Jokowi dan namanya melambung tinggi. Entah dibantu oleh pemberitaan media ataukah tim medsos, beliau berhasil memenangkan hati masyarakat. Terpilih dua kali menjadi Presiden RI.
Meski demikian, jalan panjang itu kemudian meredup. Tak tahu kenapa. Covid-19 kemudian diikuti krisis ekonomi membuat namanya tak seperti yang kami kabarkan dahulu lagi. Singkat cerita, pamor itu mulai meredup.Â
Siang tadi, sahabat jurnalis kemudian mengatakan bahwa ada usaha mengajak "influencer" ke Istana. Seperti yang kita ketahui, mereka (baca: influencer) akan bertugas untuk mengkampanyekan hal positif agar pesan dari pemerintah tersampaikan.
Bagi saya ini baik. Tapi untuk sebuah perkenalan panjang tentang Pak Jokowi yang selalu saya tulis pada medio 2012 menjadi pergumulan. Mengapa ?
Pertama, apakah pamor Pak Jokowi sudah menurun sehingga ada kesan menggunakan influencer lagi ? Padahal, Pak Jokowi adalah "media darling".
Kedua, menempatkan influencer dalam promorsi itu baik adanya. Tapi mengontrol juga harus penting. Jangan sampai, influencer punya tugas lain untuk membenturkan satu kelompok dengan yang lainnya  juga. Atau juga sekaligus membenturkan kerja Presiden sebelumnya dengan kerja Pak Jokowi. Ini fungsi kontrol yang Pak Jokowi harus ambil alih.Â
Ketiga, apakah influencer ini menggantikan jargon "blusukan" yang sejak dahulu menjadi branding pencitraan Pak Jokowi ?
Ketiga pertanyaan reflektif ini kemudian mendorong saya untuk mulai membedah nalar tentang hal ini. Babak pikiran kritis itupun kemudian muncul dalam pemikiran saya selanjutnya.
Belajar  Dari  SBY
Kita semua tahu. Pada masa Pak SBY, influencer sudah ada. Hanya saja, Pak SBY sangat detail menempatkan tugas influencer.Â
Pak SBY adalah seorang Presiden sekaligus diberkati memiliki kemampuan menjadi seniman. Dia selalu menciptakan lagu. Lagu-lagu itu kemudian digubah dan dibawakan oleh aktor atau artis nasional. Maka, diskusi di Istana Presiden adalah tentang karya-karya seniman. Baik itu lagu, film, hingga batu akik.Â
Semua pekerja seni diminta untuk berkontribusi bagi kesenian Indonesia. Meski dikritik hobi menggubah lagu, Pak SBY tidak sekedar menggubah lagu tapi secara tidak langsung mendorong pekerja seni untuk selalu menempatkan orisinalitas dalam setiap karyanya.
Pada titik ini, kita meski tegas mengatakan bahwa Pak SBY sangat cermat menempatkan fungsi selebritas dalam tugasnya. Berbicara tentang seni dan mempromorsikan seni sesuai bidang tugasnya. Sementara itu, tugas memperkenalkan kebaikan kinerja Pemerintah hanya dibuktikan melalui output program pemerintah yang dirasakan warga bukan melalui selebritas atau influencer dalam istilah kekiniannya.
Pada era Pak SBY juga medsos ikut bertumbuh. Terbukti di era itulah, Pak SBY meluncurkan akun twitter perdananya dan langsung booming. Meski ada akun anonim yang menghajar kanan dan kiri menghancurkan Pak SBY dan Demokrat sekalipun, tak pernah terbersit beliau membuat influencer tandingan. Bahkan, dia membalikkan semua itu dengan kerja nyata. Masyarakat menikmati.
Lebih dari itu, tak ada kelompok anak muda yg dikumpulkan untuk jadi buzzerRp. Justru di zaman Pak SBY, anggaran pendidikan meningkat, anak muda dipacu bersaing mendapatkan beasiswa menjadi pemuda rasional yang menuntut ilmu dalam beasiswa yang di dapat. Seperti itulah Pak SBY dan programnya yang harus ditiru.
Mencegah Polarisasi
Pak Jokowi sudah seharusnya turun tangan sendiri. Tak perlu lagi mengolah isu apapun guna membuat pencitraan.
Sudah waktunya, Pak Jokowi turun gunung sendiri. Ada baiknya, dari pada Pak Jokowi menggunakan influencer, Pak Jokowi sebaiknya blusukan. Jelaskan kepada masyarakat kondisi sebenarnya. Harus diingat, menggunakan influencer hanya utk menutup kelemahan lainnya tanpa menyelesaikan masalah.
Harus disadari, influencer yang pro pemerintah sangat dimanjakan, sementara oposisi bisa seenaknya ditekan. Saya kira, sejak saya kenal seorang Pak Jokowi dahulu tak seperti itu.
Pak Jokowi wajib tegas jika kelompoknya salah. Tegas dan adil akan membalikkan keadaan yang sebenarnya. Merangkul dan adil bagi semuanya jangan kelompok sendiri.
Seperti yang diketahui, hari-hari ini pergumulan itu terjadi. Polarisasi semakin melebar. Pak Jokowi wajib adil. Influencer jangan dipakai untuk membenturkan kelompok oposisi. Â Influencer hanya sebagai alat untuk mengenalkan konsep. Soal kesuksesan atau kegagalan, itu tugas Pak Jokowi untuk bertanggung jawab pada rakyat yang memilih.
Semua itu adalah cerita tentang waktu. Memang ironis jika Pak Jokowi terus mengandalkan influencer, padahal Pak Jokowi adalah seorang yang dulu saya kenal sebagai seorang dengan predikat "media darling".
Lebih baik, Pak Jokowi menghidupkan semangat blusukan. Mengkomunikasikan dengan rakyat secara langsung, tanpa harus menggunakan influencer.
 *Penulis adalah Kader Bintang Muda Indonesia, NTT.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H