Tepatpukul 21.00 WIB. Mata tertuju pada siaran sebuah stasiun tv asal Singapura, Channel News Asia. Kaget, disetiap sekuen feature yang ditampilkan menunjukkan ada kepanikan warga Singapura. Apalagi kalau bukan karena virus Corona alias COVID-19.
Dalam reportase berbentuk feature tersebut digambarkan ketakutan yang menghantui masyarakat Singapura, hingga beramai-ramai menuju pusat perbelanjaan dan memborong sembako karena takut kehabisan stok persediaan jika COVID-19 terus menyerang dan bergejolak dalam pekan demi pekan ke depan.
Memang benar, usai  virus berbahaya ini menyebar dari Kota Wuhan, Tiongkok ke seluruh dunia menjadi ancaman yang besar bagi semua umat manusia. "Virus ini mematikan. Kami takut sekali sehingga kami cepat memborong makanan dan takut kehabisan nantinya," tutur seorang ibu yang ada dalam antrian tersebut saat diwawancari Channel News Asia.
Tak lama usai laporan ini tayang, muncul berita baru lagi bahwa ada semacam gejala penarikan uang (rush money) dalam jumlah besar oleh warga Singapura. Atas dasar gejala tersebut, Pemerintah Singapura kemudian merespons dan memberikan jaminan bahwa stok makanan tetap aman ke depan hingga meminta warga untuk tidak tergesa melakukan rush money.
Singapura memang paling terdampak atas penyebaran COVID-19 di kawasan ASEAN. Meski demikian, negeri ini juga punya kesigapan luar biasa dari fasilitas kesehatannya dan penanganannya.
Usai dua tayangan yang menarik perhatian ini, saya sudahi tontonan berita tersebut. Rupanya COVID-19 tak sekedar menjadi bahan perbincangan rekan jurnalis, bahkan masuk dalam group whatsapp pun muncul perdebatan tersebut. Dari semua tulisan dan perdebatan, saya tertarik dengan satu pertanyaan anggota group, "Sudah siapkah kita jika virus ini masuk secara masif dan menyerang bangsa ini seperti di Singapura ? "
Apapun jawabannya, saya yakin Pemerintah Indonesia pasti telah mempersiapkan dan mengantisipasi serangan COVID-19. Hingga pada akhirnya, kemarin tersiar kabar bahwa seorang turis asal Tiongkok yg kembali dari liburan di Bali langsung terserang COVID-19.
Perdebatan kemudian muncul, apakah COVID-19 sudah ada di Bali tapi sejauh ini belum terdeteksi ? Barangkali itu hanya bisa dibuktikan secara ilmiah dan uji laboratorium.Â
KOLABORASI
Meski demikian, di balik banyak perdebatan tentang kisruh ada tidaknya COVID-19 di Indonesia ada satu hal yang menarik yang dilemparkan oleh Lembaga Biologi Molekuler Eijkman.Â
Dikutip dari cnn.com, lembaga biologi plat merah ini mengklaim belum terlibat dalam proses deteksi virus corona atau COVID-19 di Indonesia. Wakil Kepala LPM Eijkman Herawati Sudoyo berharap ada kolaborasi dengan seluruh pihak terkait untuk mendeteksi virus tersebut.
"Semua itu sebenarnya sudah bisa memberikan indikasi terhadap apa yang terjadi. Yang kami inginkan adalah kolaborasi, kolaborasi, kolaborasi," ujar Herawati di Gedung LBM Eijkman, dikutip dari berita cnn.com, Â Rabu (12/2).
Dalam berita tersebut Herawati menuturkan LBM Eijkman juga memiliki kemampuan dan pengalaman untuk mendeteksi virus corona, termasuk COVID-19. Bahkan, dia berkata pihaknya sudah membahas kemungkinan terlibat untuk mendeteksi Covid-19 di Indonesia sebulan setelah merebak di Kota Wuhan, Hubei, China.
"Eijkman memiliki platform pan-CoV untuk mendeteksi COVID-19 di Indonesia. Termasuk
dapat mendeteksi COVID-19 dalam waktu 5 jam," tuturnya.Â
Hal ini sekaligus mengklarifikasi pernyataan Ketua LBM Eijkman Amin Soebandrio bahwa deteksi C-19 memakan waktu lebih dari dua hari karena melalui dua langkah deteksi.
Pernyataan Herawati ini mempertegas bahwa kita masih siaga pada tataran standar tapi kita tidak siap secara visioner untuk menanggulangi penyakit tersebut ke depan yakni obat-obatan. Bisa saja, pernyataan Herawati mengindikasikan bahwa sejauh ini kesigapan kita tidak pada tataran menyeluruh tapi hanya pada tataran kesigapan biasa saja.
Kolaborasi merupakan kata kunci yang tepat. Pemerintah tidak bisa hanya mengantisipasi di gerbang masuk seperti bandara dan pelabuhan laut saja tapi ada satu koordinasi penting dengan lembaga penelitian biologi seperti Eijkman.Â
Bagi penulis, kolaborasi lembaga penelitian bisa membuat sebuah kesimpulan ilmiah yang kredibel dan akurat. Dari situ keputusan dan reaksi cepat bisa dilakukan. Kita semua tentunya berharap agar Pemerintah juga cepat merespons dengan tepat, terukur, dan akurat.
Meski belum ada laporan ilmiah yang menyebutkan bahwa COVID-19 telah masuk ke Indonesia, tapi antisipasi adalah kunci. Kolaborasi antar instansi juga penting. Salah satunya adalah menghilangkan ego sektoral yang kadang menjadi momok dalam sendi birokrasi bangsa ini.
Paling tidak, pesan dari peneliti di Eijkman memberi kita pesan bahwa ini saatnya kita berkolaborasi, bergandengan tangan agar kita bisa lebih cepat bereaksi terhadap virus mematikan ini.
Selain kolaborasi, arus informasi soal ada tidaknya COVID-19 di Indonesia harus berada dalam satu komando. Tidak boleh ada simpang siur pemberitaan. Jika ini terjadi maka bisa jadi apa yang saya tonton di Channel News Asia tentang kepanikan masyarakat Singapura bisa terjadi di bangsa tercinta ini.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI