Mohon tunggu...
M. Aminulloh RZ
M. Aminulloh RZ Mohon Tunggu... Guru - Hidup Berpetualang
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Politik hanya momentum, berbuat baik selamanya

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menangkal Kerusakan Sosial

2 Desember 2020   09:00 Diperbarui: 2 Desember 2020   17:30 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
baliexpress.jawapos.com

Dalam buku Kredensial (2018), Trias Kuncahyono bercerita. Di zaman penguasa Romawi, Julius Caesar (100-44 SM), ada seorang budak yang dijual dari Suriah ke Italia bernama Publilius Syrus (85-43 SM). Ia pernah mengatakan: Contideam natur qui semper timet, jika diterjemahkan secara bebas berarti, yang setiap hari menuduh adalah yang selalu takut. Apa yang dikatakan Syrus, fenomena yang sama juga sangat mudah kita temukan hari ini.

Era demokrasi mutakhir, sedang mengalami turbulensi akut. Kekejaman sosial terjadi di mana-mana, di banyak tempat. Murka kosmopolit kian tak terbendung dan membludak. Kecenderungan orang sekarang ini, simplitis menuduh, gampang menuding, mudah menyalahkan orang lain, dan mencari-cari kambing hitam. Negeri yang selalu merasa kecewa, dan kemudian mencari kambing hitam sambil menimpa kesalahan pada pihak lain.

Orang jadi condong pada kebiasaan marah, emosi, memaki-maki penuh kebencian, kemudian menuding orang lain sebagai dalang kekalutan dan kegelapan sosial. Bukannya mencari cahaya terang. Sebagaimana yang dikatakan Syrus, "Orang yang dalam benaknya penuh kecurigaan, akan selalu mencari kesalahan orang lain." Hati dan matanya memandang hal-hal negatif, penuh sesuatu yang tidak baik dan serba hitam. Tidak sedikitpun terbesit dalam dirinya untuk memberikan sinar terang kepada orang lain.

Perbedaan yang merupakan keniscayaan rahmat dari Tuhan, justru sebaliknya, menuduh pihak lain yang tidak satu identitas, sewarna, dan sehaluan. Rasa kemanusiaan orang semakin menipis. Sebaliknya, kata ahli sejarah Kediri, Ki Tuwu, seorang ulama suci, dicaci, sementara orang yang jahat mendapat derajat. Inikah yang dinamakan era post-truth orang modern mengistilahkan? Dakwah yang berarti mengajak, berubah jadi mengejek. Dakwah untuk meningkatkan takwa, malah menghina. Dakwah yang semestinya memeluk, justru menyulut dan mengamuk.

Rasa tertindas, kecewa, khawatir, sedih, dan marah menggelayuti banyak orang. Entah karena hasutan kebencian, atau karena pengkhotbah agama yang pandai mencela, menghina, mencemooh, dan melecehkan. Menyaksikan intoleransi yang kian radikal, serta pejabat politik korup, semakin terpuruknya kerusakan sosial dan kesenjangan struktural masyarakat. Kompleksitas permasalahan ini pun kehadiran negara masih menimang-nimang, menimbang mana yang menguntungkan dan menguatkan kekuasaan.

Narasi kebencian dengan mendengungkan ketidakadilan pun dirasa tidak adil, karena kecenderungannya kepada para pemodal dan petualang elite politik. 

Mereka yang memiliki tanggung jawab pada keamanan dan kesejahteraan negara pun lamban, tidak tegas menindak, bahkan cenderung diam. Konfrontasi yang dilakukan pendakwah agama radikal, terus saja mencuci otak jemaatnya yang terombang-ambing akibat perasaan tertindas dan fanatisme buta bermantel keagamaan.

Di panggung politik, jubah ormas digunakan untuk melakukan pertentangan serius terhadap penguasa yang sah. Ironisnya, narasi ketidakadilan sosial dihembuskan oleh kelompok-kelompok yang menolak sistem demokrasi. 

Politisasi identitas ideologis pun kian menguat dan menambah persoalan politik negara menjelang Pilkada 2020. Peristiwa pembunuhan pendeta Yeremia di Papua pada 17-19 September 2020, dan insiden pembunuhan biadab satu keluarga, pada Minggu (29/11/20), di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, semakin menambah rentetan persoalan pelik politik identitas yang tengah dihadapi kita semua.

Banyak persoalan-persoalan sulit, tidak hanya dapat diselesaikan dengan menuding, tapi bertindak cepat dan tegas demi stabilitas nasional. Orang semkin takut, takut kehilangan eksistensi, kekuasaan, dan jabatan yang bersifat duniawi.

Karena ketakutan itulah kemudian mulai menuduh, menuding, dan mengambinghitamkan pihak lain sebagai pengacau dan mengira pihak lainnya tidak becus mengurus negara. Padahal kita hidup tidak abadi di dunia ini. Tidak selamanya orang lain tidak benar, dan tidak selamanya kelompok sendiri mutlak kebenarannya.

Tumbuh suburnya bandar provokasi kebencian dan propaganda, menjadi bagian praksis pada sistem demokrasi saat ini, bak rumput hijau di musim hujan. Yang terpenting adalah bagaimana kita membaca dan merespons fenomena turbulensi paradoksal, serta gejolak sosial dalam pencegahannya secara sistematis.

Pertama, kita perlu refleksi kolektif perihal ketegangan sosial yang merebak akhir-akhir ini. Dalam rangka menstabilkan ekonomi, sosial, dan politik, jalan keluarnya adalah bersatu-padu membaca gejala-gejala konflik dan sektarianisme di sekitar, apalagi saat ini kita sedang dirundung pandemi Covid-19. Polarisasi masyarakat yang semakin rumit, dipandang perlu literasi-narasi yang memompa kebijaksanaan dari banyak tokoh pemimpin. Tidak sebaliknya, kritik berubah jadi hujatan, kewarasan akal sehat berganti jadi kedunguan identitas ideologis.

Kedua, dalam menghadapi gejolak sosial, negara perlu tenang, wibawa, elegan, dan tentu saja terukur sebagai bentuk responsif dalam menyeimbangkan pranata yang ada. Ketiga, penguatan hukum di segala lini yang berkeadilan untuk membangun relasi emosional negara dan rakyat. 

Sinergitas tokoh masyarakat dan negara, menjadi penting dalam kolaborasi untuk menangkal murka sosial. Tidak perlu mencari panggung dan kemudian berlindung pada dalil kebebasan, demi mencuci tangan dari beban dan tugas tanggung jawab sosial kemasyarakatan atas segala kerumitan yang terjadi.

Keempat, tidak perlu lagi ada drama-drama politik. Apalagi sampai keluar kata-kata yang tidak pantas dari seorang pemuka agama. Justru terlihat menjadi pecundang yang kian mengucilkan ketokohan gelar dan agama itu sendiri. Masyarakat perlu memilah, mana tokoh-tokoh yang pantas untuk dijadikan teladan hidup, dan mana tokoh yang berkhutbah politis-pencemaran dan bersifat ambivalen.

Kelima, pelaksanaan kebijakan antar-institusi atau lembaga negara, semakin dikolaborasikan secara fungsional, tidak terjadi tumpang-tindih tugas. Pejabat negara sepatutnya berorientasi politik kebangsaan dalam menyelesaikan seluruh problematika sosial. 

Tanggung jawab pokok kita semua dalam menyelesaikan kompleksitas sosial, harus fokus pada pembangunan stabilitas nasional, dan bukan pada agenda parsial yang secara diam-diam berkepentingan dalam konstelasi Pemilu pada tahun 2024 mendatang. Terlalu jauh.

Pada akhirnya, kita sendirilah yang bersalah atas segala kerusakan sosial yang terjadi. Sebagaimana Syrus yang mengatakan kita hanya melihat kekurangan orang lain, padahal kesalahan ada pada diri kita sendiri. Saya, kami, Kamu, dia, dan kalian, mari introspeksi diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun