Pascareformasi, diskursus agama-negara kembali mencuat. Pancasila yang telah final, kembali digugat. Terutama ketika ratusan massa yang tergabung dalam Front Pembela Islam (FPI) melakukan unjuk rasa di depan gedung DPR/MPR RI pada senin, (27/8/2003). FPI menuntut tujuh kata dalam Piagam Jakarta, yakni "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" untuk disematkan ke dalam Undang-undang 1945, sebagaimana dahulu termaktub dalam UUD 1945 saat Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
Sebelum itu, hubungan agama-negara yang laten ini telah memanas, terutama setiap kali Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (ST MPR) hendak digelar. Dalam konteks ini sebagian politisi, khususnya dari Partai Bulan Bintang (PBB) bersikeras hendak mengusulkan Amandemen Pasal 29 UUD 1945 agar tujuh kata kontroversial dalam Piagam Jakarta tersebut diadopsi kembali (Kiai Masdar, 2020: 131). Tidak hanya itu, belakangan juga kelompok-kelompok fundamentalisme Islam Indonesia juga menuntut berdirinya negara bersyariat dan khilafah.
Menyoal Pancasila terus menjadi perdebatan hebat yang bikin geger nasional. Padahal sejarah mencatat berdasarkan usulan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) terkait Pancasila, sudah selesai. Perdebatan antara Bung Karno yang nasionalis, sementara di lain pihak ada Kasman Singodimejo yang konservatif Islam bersikeras Indonesia berlandaskan Islam. Kasman dan lainnya yang tidak merumuskan Pancasila itu berusaha memodifikasi Pancasila yang telah final itu dengan menambahkan tujuh kata setelah Ketuhanan Yang Maha Esa. Atas usulan Kasman dkk itu, telah memantik ketegangan dan penolakan dari wilayah Indonesia Timur seperti Maluku dan Bali yang tentu saja penduduknya mayoritas non-Muslim.
Saat krusial seperti itu, Bung Karno dengan kecerdasannya meminta usulan terkait kericuhan tersebut ke Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy'ari. Dewan Konstituante menugaskan KH. Wahid Hasyim untuk segera bertolak ke Jombang menemui Ayahnya. KH. Hasyim Asy'ari kemudian meminta sedikit waktu untuk meminta petunjuk dari Allah SWT melalui istikharah, berpuasa selama tiga hari, menghatamkan al-Quran, membaca surat al-Fatihah sebanyak tiga ratus lima puluh ribu kali--setiap satu kali surat al-Fatihah pada ayat iyya na'budu waiyyaka nastain--diulang sampai tiga ratus lima puluh ribu kali.Â
Selain itu, KH. Hasyim Asy'ari juga mendirikan shalat hajat, dengan rakaat pertama membaca surat at-Taubah sebanyak empat puluh satu kali, dan rakaat kedua membaca surat al-Kahfi sebanyak empat puluh satu kali.
Berdasarkan hasil ikhtiar KH. Hasyim Asy'ari, dapat disimpulkan bahwa Pancasila yang dirumuskan tanpa tujuh kata tambahan dari kelompok Islam konservatif yang menghendaki negara Islam itu. Lebih daripada itu, KH. Hasyim Asy'ari menghendaki agar Indonesia Timur tetap dalam persatuan bangsa yang satu dengan semangat nasionalisme. Maka KH. Hasyim Asy'ari mengatakan, "Agama dan nasionalisme adalah dua kutub yang tidak berseberangan. Nasionalisme adalah bagian dari agama, dan keduanya saling menguatkan".
Dinamika dan persoalan seputar relasi agama-negara menjadi perdebatan yang cukup berpengaruh dalam perjalanan sejarah ummat manusia di belahan bumi ini. Keduanya (agama-negara) saling berebut menuju lompatan kemajuan peradaban. Namun, realitanya justru keduanya menuju malapetaka bagi kehidupan manusia. Baik negara yang bertahta atas agama pada abad zaman kuno, saat agama berkedudukan di atas negara pada abad pertengahan, maupun ketika sekularisasi yang merebak di era modern sekarang ini.
Nigel Cawthorne yang ditulis dalam bukunya berjudul Tyrants, History's 100 Most Evil Despots & Dictators (2014), yang memuat cerita tentang para despot dan diktator sebelum abad pertengahan, zaman Napoleonik hingga zaman modern seperti sekarang ini. Beberapa nama diktator itu di antaranya kaisar Romawi kuno seperti Caligula atau Gaius Caesar (12-41) dan Nero (37-68). Zaman ini berusaha menciptakan sejarahnya sendiri dengan menggoreskan perjalanan kekuasaan atas nama negara yang bernilai, tapi juga tenggelam dalam dunia kegelapan bagi kemanusiaan.
Selanjutnya abad pertengahan dengan sistem dinasti kekhalifahan, ditandai ketika negara Abbasiyah mengukuhkan kedudukan atas nama agama dengan menjustifikasi sebagai kepanjangan tangan Tuhan. Nama-nama seperti dan al-Mu'tashim Billah (833-842) dan al-Mu'tamid 'Alallah (845-892). Tidak hanya berkembang sebagai pencipta sejarah dalam bidang keilmuan, tetapi juga sikap tidak bijaksana dalam memerintah sehingga banyak terjadi kesenjangan dan ketimpangan sosial dalam pemerintahan.
Kemudian di era modern sekarang ini, bagaimana pemisahan agama dan negara yang juga menggelayuti kegelapan yang tak kunjung menemukan formulasi kemajuan dalam peradaban yang ideal. Terlebih era pasca-kebenaran (post-truth) modern sekarang ini yang ditandai ketika Donald Trump terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat. Kembali sentimen-sentimen keagamaan digelorakan dengan pola konservatisme, yang tentu saja berdampak pada polarisasi identitas dan sektarianisme.
Perdebatan nasionalisme-agama di Timur Tengah bahkan dari dulu hingga sekarang ini belum selesai. Bagaimana gejolak peperangan yang menghancurkan dan menelan banyak nyawa itu, sebenarnya hanya satu alasan. Mereka belum menemukan formulasi hubungan antara negara dan agama. Negara dan agama harus berjalan beriringan demi terciptanya kondusifitas dan stabilitas eksistensi keduanya.
Semangat nasionalisme Barat, ditandai oleh pemisahan antara negara dan agama dengan apa yang disebut dengan sekularisme. Di Timur seperti kita saksikan dalam pemberitaan media-media, agama bisa disebut sebagai sumber konflik. Walaupun sebagian lagi mengatakan karena faktor ekonomi dan kekuasaan politik yang pada inti persoalannya adalah kebuntuan menemukan perumusan antara agama sebagai landasan moralitas dan negara sebagai kedaulatan aturan hukum perundang-undangan.
Lain halnya dengan Indonesia. Relasi agama dan nasionalisme menjadi pemersatu melawan penyakit imperialisme. Penyemaian sekularisasi oleh kolonial berjalan secara simultan  dengan peran agama dalam mengobarkan gerakan perlawanan dan kebangkitan nasional. Perjuangan dan semangat agama-nasionalisme yang menjadi karakter bangsa kita ini, dapat terus diwujudkan menuju peradaban yang lebih maju. John Gardner (1992) pernah mengatakan bahwa tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika bangsa itu tidak percaya kepada sesuatu, dan jika tidak sesuatu yang dipercayainya itu memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban besar.Â
Oleh karena itu, perlunya kebersamaan dalam menangkal pelbagai peluang dan ancaman manapun melalui keharmonisan agama dan negara dengan diferensiasinya masing-masing, Sebagaimana syair karya KH. Wahab Chasbullah. Kini tidak ada lagi atas nama agama ataupun atas nama negara, yang ada adalah atas nama Indonesia dengan kebhinekaannya. Keduanya dapat berlayar secara beriringan menuju tujuan peradaban yang berkarakter dan berbudaya.[]Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H